BUKU ABU-ABU by puput fadhilah

Buku Abu-Abu

Puput fadhilah

Aku menyukainya. Sejak kapan? Entahlah, yang jelas perasaan ini akan tumbuh setiap hari, jam, menit, bahkan detik. Aku menyukainya hingga bingung bagaimana cara agar aku bisa mengungkapkannya.

Seperti saat dia tengah duduk di halte untuk menunggu angkot datang. Aku menyukainya

Ketika dia membaca buku tebal dengan tema-tema yang rumit, lalu ia membenarkan letak kacamatanya yang melorot dengan mengkerutkan hidungnya. Itu terlihat lucu sekali.

Atau ketika dia mengangguk-anggukan kepala mengikuti irama musik yang ia dengar dari earphone miliknya. Dengan senyum yang terpatri apik sambil sesekali membalas sapaan temannya. Ia duduk dengan tenang yang membuatku semakin ingin memilikinya.

Aku mencintainya. Mengapa? Entahlah, mungkin semenjak ia menolong seseorang yang hampir tertabrak mobil. Dengan aksi heroiknya, ia menarik tangan orang itu dan mereka jatuh bergulingan sambil salik memeluk. Adegan yang selama ini ku impikan bersamanya.

Atau sejak ia membalas senyum ku yang tidak sengaja mengamatinya terlalu lama dan intens, sehingga ia menyadari keberadaanku dan menyapaku balik, yang semakin menampilkan kebodohanku. Tapi aku tetap memandanginya.

Deritaku, apa yang bisa ku harapkan dari cinta penuh diam ini, bagaimana bisa aku bertahan dengan kepalsuan ini? Aku benci saat rindu ini membuncah di suatu malam dan sialnya aku tak tau harus melakukan apa. Aku sakit saat seseorang membuat dia tertawa lepas hingga tangannya menepuk pundak orang itu. Apa yang bisa ku harapkan? Sedangkan aku takut untuk berjuang.

Apa aku harus percaya pada sebuah petuah ‘jika mencintai dalam diam itu indah’? akku terombang-ambing dalam ketakutanku sendiri, melayang dalam angan yang semakin lama mebuat kepalaku menjadi pening, dada sesak, dan pandangan mengabur. Di cap sebagai penguntit dan pecundang oleh banyak orang? Mungkin itu sudah menjadi makanan sehari-hariku.

Jombang, 28 September 2018

“Kamu menulis apa?”

Sial, aku cepat menutup buku abu-abuku, gawat sekali jika ada orang yang tau isinya, sebab buku itu penuh dengan… kehaluanku.

Nita mungkin bingung dengan sikapku yang mendadak gugup seperti ketahuan tengah mencuri sesuatu, ditambah dengan keringat yang mulai bermunculan, membuat ku terlihat sebagai pelaku yang terkena jebakan.

“Ini, aku bawakan jus buah naga kesukaanmu”

“Terimakasih, kamu memang malaikatku”

“Alay”

Aku tertawa, memang benar yang ku katakan, Nita bisa di bilang sebagai malaikat, aku mungkin manusia beruntung bisa berteman dengannya. Sudah cantik, anggun, dan baik hati. Siapa sih yang tidak menyukai sosok Nita. Mungkin dia juga akan menyukainya.

“Aku menyukai seseorang”

Byur!

Aku terkejut hingga menyemburkan minuman yang hampir saja masuk ke kerongkongan. Sangat tidak wajar seorang Nita tiba-tiba mengatakan hal yang tak pernah ada di kamusnya-sebab ia sendiri yang mengatakannya. Aku juga tidak merasa ada yang mendekati sahabatku sejak masuk kuliah semester pertama. Ini seperti suatu keajaiban dunia yang baru ditemukan. Langka!

“Mendadak banget ngomongnya?”

“Karena aku juga baru saja menyadari perasaan ini, aku menyukainya”

“Sejak kapan?”

“Satu bulan yang lalu, aku ingin menyatakannya!”

Jantungku lagi-lagi rasanya mau pecah, dia seakan tak ada beban saat mengutarakan kata sakral (menurutku begitu karena aku termasuk golongan orang-orang yang tidak mempunyai keberanian dalam hal menyatakan perasaan).

“Kamu serius?

“Iya, aku juga butuh bantuanmu.”

Bantuan? Butuh bantuan dari seorang fakir percaya diri sepertiku? Sepertinya Nita masih mengigau dan belum bangun dari tidurnya.

“Tolong bantu aku supaya aku tidak malu, seandainya aku di tolak, masih ada kamu yang memberiku semangat”

“Aku masih normal, Nit!”

Nita mendengus kesal, merapikan anak rambutnya yang sedikit berantakan, malah mebuatnya semakin cantik.

“Cuma bantu aku menyukseskan rencanaku, aku amat menyukainya Put, ku mohon…”

Meski aku tak tau apa yang bisa di bantu dari perjuangan hati Nita, sebab aku tidak berpengalaman dalam suatu jalinan cinta, dengan berat hati, pikiran dan badan. Aku menyetujuinya.

“Tapi Nit… sejak kapan kamu mengenal dia?

Nita memandangku sekilas, kemudian beralih ke sekelompok mahasiswa tingkat pertama yang sedang haha hihi, seolah kuliah ini adalah sekedar hoi belaka.

“Sejak sebulan yang lalu”

Ha?


Di sinilah aku. Tempat yang paling ku hindari selama hidupku (aku sudah berjanji sejak umur lima tahun karena ibuku). Aku tengah menunggu dengan dongkol-Nita yang asyik dengan wajahnya yang di uyel-uyel oleh seorang pegawai salon berpostur tinggi, berotot tapi wajahnya manis. Nita biasa memanggilnya ‘jeng andry’

Lama. Itu yang ada dalam benakku terhitung dua jam sejak aku menginjakkan kaki di tempat ini. Aku sudah mengikrarkan diri, setelah keluar dari sini, aku akan mencekik Nita dan membayar uang makanku satu tahun penuh. Biar saja! Ini sudah di luar perjanjia kita. Katnya hanya satu jam, tapi ini… aku bisa tua di sini!

Tring

Ponselku hanya akan bersuara jika dia -lelaki impianku memposting sesuatu di laman instagram miliknya. Dengan kecepatan cahaya (maaf aku terlalu berlebihan jika berhubunga denganya, salahkan saja dia yang mencuri seluruh atensiku yang hanya untuk dirinya) aku membuka ponselku dengan jantung tak karuan.

Dafa_N memposting sebuah foto

Aku menjerit dalam hati, astaga! Demi apapun, dia selalu tampan dengan kondisi apapun, senyumnya seperti lem kail pancing yang menarikku untuk terus menatapnya. Dia sempurna… dari segala sisi.

Tapi tunggu!

Inikan tempat yang berada tepat di depan salon ini! Aku melangkah keluar, leherku menegang dan mencari sosoknya. Cafe itu lumayan ramai untuk minggu pagi yang cerah ini. Aku tetap berusaha mencari, mengabaikan orang yang heran menatapku seperti orang bingung dengan kaos santai dan celana belel tengah memandang intens cafe seberang jalan.

Ke-te-mu!

Ternyata sedari tadi dia duduk di samoing jendela besar dengan pemandangan langsung jalanan. Sepertinya dia habis lari pagi, terlihat dari kaos putinya yang sedikit berkeringat dan celana kain hitam yang dipakai, serta topi abu-abu yang menambah kesan adem ayem merasuk ing ati­ . Persis seperti foto yang baru saja dia posting.

“Selalu saja… indah”

“Siapa?”

“Astaga!” aku terkesiap, jantungku berdetak hebat, Nita yang tiba-tiba saja berada di sampingku membuatku terkejut setengah mati.

“Ngagetin aja!” Nita hanya nyengir, mengajakku meninggalkan salon, ia meminta maaf karena terlalu lama sehingga membuatku jengkel. Tapi sesungguhnya aku ingin berterima kasih kepadanya. Terimakasih sebab aku bisa memandang dirinya .

“Oh iya, tadi apa yang indah? Aku ingin lihat juga!”

Tidak, cukup aku saja yang mengagumi dirinya, cukup aku saja yang menyukainya

“Tidak ada, aku salah lihat”

“tap-”

Drrt

Nita membuka ponselnya yang bergetar. Mendadak senyumnya terbit, membuat pipinya merona merah.

“Nit, siapa orang yang kamu sukai?”

Nita membalas pesan yang sebelumnya membuat pipi putih Nita merona, “Nanti aku kenalin ke kamu, kamu pasti kenal siapa dia”

Aku… mengenalinya?


Aku tak pernah bercerita kepada siapapun soal perasaanku yang menjalar kepadanya, kepada lelaki yang mencuri hatiku sejak pertama kali kami bertemu. Sosok yang membuka mataku bahwa tidak semua lelaki itu sama, dia tidak sama dengan ayahku yang tega meninggalkan ibu, atau kakak yang hampir melecehkanku. Sorot matanya seperti berkata bahwa aku juga berhak di lindungi, sorot matanya seakan sudah menjelaskan bahwa aku layak untuk di cintai, tidak peduli sekalm apa masa laluku. Dia beda dari lelaki manapun yang selalu memandangku dengan tatapan nafsu. Dia… lelaki impian ku yang selalu ku tulis di buku abu-abu ku. Lelaki paling manis yang pernah ku kenal, lelaki dengan bahu yang kuat, lelaki dengan sorot yang teduh, dan lelaki yang sulit tuk gapai karena trauma sialan ini.

Dan pada akhirnya aku harus terpuruk lagi dengan pikiran gelap ini, akibat dari ketakutan-ketakutan semuku, kecemasan tanpa alasan ini, membuatku harus kehilangan dia. Hidupku seakan tak berguna lagi, seperti saat diriku kotor oleh kakak, rapuh karena ayah. Impianku seakan terbang pergi, tak tersisa. Hanya ada buku abu-abu yang tergolek payah di sisi pecahan kaca. Tubuhku serasa lemas dengan cairan merah yang keluar terus dari pergelangan tanganku. Malam itu, aku memilih berhenti menulis dirinya dalam buku ku. Aku pecundang.

Brak

“ASTAGHFIRULLAH, PUTRI!”


Jombang, 6 Oktober 2018

Badanku seketika membeku setelah kami bertemu dengan seseorang yang akan mendengar pernyataan dari Nita. Dia adalah lelaki impianku. Dafa.

“Hai Nita, hai…?”

“Dia Putri” keterkejutanku masih bekum hilang hingga Nita yang mengenalkan diriku padanya, ia tersenyum ke arahku yang seharusnya membuat hatiku berbunga-bunga.

Tapi ini sudah berbeda, senyum itu hanya formalitas belaka. Aku tau, senyum tulusnya hanya untuk Nita, sahabatku.

Aku tersenyum miris, ternyata konspirasi Tuhan masih berlanjut dalam hidupku. Tapi mengapa Tuhan mengambil satu-satunya alasanku untuk hidup. Seperti kembali di tarik dalam ruangan yang gelap. Sorotku meredup.

“Daf, maaf jika aku mengganggu kesibukanmu dan terimakasih sudah mau datang”

Mereka mendudukkan diri tak jauh dari meja yang ku pesan, toh aku juga tak mau terlalu dekat dan mendengar semua perkataan mereka yang seperti belati, menembus hatiku.

Namun aku masih bisa mendengarnya, masih mamou mendengar detik-detik hancurnya semestaku.

“Aku nggak sibuk kok Nit, aku malah seneng ketemu denganmu”

Senyum itu bukan milikku. Dadaku berdenyut sakit.

“Anu… aku mau bilang sesuatu sama Dafa k-kalau aku…aku…”

Aku tau hati ini akan hancur nanti dan bodohnya, aku tetap mendengarkan mereka. Tuhan… jika ini adalah permainanMu, maka kalahkan saja aku.

Dafa tetap memandang teduh Nita, seolah ia adalah muara air yang mampu menghilangkan dahaga untuk selamanya.

Nita terlihat gugup hingga tak bisa melanjutkan perkataanya, membuat pipinya semakin merona serta kekehan yang terbit dari mulut Dafa.

“Nita kenapa jadi gugup?”

Aku tak tau apa yang harus ke lakukan setelah ini, mungkin berjalan tak tentu arah, duduk di pinggir jembatan, atau tetap mendengarkan mereka?

Walau akhirnya aku tetap dengan kebodohanku untuk berada di sini dengan segala konsekuensi.

Dafa menggenggam erat tangan Nita, mendadak aura mereka berubah merah muda, aura itu menusuk tepat retina mataku, menciptakan kiquid bening yang siap jatuh kapanpun.

“Sebenarnya, aku ingin mengungkpkan satu hal Nita… sejak pertama kali kita bertemu, sosokmu sudah menetap di otakku, berlari-lari dipikiranku. Membuatku sulit tidur, sulit makan. Ku kira hal ini bukan lah hal yang penting, tapi ke dua kalinya kita bertemu di acara itu, entah mengapa jantungku berdetak hebat, pipiku terbakar, dan mataku tak pernah lepas darimu. Hingga akhirnya aku menyadari, kalau aku menyukiamu, ah tidak-tidak! Aku mencintaimu Nita… aku ingin hidup bersamamu, merajut hari-hari indah bersamamu, membangun dunia kita dan juga anak-anak kita kelak. Jadi… apakah kamu mau?”

Konyol. Ini sungguh konyol. Bagaimana bisa perkataan itu meluncur dengan mudah dalam mulutnya yang selama ini ku impikan? Segampang inikah takdir menghancurkan kebahagiaanku? Jika iya, selamat. Aku sudah hancur.

Kakiku terasa lemas seklai, tak ada kekuatan lagi untuk bisa mendengarkan apapun, termasuk mereka. Dan ketika anggukan Nita serta senyuman penuh tercetak di wajah Dafa, menamparku pada sebuah kenyataan. Aku tak boleh bermimpi lagi.

Ponselku berbunyi, sebuah pesan singkat terpampang di layar dengan wallpaper sosok Dafa.

From Nita :

Beri aku selamat Putri! Karena kita ternyata saling mencintai! .

1 Like