Cerpen : Bulan Pergi dari Jembatan

###Bulan Pergi dari Jembatan
Sihar Ramses Simatupang


MALAM yang dingin masih menggerayang dan mengacak-acak tubuhnya serupa lelaki asing. Dia siaga. Dipeluknya sang anak, sambil meyakinkan bahwa kejadian kemarin malam bukan kejadian yang nyata dan menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari.

Tapi lelaki itu sungguh Yanuar, yang dikiranya setia dan tak akan pernah menjadi binatang jalang serupa lelaki yang lain. Tapi hidungYanuar telah berair, air di hidungnya serupa dengan anjing yang lain. Yang tak dia sangka adalah anjing betinanya, Lusi, sahabat muda yang diajak oleh dirinya datang ke Jakarta dan tinggal di bawah jembatan ini.

Hanya anaknya kini makhluk manusia di kota Jakarta yang masih dia kenal sebagai lelaki kecil, sekaligus beradab, tempat Ratna dapat berkeluh kesah tentang kejadian yang membuatnya menggigil tadi malam. Dia mendengar suara paling purba itu kemarin malam. Dibongkarnya beberapa sekat di tengah kegelapan. Suara Lusi dan Yanuar, suara purba paling intim dan teramat dikenalnya ketika sedang bercengkerama bersama suaminya.

Mereka terkapar seperti bayi yang tanpa gurita. Gerimis menebar di langit malam itu, seakan bulan kencing dari atas langit. Kencing hina yang membuatnya tertumbuk tak berdaya melihat pemandangan organik di depannya.

Mereka terkaget ketika kardus itu tersibak. Kencing bulan jadi terasa beracun, hawanya meruap dan terasa amis di bibir Ratna.

“Anjing, puih, anjing!” Teriaknya. Dilemparinya bebatuan sisa puing jembatan yang barusan direnovasi. Pasangan semalam itu cuma bisa mundur dan terseok dengan begitu tenangnya, pergi setelah melihat Ratna hanya melempari batu sekenanya tanpa tertuju ke tubuh mereka.

Di jembatan, Ratna menunggu matahari. Di jembatan, dia kembali memangku dan memeluk anaknya, si bocah lelaki. Anakku tak mirip bapaknya sama sekali, anakku malaikat, bapaknya anjing! Dia berteriak, seakan ingin rahasia ini dikabarkan ke semua penghuni jembatan yang tak perduli dan tak mau mencampuri urusan laki-bini.

“Ratna calon janda, janda muda anak satu,” bisikan itu terdengar di telinganya. Tapi siapa perduli celotehan anjing liar yang tak berani menampakkan diri. Dia sudah meniati, esok akan pergi dari jembatan ini.

Ditutupnya kain yang menyelubungi kepalanya. Orang di jembatan tak pernah tahu wajahnya, tak pernah tahu kecantikannya. Jangan sampai wajahku terbongkar bulan dan matahari.

Yanuar telah pergi, semua boleh pergi asal jangan anakku ini, bathinnya.

Yanuar cuma ingin menikahinya, mendapatkan anak, maka aku harus membawanya dan pergi dari lelaki sekaligus manusia yang pertamakali memperkenalkannya pada kota Jakarta.

Dia mulanya hanyalah seorang gadis desa. Ya, di desa, bapak dan ibunya petani, yang mempunyai sawah, ladang dan petak empang ikan, lele dan mujair. Kerja dia hanyalah membantu masak di pagi hari, mengantar makanan di tengah terik fajar dari timur dan sesekali membantu panen padi, singkong atau pun ikan. “Yanuar pulang, dari kota, dia sudah jadi orang hebat sekarang. Dia bilang ke bapak, dia suka padamu, Nduk,” kata bapak.

Dia tak menyangka dia mengangguk senang ketika itu.Yanuar tak dikenalnya, semasa kecil, ingatannya pada sosok lelaki itu hanyalah seorang pemuda pengangguran, tak suka bekerja di sawah dan ladang, lalu sesekali pergi ke kota besar dan pulang lagi ke kampung.

Anggukan membawa petaka di masa depan. Setelah anggukan, kereta ekonomi termurah telah membawanya pergi dari sebuah desa di Jawa Tengah ke kota Jakarta setelah beberapa puluh menit berucap di depan penghulu.

Dia tahu orangtuanya ingin Ratna menikah, dia tahu hidupnya akan banyak teka-teki namun setidaknya lebih baik ketimbang merepotkan orangtua.

“Inilah tempat tinggalku, Ratna. Inilah gubukku,” ujar Yanuar.

Ratna termangu. Bagi Ratna ini bukan lagi gubuk, yang terhampar di depannya adalah susunan acak kardus di bawah jembatan yang sudah kumal dan basah. Ingatannya terbayang pada mainan boneka dan rumah-rumahan kertas di waktu dia masih bocah.

Impiannya hancur seiring pernikahan dan bayangan rumah tangga yang lama dia idamkan. Terbayang, masa depan yang lebih mengerikan ketimbang ibunya yang meniup api di kayu bakar dengan selongsong bambu, lebih mengenaskah dari pemandangan ketika ibunya mencari kayu bakar dan membetulkan batu bata di atas tungku.

Aku masak pakai apa?

Aku makan apa? Aku tidur dimana? Ini rumah?

Inikah Jakarta?

Seekor burung pun lambat laun dapat hidup di dalam sangkar setelah terkurung selama berbulan-bulan. Seekor rusa dapat hidup di sungai penuh buaya dan hutan dipenuhi serigala dan macan.

Maka Ratna pun dapat menelan teh manis dan memakan nasi bungkus di bawah jembatan yang bau air kencing, tahi anjing dan buangan sampah dari jalan raya di atas jembatan. Maka dia menghindari pandangan lelaki lain dengan menyembunyikan dirinya di balik kerudung dan baju panjang dan berjaket. Kegemulaiannya memudar, kecantikannya tersembunyi, mengelak dari keganasan jalanan. Lalu menahan suara ketika dia bergelut dengan Yanuar, itu pun karena diajak oleh suaminya sendiri. Berdosa menolak permintaan suami!

Tapi apa yang dibalas oleh lelaki berwajah bulan, berhati badai, bertingkah binatang? Entah Yanuar masih tidur bersama Lusi, atau kabur, atau menyingkir sesaat, Ratna sudah tidak perduli. Cahaya matahari meniti dari bibir jembatan dan terseok menyorot gubuk-gubuk kardus, ketika Ratna telah mengejar bayangan bersama anak di gendongannya.
Pergi! Pergi!

Jatinegara, Klender, Bekasi, Krawang, tubuhnya yang kurus, rambutnya yang menyeruak di antara ujung kerudung, terus naik turun di pinggir jalanan bersama kaki yang terseok dan tangan yang gemetar karena terlalu lama menahan berat tubuh anak di gendongannya.

Di Bekasi, dia meminta bakwan, kepada seorang penjual gorengan. Si penjual kasihan padanya, memberi sepotong bakwan, dua pisang goreng dan dua singkong goreng. Di Lemah Abang, dia mendapati sungai di bawah jembatan rel kereta. Turun di alur jalan tanah berkelok ke lembah pinggiran sungai, lalu meletakkan anaknya di batu di pinggir sungai, membasuh dan menceburkan diri. Kaki si kecil bergerak mempermainkan air sungai, tangannya masih sibuk menggerogot sisa singkong goreng, jajanan terakhir yang mereka peroleh dari rasa belas kasihan.

Panas matahari seperti ditebus oleh kesejukan air sungai dan buaian angin di daun-daun pohonAsam Belanda dan Beringin liar. Waktu seakan berhenti di sungai pinggiran kota ini. Dia biarkan bajunya basah, celana anaknya pun basah. Bocah usia dua tahun yang kurus itu telah menahan beban hidup lebih dari kekuatannya. Tapi, menghadapi ibunya, dia tetap tersenyum.

“Mama, mama…” ujarnya.

Air asin dari kelopak matanya bercampur air sungai. Tatapan kecil itu tetap jernih, seakan menjelma lelaki masa depan yang mengerti tentang ketabahan dan keberanian seorang ibu untuk mengambil semua keputusan.

Tubuhnya keluar dari air.Tangannya menjangkau anaknya. Matahari sudah di ujung barat. Senja sudah siap menyergap LemahAbang.

“Mam, mama,” ujarnya lagi. Inilah suara pintamu yang sudah terdengar seperti mengiris hatiku dengan bilah bambu, anakku… “Kau mau makan? Kau lapar Nak? Kita cari makan lagi Nak,” katanya.

Dia membawa anaknya ke gerobak tukang bakso.

Si tukang bakso mulanya menolak, tapi Ratna tak mau beranjak darinya, sampai lelaki itu menusuk dua bakso dengan bambu dan memberikan padanya. Ratna memberikan ke mulut anaknya yang lapar karena kelelahan. Dia juga minta air putih ke tukang bubur kacang hijau.

“Ibu mau bubur?”

Ratna mengangguk, tak menyangka pemberian yang ditawarkan padanya lebih dari keinginan.
Jalanan tak selalu berwajah anjing dan serigala tapi juga dapat berwajah domba, semoga bukan domba yang berbulu serigala. Dia bahkan mendapatkan sarung bekas, tiga potong baju dan celana anak bekas dari seorang ibu. Dia masukkan ke dalam kantong kresek, dan menukar pakaian anaknya yang separuh basah dari sungai tadi.

Mereka kembali melangkah, berjalan terus mengikuti rel kereta. Dia hanya tahu inilah jalur rel yang menuju Cirebon dan Jawa Tengah. Entah berapa hari perjalanan, atau berapa bulan, atau berapa tahun pun, dia tak perduli.

Ratna rindu bapak dan ibunya. “Kamu mau ketemu Mbah, Nak?”

“Mbahhh…” Balas si anak, entah mengerti atau tidak pada ucapan ibunya.

“Ya, ya, kita pulang ke rumah Mbah…” “Mbahhh…”

Ratna terus mengangguk, tersenyum dan menciumi pipi, kening dan bibir anaknya. Air asin itu kembali menelusuri lekuk pipinya yang bergerak menahan tangis.

Dia kemudian merapat di tonggak semen menjelang jembatan, entah dimana kini dia berada, dia tak perduli. Yang diketahui Ratna hanyalah dia akan tetap merapat dan mendampingi jembatan. Inilah jalur menuju kampung halaman. Diselimutinya tubuh si anak dengan sarung, menjaganya agar tetap hangat.

Di Jatinegara, beberapa stasiun dari LemahAbang, di kardus busuk di bawah Jembatan, Yanuar masih tergolek bersama Lusi.

“Lusi, apakah kau mencintaiku?”

Lusi terdiam. Dia masih letih, ketika malam tadi diajak Yanuar pergi dari jembatan ini dan merapat di antara lorong-lorong rumah toko, dekat taman Jatinegara.

“Kemana mereka ya Mas?”

“Akh sudahlah, bukankah itu yang kau inginkan? Kamu masih mencintaiku, kan?”

Kali ini, walau dengan berat hati, Lusi pun mengangguk.

Airmatanya berlinang, menatap ke arah pinggiran jembatan.
Dari jembatan ini, dia dapat melihat sisa langit yang tak seperti kemarin. Tak ada bulan di kaki horison langit.

Tak ada cahaya di jembatan ini, kecuali kegelapan yang menjawil-jawil tubuh setiap penghuninya.
Lusi teringat Ratna. Kepergiannya kemudian terasa menyergap kepiluan di hati Lusi. Bathinnya bertanya di dalam hati, “Setelah Mbak Ratna, apakah nanti aku yang akan bernasib sama dengannya?”

Pikiran itu tetap menderanya bahkan ketika Yanuar telah berada di atas tubuhnya. Bahkan ketika tubuh Yanuar turun dan tergolek pulas di sampingnya. “Apakah aku besok harus ikut minggat dan kembali ke kampung halaman sebelum dibuang Mas Yanuar?”

“Apakah…”

(Suara Karya | Sabtu, 14 Juli 2012)