Burung Dan Telur

Kisah Sufi

Zaman dahulu ada seekor burung yang tidak mempunyai tenaga untuk terbang. Seperti ayam, ia berjalan-jalan saja di tanah, meskipun ia tahu bahwa ada burung yang bisa terbang.

Karena berbagai keadaan, ada telur seekor burung yang bisa dierami oleh burung yang tak bisa terbang itu.

Setelah sampai waktunya, telur itu pun menetas.

Burung kecil itu masih memiliki kemampuan untuk terbang yang diwarisi dari ibunya, yang tersimpan dalam dirinya sejak ia masih berada dalam telur.

Ia pun berkata kepada orang tua angkatnya,

“Kapan aku akan terbang?”

Dan burung yang hanya bisa berjalan di tanah itu menjawab,

“Cobalah terus menerus belajar terbang, seperti yang lain.”

Yang tua itupun tidak tahu bagaimana mengajarkan cara terbang kepada anak angkatnya: ia bahkan tidak tahu bagaimana menjatuhkannya dari sarang agar bisa belajar terbang.

Dan aneh bahwa burung kecil itu tidak mengetahui hal tersebut. Pemahamannya terhadap keadaan terkacau oleh kenyataan bahwa ia merasa berterima kasih kepada burung yang telah mengeraminya.

“Tanpa jasa itu,” katanya kepada diri sendiri, “tentu aku masih berada dalam telur.”

Dan ia juga kadang-kadang berkata kepada dirinya sendiri,

“Siapa pun bisa mengeramiku, tentu bisa juga mengajarku terbang. Tentunya hanya soal waktu saja, atau karena usahaku yang tanpa bantuan, atau karena suatu kebijaksanaan agung: ya, ini jawabnya. Tiba-tiba suatu hari aku akan terbawa ke tahap berikutnya oleh-nya yang telah membawaku sejauh ini.”

Catatan
Kisah ini terdapat dalam berbagai bentuk dalam versi-versi yang berbeda dari karya Suhrawardi, Awarif al-Maarõf, dan mengandung pelbagai pesan. Konon, kisah ini bisa ditafsirkan secara intuitif sesuai dengan tahap kesadaran yang telah dicapai oleh orang yang belajar ilmu Sufi. Yang jelas saja kisah ini mengandung nasehat-nasehat, beberapa diantaranya menekankan dasar dasar utama peradaban modern, antara lain:

“Konyollah apabila kita beranggapan bahwa suatu hal mengikuti sesuatu yang lain; anggapan itu juga menghalangi kemajuan selanjutnya,” dan “Bahwa sesuatu bisa melakukan fungsi tertentu tidaklah berarti bahwa juga ia bisa melakukan fungsi yang lain.”

Sumber : Idries Shah, Kisah-kisah Sufi, terjemahan: Sapardi Djoko Damono, Pustaka Firdaus, 1984