Apa yang anda ketahui tentang Candi Penataran : Candi pemujaan Hyang Acalapati atau Girindra ?

Perpusnas - Candi Panataran terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, sekitar 12 km ke arah utara dari Kota Blitar, tepatnya di Desa Panataran, Kecamatan Ngleggok, Kabupaten Blitar. Candi ini merupakan sekumpulan bangunan kuno yang berjajar dari barat-laut ke timur kemudian berlanjut ke tenggara, menempati lahan seluas 12.946 m2.

Gugus candi Panataran ditemukan kembali pada tahun 1815 oleh Sir Thomas Stamford Raffles (1781 – 1826), Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang berkuasa di Nusantara pada waktu itu. Bersama Dr. Horsfield seorang ahli ilmu alam, Raffles mengadakan kunjungan ke Candi Panataran. Setelah diketemukan kembali oleh Raffles, para peneliti mulai berdatangan untuk melakukan penyelidikan dan pencatatan benda purbakala di kawasan Panataran. Pada tahun 1867, Andre de la Porte bersama J. Knebel juga mengadakan penelitian terhadap kawasan candi Panataran. Hasil penelitiannya diterbitkan pada tahun 1900 dengan judul “De ruines van Panataran”.

Dalam kitab Negarakertagama, Candi Penataran disebut dengan nama Candi Palah. Diceritakan bahwa Raja Hayam Wuruk (1350 - 1389 M) dari Majapahit sering mengunjungi Palah untuk memuja Hyang Acalapati, atau yang dikenal sebagai Girindra (berarti raja gunung) dalam kepercayaan Syiwa. Oleh karena itu, jelas bahwa Candi Palah sengaja dibangun di kawasan dengan latar belakang Gunung Kelud, karena memang dimaksudkan sebagai tempat untuk memuja gunung. Pemujaan terhadap Gunung Kelud bertujuan untuk menangkal bahaya dan menghindarkan diri dari petaka yang dapat ditimbulkan oleh gunung tersebut.

Berdasarkan tulisan pada sebuah batu yang terletak sisi selatan bangunan utamanya, diduga bahwa Candi Palah dibangun pada awal abad 12, atas perintah Raja Srengga dari Kediri. Walaupun demikian, Candi Panataran terus mengalami pengembangan dan perbaikan sampai dengan, bahkan sesudah, masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Dugaan ini didasarkan pada berbagai angka tahun yang tertulis pada berbagai tempat di candi ini yang berkisar antara tahun 1197 sampai tahun 1454 M. Seluruh areal Panataran, kecuali halaman yang berada di bagian tenggara, terbagi oleh dua jalur dinding yang melintang dari utara ke selatan menjadi tiga bagian.

Gerbang

Gerbang masuk ke areal candi terletak sisi barat. Dari pintu masuk terdapat tangga turun ke pelataran seluas sekitar 6 m2. Di pelataran ini terdapat dua buah arca raksasa penjaga pintu (dwarapala), Pada tatakan arca tertera tulisan tahun 1242 Saka (1320 M.) dalam huruf Jawa kuno. Berdasarkan tulisan angka tahun tersebut para pakar menduga bahwa Candi Panataran baru diresmikan sebagai tempat suci milik kerajaan (state temple) pada masa pemerintahan Raja Jayanegara, yang memerintah Majapahit tahun 1309-1328 M.

Di sisi belakang emperan, di antara kedua arca Dwaraphala tersebut, terdapat tangga naik menuju ke pelataran depan. Di puncak tangga masih terdapat sisa-sisa pintu gerbang dari bahan batu bata merah. Pintu gerbang ini masih disebut-sebut oleh Jonathan Rigg dalam kunjungannya ke Candi Panataran pada tahun 1848.

Susunan Candi Panataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan yang lainnya berhadap-hadapan, berjajar dari depan ke belakang, sehingga sepintas kelihatan agak membingungkan. Susunan bangunan semacam ini mirip dengan susunan pura di Bali. Dalam susunan seperti ini, bangunan yang paling suci terletak di pelataran paling dalam atau paling belakang, yaitu yang paling dekat dengan gunung.

Pelataran Depan

Bale Agung. Di pelataran depan terdapat sekitar 6 buah bekas bangunan, 2 buah diantaranya tidak dapat dikenali lagi bentuk aslinya. Salah satu bangunan yang penting adalah Bale Agung, yang terletak di sisi barat-laut pelataran depan, agak menjorok ke barat (ke depan).Bale Agung, menurut N.J.Krom, dipergunakan untuk tempat musyawarah para pendeta atau penanda, seperti pura di Bali. Bale Agung merupakan bangunan yang berbentuk seperti panggung persegi panjang berukuran 37 X 18,84 m2 dengan lantai setinggi 1,44 meter. Dinding dan atap bangunan sudah tak bersisa. Hanya lantainya yang masih utuh.

Pada lantai terdapat beberapa umpak batu yang diperkirakan fungsinya dahulu adalah sebagai penumpu tiang-tiang kayu penyangga atap. Seluruh lantai terbuat dari batu, dihiasi pahatan naga yang melilit di sekeliling dinding lantai dan kepalanya menyembul di setiap sudut lantai.

Di pertengahan setiap sisi terdapat tangga diapit dua buah arca Mahakala. Semua arca Mahakala masih berada di tempatnya kecuali yang berada di sisi timur.

Tempat Tinggal Pendeta. Bangunan yang letaknya di sisi utara, sejajar dengan Bale Agung, ini diperkirakan dahulu digunakan sebagai tempat tinggal pendeta. Seluruh bangunan sudah hancur, sehingga hanya tinggal tatanan umpak yang tersisa.

Batur Pendapa. Bangunan ini disebut juga Batur Pendapa. Letaknya di sebelah tenggara Bale Agung, tepat di belakang tempat tinggal para pendeta. Sebagaimana halnya dengan Bale Agung, yang masih tersisa saat ini hanyalah lantai bangunan yang terbuat dari batu, seluas 29,05 X 9,22 m2 dengan tinggi 1,5 m. Sekeliling dinding lantai dihiasi dengan relief cerita-cerita. Diduga bangunan Batur Pendapa ini dahulu berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan sesajian dalam upacara keagamaan.

Tangga untuk naik ke lantai pendapa hanya terdapat di sisi barat atau bagian depan. Terdapat dua buah tangga, di kiri dan di kanan, yang pada masing-masing diapit oleh sepasang arca raksasa kecil bersayap, bertumpu pada salah satu lututnya dan salah satu tangannya memegang gada. Pipi atau dinding pembatas tangga berbentuk gelung dengan hiasan ‘tumpal’ yang indah pada puncaknya. Pada pelipit atas sisi timur dinding lantai, tersembunyi di antara pahatan hiasan sulur dan dedaunan, terdapat pahatan angka tahun yang menunjukkan bahwa bangunan ini dibangun pada tahun 1297 Saka atau 1375 Masehi.

Batur Pendapa ini juga dihiasi dengan pahatan naga-naga yang saling membelakangi, melilit di sekililing dinding lantai. Ekor kedua naga yang saling membelakangi tersebut saling membelit, sedangkan kepalanya yang mendongak keatas, memakai kalung dan berjambul menyembul ke atas di antara pilar-pilar bangunan.

Bangunan Lain. Kedua bekas bangunan lainnya hanya tinggal fondasinya yang terbuat dari bata merah. Melihat banyaknya umpak batu yang tersisa di pelataran depan, diduga dahulu terdapat bangunan-bangunan yang menggunakan tiang kayu seperti yang dijumpai pada pura-pura di Bali. Banyaknya bangunan yang menggunakan tiang-tiang kayu belum diketahui secara pasti.

Pelataran tengah

Sekitar 8 m di timur atau belakang Batur Pendapa terdapat bekas dinding batu bata yang melintang dari utara ke selatan, yang membatasi pelataran depan dengan pelataran tengah. Di ujung selatan perbatasan, segaris dengan gerbang depan, terdapat bekas pintu gerbang yang di depannya dijaga oleh sepasang Arca Dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil daripada yang terdapat di gerbang depan. Pada tatakan salah satu arca tertera angka tahun 1214 Saka (1319 M). Belum diketahui peristiwa apa yang dikaitkan dengan angka tahun ini. Di pelataran tengah ini masih dapat disaksikan sekitar 7 bekas bangunan, baik yang terbuat dari bahan batu bata merah maupun yang dibuat dari bahan batu andesit. Dari ketujuh bekas bangunan tersebut enam di antaranya sudah tidak dapat dikenali bentuknya.

Pelataran tengah terbagi dua lagi oleh dinding yang membujur arah timur-barat. Belum dapat diketahui apakah pelataran tengah ini dahulu dikelilingi oleh tembok, karena yang tertinggal hanya fondasi saja. Begitu juga tembok yang mengelilingi seluruh areal Panataran sudah runtuh. Tembok keliling dan dinding penyekat terbuat dari bahan batu bata merah yang tak mampu bertahan dalam perjalanan waktu yang panjang.

Candi Angka Tahun. Bangunan ini berada sekitar 20 m. di sebelah timur Batur Pendapa, seluruhnya terbuat dari batu andesit. Disebut Candi Angka Tahun karena bangunan di atas ambang pintu masuknya jelas terpahat angka tahun 1291 Saka (1369 M). Masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan sebutan Candi Brawijaya, karena bangunan ini dipergunakan sebagai lambang Kodam Brawijaya. Sebagian orang menyebutnya Candi Ganesha, karena di dalam bilik candi terdapat sebuah arca Ganesha (dewa berkepala gajah). Bentuk Candi Angka Tahun ini sangat dikenal masyarakat, sehingga seakan-akan mewakili seluruh candi Panataran.

Candi Angka tahun menghadap ke barat, karena pintu candi terletak di sisi barat. Di halaman depan, di kiri dan kanan bangunan candi, terdapat sepasang arca. Kaki candi cukup tinggi, sehingga untuk mencapai pintu dibuat tangga batu dengan pipi tangga berbentuk ‘ukel’ (gelung) besar dengan hiasan ’ tumpal’ berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama kaki. Dalam tubuh candi terdapat bilik (garba grha), yang di dalamnya terdapat arca Ganesha.

Sebagaimana candi lainnya, di atas ambang pintu terdapat hiasan kalamakara. Tepat di bawahnya, tertera angka tahun yang telah dijelaskan di atas. Pada dinding di ketiga sisi lainnya terdapat relung yang menyerupai pintu semu, yang juga dihiasi dengan kalamakara di atasnya. Di Jawa Timur, Kalamakara sering disebut Banaspati yang berarti raja hutan. Kala di atas ambang pintu dan relung candi dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk ke lingkungan candi.

Atap candi dipenuhi dengan hiasan yang meriah, dengan puncak berbentuk persegi. Di bagian atas bilik candi pada batu penutup sungkup terdapat relief ‘Surya’, yakni lingkaran yang dikelilingi oleh pancaran sinar berupa garis-garis bersusun vertikal membentuk beberapa buah segitiga sama kaki. Relief ‘Surya’ yang merupakan lambang Kerajaan Majapahit ini juga ditemukan di beberapa candi lain di Jawa Timur dalam bentuk yang sedikit bervariasi.

Candi Naga. Bangunan ini di sebut Candi Naga karena sekeliling tubuhnya dililit oleh pahatan berwujud naga. Bangunan candi seluas 4.83 X 6,57 m. dengan tinggi 4,70 m. ini juga terletak di pelataran tengah. Seluruh bangunan terbuat dari batu andesit. Seperti Candi Angka Tahun, pintu masuk ke bilik candi terletak di sisi barat. Kaki candi cukup tinggi, sehingga untuk mencapai pintu dibuatkan tangga. Pipi tangga berbentuk ‘ukel’ berhiaskan ‘tumpal’. Di kanan kiri kaki tangga terdapat arca raksasa membawa gada yang saat ini hanya tinggal satu. Bangunan yang ada saat ini merupakan hasil pemugaran tahun 1917-1918. Yang berhasil dikembalikan ke bentuk aslinya hanya bagian kaki dan tubuh candi. Bagian atap yang kemungkinan dibuat dari bahan yang tidak tahan lama telah runtuh.

Pada dinding tubuh candi terdapat pahatan sembilan tokoh yang berdiri di kiri dan kanan pintu masuk, di setiap sudut, dan di tengah ketiga dinding lainnya. Kesembilan tokoh ini digambarkan dalam busana kerajaan yang mewah dan dilatarbelakangi oleh ‘prabha’ (tempat bersandar yang dihisasi dengan sinar kedewaan).

Salah satu tangannya memegang genta, sedang tangan yang lain menyangga tubuh naga yang melingkari bagian atas bangunan. Di antara pahatan tokoh-tokoh tersebut terdapat pahatan bermotif bulatan yang disebut ‘motif medalion’. Dalam bulatan terdapat kombinasi relief daun-daunan atau bunga-bungaan dan berbagai jenis binatang. Di antara bulatan-bulatan tersebut terdapat relief cerita binatang dalam ukuran yang lebih kecil. Sayang cerita yang digambarkan dalam relief ini belum dapat diungkapkan.

Menurut orang Bali yang pernah mengunjungi Panataran, fungsi Candi Naga sama dengan fungsi Pura Kehen di Bali, yaitu sebagai tempat penyimpanan benda-benda milik para dewa. Barangkali lebih tepat bila Candi Naga dibandingkan dengan Pura Taman Sari yang terletak di Kabupaten Klungkung. Pura yang ditemukan tahun 1975 ini menunjukkan pertalian yang dekat dengan kerajaan Majapahit. Selain berfungsi sebagai tempat pemujaan Kerajaan Klungkung, Pura Taman Sari juga dipergunakan sebagai tempat ‘pemasupatian’ (pemberian kesaktian) terhadap senjata-senjata pusaka yang dibawa dari kerajaan Majapahit. Apabila perbandingan ini dapat dibenarkan, maka fungsi Candi Naga bukan hanya untuk menyimpan benda-benda upacara milik para dewa, tetapi lebih juga sebagai tempat ‘pemasupatian’ pusaka milik kerajaan Majapahit. Dengan demikian, untuk keperluan ‘pemasupatian’, pusaka-pusaka Majapahit tidak perlu dibawa ke Bali.

Pelataran Dalam

Halaman terakhir adalah pelataran dalam yang semula juga dibatasi dengan dinding yang melintang arah utara-selatan. Di selatan juga terdapat bekas pintu gerbang yang dijaga oleh sepasang arca dwarapala. Di pelataran ini terdapat sekurangnya 9 bangunan, 2 buah yang sudah dapat dikenali adalah candi induk dan susunan percobaan bangunan tubuhnya. Ketujuh bangunan lainnya tinggal reruntuhan yang masih belum terungkapkan bentuk dan fungsinya.

Candi Utama (Induk). Candi Induk merupakan bangunan yang terbesar di antara seluruh bangunan Panataran. Lokasi bangunan terletak di pelataran paling belakang (timur), yang dianggap sebagai bagian yang suci. Bangunan candi terdiri atas tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19 m.

Teras pertama berbentuk empat persegi dengan diameter 30,06 meter untuk arah timur barat. Di pertengahan keempat sisinya terdapat bagian yang menjorok keluar sekitar 3 m. Untuk naik ke teras pertama, terdapat dua buah tangga di kiri dan kanan sisi barat. Pada masing-masing sisi kedua tangga terdapat arca dwarapala yang pada tatakannya terpahat angka tahun 1269 Saka (1347 M). Sepanjang dinding teras pertama dipenuhi pahatan relief cerita.

Teras kedua berukuran lebih kecil dibandingkan dengan teras pertama, karena pada bagian yang menjorok keluar di teras pertama justru sedikit menjorok ke dalam di teras kedua. Perbedaan ukuran antara teras pertama dan teras kedua membentuk selasar di lantai teras pertama, yang memungkinkan orang berjalan mengelilingi bangunan sambil menyaksikan adegan-adegan yang digambarkan dalam relief cerita yang terpahat di sepanjang dinding. Pada dinding di teras pertama dan kedua berjajar panil pahatan cerita Ramayana dan dan Krisnayana diselingi dengan hiasan motif medalion.

Pada teras kedua terdapat sebuah tangga naik yang letaknya hampir di pertengahan dinding. Tangga naik ini bersambung dengan tangga yang berada di teras ketiga.

Teras ketiga berbentuk hampir bujur sangkar. Dindingnya berpahatkan naga bersayap dengan kepala yang sedikit mendongak ke depan dan singa bersayap dengan kaki belakang dalam posisi berjongkok sedangkan kaki depannya terangkat ke atas. Pahatan-pahatan pada dinding teras ketiga ini selain untuk mengisi bidang yang kosong juga berfungsi sebagai pilar bangunan.

Pada waktu dilakukan pembongkaran lantai teras ketiga, dalam rangka pemugaran, didapati bahwa bagian tengah lantai terbuat dari bata merah. Nampak jelas denah bangunan yang berbentuk persegi empat dengan bagian-bagian yang menjorok kedepan. Berdasarkan temuan tersebut, timbul dugaan bahwa bangunan asli Candi Panataran dibuat dari bata merah. Dalam kurun waktu berikutnya Panataran mengalami perluasan dengan cara menutupi bangunan aslinya menggunakan batu andesit. Perluasan itu diperkirakan terjadi pada zaman Majapahit.

Teras ketiga merupakan emperan kosong. Di tempat itu seharusnya berdiri tubuh candi yang sampai saat ini belum berhasil dikembalikan ke wujud aslinya karena belum semua bagian bangunan berhasil ditemukan. Sebagian dari tubuh candi induk ini telah disusun dalam susunan percobaan di halaman candi.

Prasasti Palah. Di selatan candi utama masih berdiri tegak sebuah batu prasasti. Menilik besarnya ukuran batu prasasti, para ahli menduga sejak semula batu tersebut memang terletak di tempat itu.

Prasasti yang ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno tersebut berangka tahun 1119 Saka (1197 M.), dibuat atas perintah Raja Srengga dari Kerajaan Kediri. Isi prasasti yang, antara lain, menyebutkan tentang peresmian sebuah tanah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah, mendasari dugaan bahwa yang dimaksud dengan Palah tidak lain adalah Candi Panataran. Andaikata benar bahwa Palah adalah Candi Panataran, maka usia Candi Panataran sekurangnya telah mencapai 250 tahun dan pembangunan candi ini mengalami perjalanan panjang, yaitu dari tahun 1197, zaman kerajaan Kediri, sampai pada tahun 1454, zaman kerajaan Majapahit. Hampir semua bangunan yang dapat masih dapat disaksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan raja-raja Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari zaman Kediri) telah lama runtuh.

Bangunan lain.

Masih ada dua buah bangunan lain yang letaknya di luar areal Panataran yang masih ada hubungannya dengan candi Panataran, yaitu sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka (1415 M.) yang terletak di sebelah tenggara dan sebuah kolam ‘petirtaan’ (tempat mandi) dalam ukuran yang agak besar, yang terletak kira-kira 200 meter di timur-laut areal candi.

Galeri

Gerbang masuk ke areal candi terletak sisi barat. Dari pintu masuk terdapat tangga turun ke pelataran seluas sekitar 6 m2. Di pelataran ini terdapat dua buah arca raksasa penjaga pintu (dwarapala), Pada tatakan arca tertera tulisan tahun 1242 Saka (1320 M.) dalam huruf Jawa kuno. Berdasarkan tulisan angka tahun tersebut para pakar menduga bahwa Candi Panataran baru diresmikan sebagai tempat suci milik kerajaan (state temple) pada masa pemerintahan Raja Jayanegara, yang memerintah Majapahit tahun 1309-1328 M.

Di sisi belakang emperan, di antara kedua arca Dwaraphala tersebut, terdapat tangga naik menuju ke pelataran depan. Di puncak tangga masih terdapat sisa-sisa pintu gerbang dari bahan batu bata merah. Pintu gerbang ini masih disebut-sebut oleh Jonathan Rigg dalam kunjungannya ke Candi Panataran pada tahun 1848.

Di pelataran depan terdapat sekitar 6 buah bekas bangunan, 2 buah diantaranya tidak dapat dikenali lagi bentuk aslinya. Salah satu bangunan yang penting adalah Bale Agung, yang terletak di sisi barat-laut pelataran depan, agak menjorok ke barat (ke depan). Bale Agung, menurut N.J.Krom, dipergunakan untuk tempat musyawarah para pendeta atau penanda, seperti yang terdapat di pura-pura di Bali.

Bale Agung merupakan bangunan yang berbentuk seperti panggung persegi panjang berukuran 37 X 18,84 m2 dengan lantai setinggi 1,44 meter. Dinding dan atap bangunan sudah tak bersisa. Hanya lantainya yang masih utuh. Pada lantai terdapat beberapa umpak batu yang diperkirakan fungsinya dahulu adalah sebagai penumpu tiang-tiang kayu penyangga atap. Seluruh lantai terbuat dari batu, dihiasi pahatan naga yang melilit di sekeliling dinding lantai dan kepalanya menyembul di setiap sudut lantai.

Di pertengahan setiap sisi terdapat tangga diapit dua buah Arca Mahakala. Semua arca Mahakala masih berada di tempatnya kecuali yang berada di sisi timur.

Bangunan ini disebut juga Batur Pendapa. Letaknya di sebelah tenggara Bale Agung, tepat di belakang tempat tinggal para pendeta. Sebagaimana halnya dengan Bale Agung, yang masih tersisa saat ini hanyalah lantai bangunan yang terbuat dari batu, seluas 29,05 X 9,22 m2 dengan tinggi 1,5 m. Sekeliling dinding lantai dihiasi dengan relief cerita-cerita. Diduga bangunan Batur Pendapa ini dahulu berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan sesajian dalam upacara keagamaan.

Sekitar 8 m di timur atau belakang Batur Pendapa, terdapat bekas dinding batu bata yang melintang dari utara ke selatan, yang membatasi pelataran depan dengan pelataran tengah. Di ujung selatan perbatasan, segaris dengan gerbang depan, terdapat bekas pintu gerbang yang di depannya dijaga oleh sepasang arca dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil daripada yang terdapat di gerbang depan. Pada tatakan salah satu arca tertera angka tahun 1214 Saka (1319 M). Belum diketahui peristiwa apa yang dikaitkan dengan angka tahun ini. Di pelataran tengah ini masih dapat disaksikan sekitar 7 bekas bangunan, baik yang terbuat dari bahan batu bata merah maupun yang dibuat dari bahan batu andesit. Dari ketujuh bekas bangunan tersebut enam di antaranya sudah tidak dapat dikenali bentuknya.

Bangunan ini berada sekitar 20 m. di sebelah timur Batur Pendapa, seluruhnya terbuat dari batu andesit. Disebut Candi Angka Tahun karena bangunan di atas ambang pintu masuknya jelas terpahat angka tahun 1291 Saka (1369 M). Masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan sebutan Candi Brawijaya, karena bangunan ini dipergunakan sebagai lambang Kodam Brawijaya. Sebagian orang menyebutnya Candi Ganesha, karena di dalam bilik candi terdapat sebuah arca Ganesha (dewa berkepala gajah). Bentuk Candi Angka Tahun ini sangat dikenal masyarakat, sehingga seakan-akan mewakili seluruh candi Panataran.

Candi Angka tahun menghadap ke barat, karena pintu candi terletak di sisi barat. Di halaman depan, di kiri dan kanan bangunan candi, terdapat sepasang arca. Kaki candi cukup tinggi, sehingga untuk mencapai pintu dibuat tangga batu dengan pipi tangga berbentuk ‘ukel’ (gelung) besar dengan hiasan ’ tumpal’ berupa bunga-bungaan dalam susunan segitiga sama kaki. Dalam tubuh candi terdapat bilik (garbagrha), yang di dalamnya terdapat arca Ganesha.

Sebagaimana candi lainnya, di atas ambang pintu Candi Angka Tahun terdapat hiasan kalamakara. Tepat di bawahnya, tertera angka tahun yang menunjukkan tahun pembangunannya. Pada dinding di ketiga sisi lainnya terdapat relung yang menyerupai pintu semu, yang juga dihiasi dengan kalamakara di atasnya. Di Jawa Timur, kalamakara sering disebut Banaspati yang berarti raja hutan. Kala di atas ambang pintu dan relung candi dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat agar tidak berani masuk ke lingkungan candi.

Bangunan ini di sebut Candi Naga karena sekeliling tubuhnya dililit oelh pahatan berwujud naga. Bangunan candi seluas 4.83 X 6,57 m. dengan tinggi 4,70 m. ini juga terletak di pelataran tengah. Seluruh bangunan terbuat dari batu andesit.

Seperti Candi Angka Tahun, pintu masuk ke bilik candi terletak di sisi barat. Kaki candi cukup tinggi, sehingga untuk mencapai pintu dibuatkan tangga. Pipi tangga berbentuk 'ukel berhiaskan ‘tumpal’. Di kanan kiri kaki tangga terdapat arca raksasa membawa gada yang saat ini hanya tinggal satu. Bangunan yang ada saat ini merupakan hasil pemugaran tahun 1917-1918. Yang berhasil dikembalikan ke bentuk aslinya hanya bagian kaki dan tubuh candi. Bagian atap yang kemungkinan dibuat dari bahan yang tidak tahan lama telah runtuh.

Pada dinding tubuh candi terdapat pahatan sembilan tokoh yang berdiri di kiri dan kanan pintu masuk, di setiap sudut, dan di tengah ketiga dinding lainnya. Kesembilan tokoh ini digambarkan dalam busana kerajaan yang mewah dan dilatarbelakangi oleh ‘prabha’ (tempat bersandar yang dihisasi dengan ukiran). Salah satu tangannya memegang genta, sedang tangan yang lain menyangga tubuh naga yang melingkari bagian atas bangunan.

Pengadilan terakhir adalah pelataran dalam yang sebelumnya juga dipisahkan oleh dinding yang melintasi arah utara-selatan. Ke selatan, ada sebelumnya pintu gerbang dijaga oleh sepasang patung Dwarapala. Setidaknya ada 9 bangunan di pengadilan ini, 2 dari mereka telah diakui sebagai candi utama dan struktur eksperimental tubuh candi. Tujuh bangunan lainnya hanya meninggalkan puing-puing yang bentuk dan fungsi yang tidak dapat diidentifikasikan.

Masih ada dua buah bangunan lain yang letaknya di luar areal Panataran yang masih ada hubungannya dengan candi Panataran, yaitu sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka (1415 M.) yang terletak di sebelah tenggara dan sebuah kolam ‘petirtaan’ (tempat mandi) dalam ukuran yang agak besar, yang terletak kira-kira 200 meter di timur-laut areal candi.

Candi Induk merupakan bangunan yang terbesar di antara seluruh bangunan Panataran. Lokasi bangunan terletak di pelataran paling belakang (timur), yang dianggap sebagai bagian yang suci. Bangunan candi terdiri atas tiga teras bersusun dengan tinggi seluruhnya 7,19 m.

Teras pertama Candi Induk berbentuk empat persegi dengan diameter 30,06 meter untuk arah timur barat. Di pertengahan keempat sisinya terdapat bagian yang menjorok keluar sekitar 3 m. Untuk naik ke teras pertama, terdapat dua buah tangga di kiri dan kanan sisi barat. Pada masing-masing sisi kedua tangga terdapat arca dwarapala yang pada tatakannya terpahat angka tahun 1269 Saka (1347 M). Sepanjang dinding teras pertama dipenuhi pahatan relief cerita.

Perbedaan ukuran antara teras pertama dan teras kedua candi induk membentuk selasar di lantai teras pertama, yang memungkinkan orang berjalan mengelilingi bangunan sambil menyaksikan adegan-adegan yang digambarkan dalam relief cerita yang terpahat di sepanjang dinding. Pada dinding di teras pertama dan kedua terpahat relief Ramayana dan dan Krisnayana. Panil berisi episod cerita diselingi dengan hiasan motif medalion.

Teras ketiga berbentuk persegi. Dindingnya memiliki ukiran dari bersayap-naga dengan kepala terangkat ke atas dan singa bersayap dengan kaki belakang dalam posisi jongkok sementara kaki depan naik ke depan. Ukiran di dinding teras ketiga tidak hanya untuk mengisi ruang yang kosong, tetapi juga untuk melayani sebagai pilar.

Ketika lantai di teras ketiga telah dihapus selama restorasi, ditemukan bahwa bagian tengah lantai terbuat dari batu bata merah. Rencana situs persegi sangat jelas, bersama dengan bagian-bagian yang memproyeksikan ke depan. Berdasarkan temuan, asumsi dikembangkan bahwa struktur asli dari Candi Panataran terbuat dari batu bata merah. Pada periode berikutnya waktu, Panataran diperluas dengan melapisi struktur asli dengan batu andesit. Ekspansi tersebut diperkirakan telah terjadi selama era Majapahit.

Teras ketiga adalah beranda kosong. Di tempat ini tubuh candi seharusnya ada, tapi sampai hari ini masih mungkin untuk mengembalikan struktur asli karena tidak semua komponen telah ditemukan. Beberapa struktur candi induk ini telah direkonstruksi dalam pengaturan percobaan di halaman candi.

Di selatan candi utama masih berdiri tegak sebuah batu prasasti. Menilik besarnya ukuran batu prasasti, para ahli menduga sejak semula batu tersebut memang terletak di tempat itu. Prasasti yang ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno tersebut berangka tahun 1119 Saka (1197 M.), dibuat atas perintah Raja Srengga dari Kerajaan Kediri. Isi prasasti yang, antara lain, menyebutkan tentang peresmian sebuah tanah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah, mendasari dugaan bahwa yang dimaksud dengan Palah tidak lain adalah Candi Panataran. Andaikata benar bahwa Palah adalah Candi Panataran, maka usia Candi Panataran sekurangnya telah mencapai 250 tahun dan pembangunan candi ini mengalami perjalanan panjang, yaitu dari tahun 1197, zaman kerajaan Kediri, sampai pada tahun 1454, zaman kerajaan Majapahit. Hampir semua bangunan yang dapat masih dapat disaksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan raja-raja Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari zaman Kediri) telah lama runtuh.

Masih ada dua buah bangunan lain yang letaknya di luar areal Panataran yang masih ada hubungannya dengan candi Panataran, yaitu sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka (1415 M.) yang terletak di sebelah tenggara dan sebuah kolam ‘petirtaan’ (tempat mandi) dalam ukuran yang agak besar, yang terletak kira-kira 200 meter di timur-laut areal candi.

Masih ada dua buah bangunan lain yang letaknya di luar areal Panataran yang masih ada hubungannya dengan candi Panataran, yaitu sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka (1415 M.) yang terletak di sebelah tenggara dan sebuah kolam ‘petirtaan’ (tempat mandi) dalam ukuran yang agak besar, yang terletak kira-kira 200 meter di timur-laut areal candi.

Candi Penataran, Blitar Jawa Timur indonesia, terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Candi terbesar di provinsi Jawa Timur ini berada di sebelah utara Blitar, pada ketinggian empat ratus lima puluh mdpl. Lokasi Candi Penataran dekat dengan pemukiman warga di kampung penataran. Sehingga ditemukannya candi ini menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat yang berjualan di sekitar candi.

pena2

Candi Penataran dibangun Raja Kerajaan Kediri bernama Raja Srengga pada tahun 1194 M. Raja Srengga memiliki gelar Sri Maharaja Sri Sarweqwara Triwikramawataranindita Çrengalancana Digwijayottungadewa. Beliau berkuasa d Kerajaan Kediri pada tahun 1190 – 1200 M. Pada awal pembangunannya, sejarah Candi Penataran difungsikan sebagai sarana upacara pemujaan Hindu. Tujuan dari upacara ini salah satunya adalah untuk menangkal bahaya dari Gunung Kelud yang saat itu sering meletus. Di tahun 1286, Candi Naga dibangun di dalam komplek Candi Penataran. Di Candi Naga ini, Anda bisa melihat relief 9 orang yang menyangga naga. Naga sendiri merupakan lambang candrasengkala atau tahun 1208 Saka. Saat Pemerintahan Jayanegara, candi Penataran kembali mendapatkan perhatian. Pemimpin selanjutnya, yakni Tribuanatunggadewi dan Hayam Wuruk juga memberikan perhatian terhadap candi ini hingga menjadi candi negara resmi berstatus dharma lepas.

Di dalam Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca (1365), dijelaskan bahwa Raja Hayam Wueuk, yang saat itu memerintah Kerajaan Majapahit di tahun 1350 sampai 1389 M, mengunjungi Candi Penataran dalam lawatannya di daerah Jawa Timur. Raja Hayam Wuruk berkunjung ke candi ini dengan tujuan untuk memuja Hyang Acalapat, yang merupakan perwujudan Dewa Siwa sebagai Girindra atau Raja Penguasa Gunung. Di dalam sumber lain, yakni sebuah kronik dari abad XV, disebutkan bahwa Candi Penataran merupakan tempat yang digunakan sebagai sarana belajar agama dan tempat ziarah yang ramai pengunjungnya. Kronik ini mengisahkan perjalanan seorang bangsawan Kerajaan Sunda ke Candi Penataran yang di dalam kronik itu disebut sebagai Rabut Palah.