Maafkan Keegoisan Mereka, Ya Tuhan

Potret Dokter Mengabaikan Pasiennya (Sumber : 13 Ways to Get a Doctor to Take Your Pain (Very, Very) Seriously)

Penang, 11 Maret 2020. Masih teringat jelas oleh adikku perkataan dokter saraf yang kewalahan menangani penyakit papa. “Saya tengok, sakitnya Bapak makin teruk. Pulang lebih baik daripada terlambat, kami tak bisa berbuat banyak,” begitu ujarnya kepada adikku yang berdiri di bibir ranjang papa. “Tapi, dok…,” bantah adikku, “Jakarta sedang dilanda wabah Covid-19, tolong kami yang sudah datang jauh-jauh kesini, tidak adakah antibiotik lain yang dapat mengobatinya?” pinta adikku. Dokter itu menegaskan, “Tak ada, polymixin B is the final one .” Adikku tersentak dan tak kuasa menahan air mata yang mulai membasahi kedua pipinya.

Papa tiba di Jakarta pada 16 Maret, satu hari sebelum Malaysia resmi di-lockdown . Masih dipasang ventilator, papa tampak letih lesu, tingkat kesadarannya agak menurun, ia terbaring kaku di dalam ambulans yang mengantarkannya pulang. Sesampainya di rumah, seusai tim paramedis melepaskan ventilator, adikku langsung memasangkan pulse oximeter , si penjepit minimalis yang bisa dimasukkan ke dalam kocek, ke jari manis papa. “Puji Tuhan, saturasi oksigennya stabil di 99 dan denyut jantungnya di 80!” seru adikku lega, menenangkan seisi rumah yang terlihat tegang.

“Tapi, kita tak bisa membiarkan papa seperti ini,” timpalku, “Papa harus dibawa ke spesialis mikrobiologi klinik untuk diobati sepsisnya. Kau tahu kenapa papa tidak diberikan pengencer darah di Penang? Karena sepsisnya lebih bahaya dibandingkan strokenya. Kemarin kalau tidak salah, aku dapat kontak asisten dokter itu, coba kuhubungi dulu.” Di ponsel kucoba menjelaskan sakit papa kepadanya, sang asisten tampaknya sudah mengerti keluhan utama papa.

Tak lama kemudian, ia menelponku kembali. “Bisa Pak, kebetulan besok dokternya praktik. Kata dokter, kasus penyakit papa diperhitungkan ke dalam special case . Besok jam tujuh pagi, langsung datang saja ke IGD untuk dilakukan pemeriksaan, ya!” kata sang asisten mengingatkan.

Kami berangkat dari rumah pagi-pagi buta. Sesampainya di IGD, kami terkesiap saat dua orang dokter jaga mengucapkan, “ruang ICU penuh.” “Kami datang kesini untuk rawat jalan, Dok,…” Belum menungguku selesai berbicara, mereka menyalahkan kami karena melangkahi SOP rumah sakit. “Harusnya ada dokter pendamping yang menjelaskan kondisi pasien,” sanggah salah seorang dokter. Mereka sepertinya tidak mengerti apa yang kumaksud. Tanpa berdebat panjang lagi, kuminta mereka untuk menghubungi pakar mikrobiologi klinik yang bersangkutan.

Lima menit kemudian, namaku dipanggil untuk tanda tangan di selembar kertas dan mengurus registrasi pasien. “Akhirnya!” gumamku. Papa dipindahkan ke ruang isolasi dan diambil air liurnya untuk pengecekan virus Corona sebelum dilanjutkan pemeriksaan darah dan bakteri. Tuhan amat baik! Setelah berjam-jam menunggu hasil tes SWAB, papa dinyatakan negatif Covid-19. “Syukurlah!” teriakku. Doa kami dijawab Tuhan.

Namun, berita baik itu diikuti kabar buruk. Sepsis papa sudah gawat. Awalnya, papa dihimbau untuk dirawat di ruang ICU rumah sakit lain, tapi karena takut papa terinfeksi bakteri baru jika tetap dirawat, kami mengurungkan niat dan membawa papa pulang.

Tiga belas hari lamanya, kami merawat papa secara mandiri di rumah. Entahlah, sejak hari itu, kulihat bruder bekerja lebih giat dari biasanya. Mungkin karena ia sadar ia butuh panduan adik perempuanku yang memang hebat mengingat jadwal pemberian obat-obatan papa.

Tapi, Tuhan berkata lain. Tepat 1 April subuh, seisi ruangan tersedu sedan. Kami menundukkan kepala dan mulai meneteskan air mata. Ya, karena detak jantung papa berhenti mendadak. “Bruder, cek denyut nadi papa, terus lakukan resusitasi sampai dia sadar,” perintah adikku. “Coba kumintakan bantuan ke dokter umum terdekat,” kataku. Sesampainya di rumah sang dokter, ia hanyalah seorang pengecut ulung. Beribu alasan kami dengar, “Maaf kami tak bisa bantu karena peralatan kami kurang lengkap, langsung bawa saja papamu ke rumah sakit.”

Kami terperanjat mendengar ucapannya. Padahal, di saat yang bersamaan, petugas ambulans sudah datang ke rumah dan meminta dokter itu untuk menyempatkan diri datang. Dengan suara lirih, kami menjelaskan ketidaksanggupan dokter itu, meminta agar segera membawa papa ke IGD terdekat. “Sudah terlambat, tak ada gunanya, pupil matanya sudah tidak merespons,” ujar seorang perawat pria. Adikku yang terlihat belum menyerah menjerit pilu. “Belum, barusan dicek masih terbaca tekanan darahnya, tolong bantu kejut jantungnya!” Betapapun kami meminta, mereka tetap menggeleng-gelengkan kepala. Karena tak dapat pertolongan segera, nyawa papa tak tertolong.

Sejak hari naas itu, kami memetik sebuah pelajaran hidup. “Saat munculnya pandemi Corona, tak sedikit tenaga medis yang terintimidasi oleh roh-roh ketakutan dan egoisme. Apa gunanya sila kedua Pancasila, jika manusia masih memedulikan dirinya sendiri?”

Hanya ada satu doaku: “Maafkan keegoisan mereka, ya Tuhan. Sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.”

#LombaCeritaMini #2.0 #dictiocommunity #EgoismediSekitarKita #CeritaDiRumahAja #DiRumahAja #IndonesiaCerdas #IndonesiaPeduli #IndonesiaSehat

1 Like