Cerita Mini 2.0 : Eliminated

Gambar 1

Amah … kapan aku bisa bertemu kembali dengan Papa dan Mama, lalu memeluknya? Aku sangat rindu.” Gracia menangis.

“Sabar, ya, Sayang. Mereka sedang berjuang untuk orang lain yang membutuhkan. Doakan saja wabah ini segera berakhir agar segalanya cepat pulih,” ucap Li Wei Shen seraya mengusap-usap kepala Gracia dengan lembut.

Gracia menjerit. Tak kuasa menahan derita. Gadis berusia sepuluh tahun itu kini hanya tinggal bersama neneknya yang sudah renta. Andai orang tuanya bukanlah dokter, pasti mereka sudah berkumpul bersama di rumah.

Li Wei Shen memeluk Gracia dengan erat. Ia mengerti perasaan cucunya. Kalau dipikir-pikir, nasib mereka sebelas dua belas. Hanya saja, waktu dan musibahnya yang berbeda. Namun keduanya sama-sama menderita karena keegoisan manusia.

Kenangan suram enam puluh dua tahun silam seakan terputar kembali. Meski sudah lanjut usia, ingatan Li Wei Shen masih bagus. Seluruh memori tentang Mao Zedong, genosida, dan kelaparan di Tiongkok tersimpan rapi dalam hipokampus.


“MUSNAHLAH KALIAN SEMUA!” teriak salah satu petani sambil menembak sekumpulan burung pipit.

Bunyi senapan angin terdengar di seluruh penjuru. Orang-orang di desa makin ganas. Mereka bekerja sama memberantas kawanan burung pipit. Anak-anak kecil memukul drum dan gendang sekeras-kerasnya untuk menakut-nakuti burung pipit. Sedangkan ibu-ibu memukulkan panci, membuat burung pipit kelelahan terbang, lalu mati.

“Li Wei Shen! Kenapa kau diam saja? Cepat tembak burung-burung itu!” suara Mu Fang Yu—teman sekolahnya yang merupakan anak petani—mengagetkan Li Wei Shen.

“A-Aku tidak bisa membunuh binatang. Aku cinta mereka. Maafkan aku …,” respons Li Wei Shen seraya menjatuhkan senapan angin yang ia pegang.

“Bodoh! Egois sekali jadi manusia. Kalau kau tidak membunuh mereka, sama saja dirimu membunuh manusia. Burung pipit adalah hama bagi petani!”

Air mata Li Wei Shen mulai mengalir.

“Hei! Untuk apa menangis? Sudahlah, kalau kau tidak mau menuruti perkataanku, hiduplah sendiri saja. Silakan menjadi gelandangan dan kelaparan!”

Li Wei Shen menyeka air matanya dan kembali bersuara.

“B-Baiklah, Mu Fang Yu. Aku akan ikut kampanye ini. Kumohon, jangan usir diriku dari rumahmu. Aku masih membutuhkan tempat tinggal.”

Mu Fang Yu tersenyum puas. Sementara itu, Li Wei Shen dengan gemetar mengambil kembali senapan angin yang sempat ia jatuhkan tadi. Dibantu oleh kekuatan yang entah datang dari mana, ia langsung mengarahkan senjata itu ke beberapa burung pipit. Hasilnya, ada delapan ekor burung pipit yang mati karenanya. Dalam waktu sepersekian detik, status Li Wei Shen telah berubah menjadi pembunuh. Kini ia ikut andil dalam genosida.

“Aku tak menyangka, Li Wei Shen. Rupanya kau lebih hebat dariku. Kau pasti akan mendapatkan uang yang banyak dari pemerintah!” puji Mu Fang Yu.

Li Wei Shen tersenyum murung. Sebenarnya ia tak mau seperti ini. Namun apa boleh buat? Hanya keluarga Mu Fang Yu yang peduli terhadap kehidupannya sebagai anak sebatang kara.

Kampanye itu baru berlangsung selama sepekan, tapi jumlah burung pipit yang mati di desa sudah ratusan ribu. Para petani merasa cukup puas. Setelah semua ini, pastilah padi dan gandum mereka terbebas dari hama. Perekonomian rakyat bisa lebih maju. Akan tetapi, realitas dan takdir Tuhan berkata lain. Pemusnahan burung pipit justru mengakibatkan ketidakseimbangan ekologi. Banyak tanaman warga rusak parah dan gagal panen karena dimakan hama ulat dan belalang. Makin hari populasi belalang kian meningkat. Belum lagi hal itu diperparah oleh adanya badai dan kesalahan sistem agrikultur, sehingga menyebabkan kelaparan hebat. Fenomena kanibalisme pun terjadi di beberapa daerah, termasuk desa di mana Li Wei Shen tinggal.

“Li Wei Shen … di manakah dirimu? Aku takut,” isak Mu Fang Yu.

Li Wei Shen mendengar suara temannya, tapi ia juga ketakutan. Sendiri adalah pilihan terbaik saat itu. Sebab Li Wei Shen melihat dengan mata kepalanya sendiri, banyak orang tua yang makan daging anaknya, begitupun sebaliknya. Li Wei Shen khawatir bila Mu Fang Yu akan membunuh dan menjadikannya sebagai santapan untuk keluarga. Apa boleh buat? Semua orang kelaparan. Demi menyambung hidup, apa pun mereka makan.

“Aaaaaa!!!”

Teriakan Mu Fang Yu memekakkan telinga Li Wei Shen. Hanya sesaat, setelah terdengar suara senapan angin sebanyak tiga kali, teriakan itu sirna. Di kejauhan, Li Wei Shen melihat tubuh Mu Fang Yu tergeletak tak bernyawa. Sang ayah dengan cepat mengamankannya.

Li Wei Shen menangis. Kini ia benar-benar sendirian. Program Mao Zedong membuat kacau segalanya. Bukannya memusnahkan hama, justru manusia yang binasa. Apakah manusia adalah hama bagi alam?