Fenomena Bunuh Diri : Bagaimana solusinya?

images (8)

Perkenalkan, namanya Sunawi, umur 31 tahun, dan sudah menikah. Sunawi dikenal baik dan perhatian oleh orang-orang sekitar, diantaranya adik ipar sendiri. Hidup Sunawi berjalan dengan damai, dia ceria dan selalu membantu orang yang membutuhkan. Bersama istrinya dia tinggal di sebuah rumah bagian Jagakarsa. Sekilas tak ada yang janggal, hidup Sunawi memang tidak mencurigakan, itu pikir orang terdekat yaitu istri dan adik ipar.

Pada hari yang cerah, Sunawi mengantarkan istrinya ke rumah mertua, menyuruhnya menginap di sana sementara Sunawi mengurus sesuatu yang penting. Sikap Sunawi benar-benar perhatian, dia tidak mau merepotkan istrinya, makanya sang istri diajak berkunjung ke rumah mertua, barangkali sudah rindu. Sunawi pulang ke rumah mereka, mengurus sesuatu yang penting. Kala itu adik ipar baru pulang kerja, ditelpon oleh Sunawi untuk menjemput istrinya, sebab Sunawi lelah dan ingin beristirahat. Namun, adik ipar yang sudah di depan rumah Sunawi untuk mengambil sesuatu lantas merasakan kejanggalan. Lampu padam, pintu tak terkunci. Ah, mungkin Sunawi lupa saking sibuknya mengurus sesuatu. Adik ipar pun masuk, menyalakan lampu, dan seluruh isi rumah bisa terlihat, terutama sosok yang menggantung diri.

Letak salahnya ada di sini. Dari awal kisah Sunawi dimulai sampai akhirnya kita tahu bahwa Sunawi bunuh diri. Kita terpedaya, tak punya perhatian pada Sunawi yang sudah memberi kode dari awal bahwa dia ‘sendiri’. Sunawi tidak dalam keadaan baik-baik saja. Sama dengan para sosok gantung diri lainnya, mereka tidak dalam keadaan baik, justru rapuh namun begitu apik menyembunyikan apa yang mereka rasakan. Ada masalah yang harus mereka pikul, dan tidak bisa diceritakan semudah membalikkan telapak tangan, mereka sekarat tapi harus hidup.

Mungkin karena Sunawi sudah dewasa, dan punya banyak masalah, terutama karena telah berkeluarga, jadi pasti masalahnya hanya seputar itu. Lalu, bagaimana dengan negara Jepang yang kasus bunuh diri dialami oleh anak-anak? Apakah mereka memikirkan keuangan pasca menikah? Pekerjaan yang menumpuk? Atau masalah sosial?

WHO menerangkan bahwa 80.000 orang per hari di Jepang gantung diri dengan rentang umur 15 s/d 29 tahun. Penyebab utamanya ialah punya tekanan yang sudah tak bisa dikendalikan lagi.

Dilansir dari keterangan pemerintah setempat, bunuh diri melonjak pesat dilakukan oleh para wanita karena tekanan emosional dan finansial. Kasus bunuh diri tidak serta merta menyalahkan pada mereka, juga tak bisa menyalahkan keadaan yang sudah membuat mereka justru memutuskan mengambil alat yang bisa merenggut nyawa mereka saat itu juga. Tapi, karena sudah tak ada jalan keluar lagi— katanya.

Bunuh diri adalah pilihan terbaik yang dilakukan seseorang atas luapan emosi yang bisa tanpa dipikir panjang atau sudah direncanakan dengan matang.

Negara Indonesia belum memiliki landasan hukum yang melarang bunuh diri. Indonesia juga tidak mengizinkan secara nyata apakah warga negaranya boleh bunuh diri karena tidak berada diantara negara yang memang terbuka dan mempersilakan warganya menentukan pilihan hidupnya sendiri seperti Meksiko, Belanda, India, dan Irlandia. Namun, Indonesia menegaskan bahwa perbuatan mengakhiri hidup sendiri adalah sebuah tindakan tidak terpuji.

Kasus Sunawi di Jagakarsa, dan juga kasus bunuh diri di berbagai daerah lainnya merupakan contoh tindakan tak terpuji. Mereka tidak hanya mati dengan tragis, tapi juga membuat tangis para keluarga.

Susah payah keluarga mereka bertahan hidup di kerasnya dunia, banting tulang mencari uang, menerima segala nyinyiran orang-orang, menghadapi tuntutan demi tuntutan, tapi dengan begitu mudahnya mereka pergi melalui untaian tali yang diikat di langit-langit rumah. Bukan hanya meninggalkan duka bagi keluarga, tapi aib, disembunyikan pun sudah tak bisa, karena telah tercium oleh semua orang. Beban yang pelaku pikir akan hilang justru berpindah ke bahu keluarganya. Pelaku pergi dengan keputusan yang naif, memandang bahwa dunia kejam padanya, dan sudah sepantasnya lah hidup ini berakhir.

Kalau begitu untuk apa ada salah satu bait lagu ulang tahun yang berbunyi “panjang umurnya, panjang umurnya” lalu diaminkan oleh semua orang yang mendengarkan lagu tersebut? Bukankah itu adalah doa? Sayang sekali, sungguh. Lagu itu terus dinyanyikan, tapi manusia belum tentu panjang umur, karena ada yang sudah mengakhiri umurnya sendiri bahkan sebelum Tuhan mengambil nyawanya.

Hal terburuk yang harus dipercaya adalah bahwa bunuh diri tidak hanya membunuh diri sendiri, tapi juga membunuh keluarga, kerabat, kawan-kawan, dan orang di sekitar. Alat yang digunakan juga bukan pistol, pisau, atau tali. Melainkan membunuh dengan kisah keputusasaan dan penyesalan yang sudah tidak dapat diubah lagi.
Hidup memang terlalu kejam untuk dinikmati. Tak ada yang peduli juga, bahkan salah satu manusia dengan gampang menyuruh, “Mati aja sana!” Diiringi tawa penuh canda. Namun, hati sudah terlanjur rapuh, keyakinannya pun membisu, tak ada lagi jalan keluar lain. Dibiarkan rasanya sakit, dada rasanya mau sobek, dan kepala nyaris putus. Mati. Mati adalah penyelesaian. Masalah selesai, penderitaan selesai, dan hidup pun selesai. Ini yang diinginkan para pelaku bunuh diri.

Mari kita bercermin pada diri sendiri, apakah kita akan memilih bunuh diri juga?

Sumber:
Dikunjungi : 13 Oktober 2021
https://m.merdeka.com/jakarta/seorang-pria-ditemukan-tewas-gantung-diri-di-jagakarsa.html

Fenomena bunuh diri merupakan isu yang kompleks dan sangat serius, terutama saat dilihat dari sudut psikologi. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk mengambil keputusan drastis ini, dan pemahaman psikologis dapat membantu mengidentifikasi dan mencegah risiko bunuh diri.

Salah satu aspek penting dalam psikologi bunuh diri adalah pemahaman tentang faktor risiko dan protektif. Faktor risiko melibatkan elemen-elemen seperti gangguan mental, riwayat kekerasan atau pelecehan, stres kehidupan, dan isolasi sosial. Di sisi lain, faktor protektif mencakup dukungan sosial, keterlibatan komunitas, dan kemampuan untuk mengatasi stres.

Gangguan mental, seperti depresi, skizofrenia, atau gangguan bipolar, seringkali menjadi penyebab utama bunuh diri. Pemahaman mendalam tentang bagaimana gangguan ini memengaruhi pikiran dan perasaan seseorang dapat membantu dalam penilaian risiko bunuh diri. Oleh karena itu, deteksi dini dan penanganan gangguan mental menjadi kunci dalam pencegahan bunuh diri.

Selain gangguan mental, stres kehidupan juga dapat menjadi pemicu. Seseorang yang mengalami kegagalan, kehilangan pekerjaan, atau mengalami konflik interpersonal mungkin mengalami kesulitan mengatasi tekanan tersebut. Intervensi psikologis yang bersifat mendukung dan membantu individu mengatasi stres dapat berperan penting dalam mencegah bunuh diri.

Penting juga untuk memahami konsep bunuh diri sebagai suatu bentuk krisis. Krisis ini bisa bersifat sementara, dan dukungan yang adekuat dapat membantu seseorang melewati masa sulit tersebut. Terapi krisis, baik individual maupun kelompok, dapat memberikan platform untuk menyuarakan perasaan dan mencari solusi.

Faktor sosial juga memegang peranan besar dalam psikologi bunuh diri. Isolasi sosial, kurangnya dukungan dari keluarga atau teman, dan stigmatisasi terhadap masalah kesehatan mental dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Kampanye yang mendukung kesadaran akan kesehatan mental, serta upaya untuk mengurangi stigmatisasi, dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung.

Penting untuk diakui bahwa bunuh diri tidak hanya merupakan tindakan individual, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sistemik. Misalnya, ketidaksetaraan ekonomi, akses terbatas terhadap layanan kesehatan mental, dan kebijakan sosial dapat berperan dalam meningkatkan risiko bunuh diri pada tingkat populasi.

Upaya pencegahan bunuh diri juga membutuhkan pendekatan lintas sektoral. Kolaborasi antara layanan kesehatan mental, lembaga pendidikan, pemerintah, dan masyarakat umum dapat menciptakan jaringan dukungan yang lebih kokoh. Program-program pencegahan yang menyasar berbagai kelompok usia dan lapisan masyarakat juga dapat menjadi langkah efektif.

Dalam membahas fenomena bunuh diri, penting untuk menghindari sensasionalisme dan stigmatisasi lebih lanjut. Pemberitaan media yang bertanggung jawab, mendukung narasi positif tentang kesehatan mental, dan mempromosikan sumber daya bantuan dapat berperan dalam mengubah persepsi masyarakat terhadap bunuh diri.

Terakhir, pendekatan psikologis terhadap pencegahan bunuh diri harus bersifat holistik. Ini mencakup pengenalan dan penanganan dini gangguan mental, pembentukan dukungan sosial, peningkatan akses terhadap layanan kesehatan mental, dan perubahan dalam pola pikir masyarakat terhadap kesehatan mental secara keseluruhan.

Dalam mengatasi fenomena bunuh diri, perlu diingat bahwa setiap individu memiliki pengalaman dan tantangan yang unik. Oleh karena itu, pendekatan psikologis harus selalu mempertimbangkan konteks kehidupan individu dan memastikan bahwa intervensi yang diberikan bersifat personal dan relevan.