Burial Rites : Memanusiakan Pembunuh Berdasarkan

“Aku tak ingat seperti apa rasanya tidak mengenal Natan. Aku tak bisa membayangkan seperti apa rasanya tidak mencintai dia. Melihat dirinya dan menyadari aku terlambat menemukan apa yang selama ini begitu kudambakan, tanpa kuketahui sama sekali. Rasa lapar yang begitu dalam dan begitu dahsyat, yang membuatku terjerumus ke dalam malam, sehingga aku takut bukan kepalang.”

Sangat miris bukan apabila kita sebagai pembaca malah disuguhkan dengan suatu cerita yang berakhir dengan tragis dan kematian? bahkan bukan dengan kematian yang damai ataupun tentram, malahan mati dieksekusi layaknya pesakitan (terdakwa). Buku karangan Hannah Kent ini mempunyai plot cerita yang sangat rapi, beralur maju mundur yang berpengaruh terhadap klimaks perlahan-lahan yang diciptakan oleh si penulis. Sang penulis dalam menuliskan buku ini telah mengumpulkan berbagai catatan-catatan gereja, arsip-arsip paroki, artikel serta hasil wawancara dengan masyarakat setempat untuk dapat menuliskan sebuah cerita dengan alur yang memukau.

Apabila kita melihat dari kondisi cover buku ini pemilihan warna sangatlah tidak mencolok. Karena sisi cerita ini sangat suram, justru Hannah tidak memilih warna yang gelap atau menyeramkan. Itulah yang bisa menjadikan pembaca menarik dan memiliki rasa penasaran dari pemilihan warna yang kalem. Buku yang berjudul Burial Rites ini menceritakan tentang seorang terpidana mati yang dijatuhi hukuman penggal di Semenanjung Vanstnes, Islandia Utara pada tahun 1828.


Hal yang sangat menarik akan langsung pembaca dapatkan begitu ia membuka halaman paling depan. Di sana Hannah memberikan sedikit informasi kecil namun cukup jarang untuk dilakukan oleh penulis-penulis lainnya, ia menuliskan berbagai catatan mengenai nama-nama Islandia dan catatan mengenai pelafalan dalam bahasa Islandia. Walaupun sederhana, namun hal tersebut tentunya dapat mengedukasi pembaca yang berasal dari negara lain. Selain itu hal menarik lainnya yang terdapat di dalam buku ini ialah disaat Hannah juga menyematkan peta negara Islandia guna mengedukasi para pembaca mengenai lokasi pembunuhan yang ada di dalam cerita Burial Rites.

Novel Burial Rites adalah sebuah novel yang didasarkan atas kisah nyata yang terjadi telah ratusan tahun silam, yakni 188 tahun lalu. Novel ini menceritakan pembunuhan Natan Ketilsson dan Petur Jonsson, oleh tiga orang dekatnya yaitu Agnes Magnusdottir, Fridik Sigurdsson, dan Sigridur Gudmunsdottir. Tragisnya, kedua korban dibunuh dengan sangat brutal pada malam hari. Ketiga pelaku tersebut adalah orang yang bekerja dengan Natan. Dua diantaranya menjalin asmara dengannya. Kasus ini menjadi kasus yang dihukum dengan hukuman mati atau eksekusi terakhir di Islandia. Sesudah itu, negara tersebut menghapuskan hukuman mati bagi para pelaku yang berbuat kriminal.

Tanah Pertanian Illugastandir Credit (TKP pembunuhan Natan Ketilsson) pada tahun 2017. Photo credit by Mercury News/AP Photo/Egill Bjarnason

Nama tanah pertanian yang menjadi TKP pembunuhan tragis tersebut adalah Illugastandir, yang kebanyakan hanya diceritakan dari sudut pandangnya saja. Ketiga pelaku kejahatan itu melakukan tindakan kejinya berdasarkan motif keserakahan akan persoalan harta milik Natan. Selain itu Natan yang berprofesi sebagai tabib juga terkenal sebagai perayu ulung yang memiliki tempramen buruk. Hannah Kent saat menuliskan Burial Rites justru mencoba untuk menggambarkan sebuah cerita dari sisi pandangan yang berbeda atas kasus tersebut. Dengan segala bukti dan data yang sudah Ia kumpulkan, Hannah Kent menjadikan Agnes sebagai seorang wanita yang malang. Agnes merupakan anak yatim piatu, yang sangat mudah putus asa, selain itu dalam buku tersebut ia juga tertipu dengan rayuan seorang Natan Ketilsson. Natan bagi Agnes adalah seorang majikan sekaligus juga kekasih hatinya.

Berikut adalah sisa bengkel kerja Natan Ketilsson di Illugastadir. Photo credit by : Hannah Kent.

Cerita yang diangkat oleh Hannah Kent dalam buku ini menggambarkan minggu-minggu sebelum Agnes dieksekusi mati. Di dalamnya digambarkan secara apiknya hubungan baik antara Agnes dan Natan, juga bagaimana Agnes berinteraksi dengan keluarga yang memberinya kesempatan dan tempat tinggal. Sampai pada akhirnya, buku ini menceritakan nyawa Agnes yang meregang ditangan algojo. Keulungan Hannah Kent dalam menuliskan suatu cerita sangatlah nampak pada buku ini, kecerdasannya untuk membuat pembaca memiliki rasa penasaran, ambigu, perasaan campur aduk serta menumbuhkan rasa simpati kepada Agnes sungguhlah terlihat. Dengan semua hal yang sudah terjadi, kita juga tidak pernah tahu maksud dan tujuan yang melatarbelakangi kasus pembunuhan ini. Bisa saja, Agnes hanya seorang pegawai yang mempunyai keinginan yang amat sangat untuk menguasai kekayaan Natan, atau pembunuhan tersebut didasarkan atas rasa dendam dan kekejaman yang mendalam? Atau mungkin saja Agnes hanya berada di waktu dan tempat yang salah.

Kisah tragis yang dialami oleh Agnes tentunya akan membuat para pembaca mempunyai serta turut mengembangkan perspektif lain dalam melihat dunia, berbagai pikiran-pikiran untuk memanusiakan seorang pembunuh juga turut akan muncul ketika kita tengah membacanya.

Bagaimana pendapat kalian? Apa ketika kalian membaca novel ini perasaan kalian juga turut menjadi campur aduk?

1 Like