Buah dari Keimanan


Foto : canva.com

Di bulan Ramadhan ini, sangat disayangkan jika kita melewatkan waktu untuk berefleksi melihat kemurnian hati. Barangkali, kita terlalu sibuk memikirkan menu berbuka puasa nanti hingga lupa mengecek kualitas pribadi. Untuk itu, mari kita luangkan waktu untuk melihat ke dalam diri kita! Semoga saja, masih ada kejernihan hati dalam memandang baik buruknya diri selama ini.

Pernahkah kita merasa bahwa terkadang sikap kita begitu manis dan baik jika di depan orang – orang, namun begitu sinis ketika di depan keluarga tersayang? Selain itu, pernahkah kita merasa bahwa ibadah kita telah banyak dan lama, namun lisan kita begitu gemulai dalam mengumpat dan melakukan ghibah ? Setelah bertanya pada diri sendiri, mungkin akan timbul pertanyaan lagi, “ Mengapa saya begitu baik di depan orang lain, namun di depan keluarga sendiri kasarnya bukan main? Mengapa saya sudah rajin shalat malam, tapi masih menjadikan ghibah sebagai bahan obrolan? ”. Kabar baiknya adalah ketika kita sadar bahwa ada yang salah dalam diri kita, berarti kita masih memiliki keimanan dalam jiwa. Dengan kata lain, artinya hati kita masih hidup dan belum mati atas dosa – dosa. Maka, artikel ini akan membahas mengenai fenomena yang telah disebutkan.

Perbedaan sikap yang telah kita bahas sebelumnya itu tidak lain adalah karena akhlak kita yang belum baik dan kuat. Sikap tidak menyenangkan kita terhadap orang lain itu menandakan bahwa kita perlu merias akhlak lebih komprehensif lagi. Pertama – tama, mari definisikan terlebih dahulu apakah akhlak itu. Menurut Imam Ghazali dalam Kitab Ushûl ad-Da‟wah, akhlak adalah sebuah tatanan yang tertanam kuat dalam jiwa yang darinya muncul beragam perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan1. Maka, dapat dimengerti bahwa akhlak dilihat dari spontanitas kita dalam melakukan sesuatu. Hal ini bisa menjelaskan mengapa kita bisa bersikap buruk kepada keluarga, namun ke orang lain tidak. Interaksi kita dengan keluarga tentulah lebih intens dibandingkan dengan orang lain. Untuk itu, sikap yang tertampilkan pastilah lebih banyak spontanitasnya, dimana hal itulah yang menjadi gambaran akhlak kita sebenarnya.

Imam Ghazali juga mengatakan “Seseorang yang baik (akhlaknya) adalah ia yang bijak, pemberani, dan berkata – kata yang sopan dan tinggi derajatnya. Ia juga terlibat aktif dalam beribadah, berdoa, puasa, memberi sedekah, dan tindakan serupa lainnya, tapi kewajibannya kepada Tuhan tidak mengecualikan kewajibannya kepada keluarga, kerabat, tetangga, budak, dan masyarakat secara umumnya … Dan motif penggerak dari kehidupan sempurna itu tidak lain karena cinta dan takut akan Tuhan”2. Berdasarkan perkataan ini, perlu diingat bahwa akhlak yang baik adalah seimbangnya kewajiban kita pada Allah dan pada sesama. Sehingga, jangan sampai kita mengabaikan keluarga dan masyarakat karena beralasan untuk ibadah kepada Allah. Contohnya, jangan lupakan kewajiban kita membantu orangtua di rumah karena kita beranggapan bahwa mengaji yang banyak dapat menutupi kewajiban kepada orangtua.

Pertanyaan berikutnya, mengapa kita perlu sekali menjaga akhlak kita? Urgensi menjaga akhlak ini dikarenakan empat hal :

  • Akhlak sangat berkaitan dengan iman. Hal ini mengacu pada hadist “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abû Dâwûd dan Tirmidzî). Secara implisit dikatakan bahwa akhlak dan iman adalah sesuatu yang tidak terpisahkan. Bahkan, dari hadist ini kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang belum baik akhlaknya, belum sempurna imannya.

  • Akhlak yang baik dapat mengantarkan kita ke surga. “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga, maka beliau bersabda, takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzî; ia berkata, Hadits Shahîh).

  • Akhlak yang baik dapat menandingi amalan ibadah. “Sesungguhnya seorang mukmin, dengan akhlaknya yang baik, dapat menyusul derajat orang yang tekun shalat malam ( qiyamaul lail ) dan berpuasa di siang hari.” (HR. Ahmad, al-Hâkim dan Baihaqi; dishahihkan dalam Silsilah ash-Shahîhah no. 795)

  • Terdapat konsekuensi tegas bagi orang yang tidak menjaga akhlaknya. Rasulullah bersabda ““Demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapakah wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim). Terdapat penekanan yang sangat tegas pada hadist ini, dilihat dari Rasulullah sampai bersumpah dengan tiga kali pengulangan. Berarti, masalah akhlak adalah hal yang sangat krusial, sehingga tidak bisa diremehkan.

Lantas, bagaimana akhlak yang baik itu dapat terbentuk? Ibnu Taymiyah dalam Mausu‟ah Nadhrah an-Na‟im mengatakan individu yang beriman pada sifat - sifat rububiyah Allah pastilah yakin bahwa Allah adalah yang mengatur alam semesta. Keyakinan tersebut menghantarkan individu untuk ma’rifatullah atau berusaha untuk mengenal Allah. Semakin mengenal Allah, rasa kecintaan itu akan semakin besar. Hingga, puncak dari kecintaan pada Allah adalah individu tidak mencintai dan menginginkan selain Allah. Kecintaan ini akan membuat individu berorientasi untuk meraih ridha Allah. Orientasi tersebut membuat individu melepas segala egoism, hawa nafsu, keinginan untuk diakui dan dihormati orang lain, dan lain – lain3.

Hal ini semakin jelas bahwa buah keimanan yang kuat pada Allah adalah akhlakul karimah atau akhlak yang mulia. Mengapa ini bisa terjadi? Iman adalah seperti akar. Akar bertumbuh dengan menanamkan dirinya lebih dalam lagi ke tanah. Akar pun bertumbuh dan berkembang sehingga menjadi semakin kuat hari demi hari. Semakin kuat akarnya, maka ia akan mampu menopang batang. Dari batang itu, tumbuhlah dedaunan dan buah – buahan yang bisa kita nikmati.

Analogi ini dapat kita samakan dengan hubungan iman dan akhlak. Jika iman individu telah kuat, individu tersebut akan menginternalisasi nilai – nilai yang diajarkan oleh agama Islam lebih dalam, seperti keikhlasan dan kesabaran. Sehingga, pemahaman tersebut tidak hanya ada di kognisi, namun juga menyasar afeksi orang tersebut. Nilai tersebut menumbuhkan motivasi internal atau motivasi dari dalam diri untuk beramal sholeh. Dengan demikian, individu yang telah kuat imannya akan baik akhlaknya karena ia tidak lagi berharap kepada selain Allah, seperti sanjungan orang lain atau gelar dari masyarakat. Hal ini membuatnya dapat kuat untuk konsisten menjaga akhlak dimanapun ia berada dan ketika berhadapan dengan siapapun.

Terakhir, apa yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan akhlakul karimah? Pembentukan akhlak melibatkan aspek kognisi, afeksi, dan kebiasaan seseorang4. Untuk dapat berakhlak baik, kita haruslah terus menuntut ilmu agar semakin mengetahui lebih dalam mengenai ajaran agama Islam. Dari pemahaman yang baik dan benar, kita akan mengetahui bagaimana seharusnya akhlak seorang muslim. Selain itu, hendaklah kita selalu berkumpul dengan orang – orang baik dan shaleh, agar kita juga merasakan manisnya keimanan yaitu akhlakul karimah yang didapat dari berinteraksi dengan mereka. Ketika kita merasakan betapa indahnya hati yang suci dan akhlak yang mulia, kita menjadi sadar bahwa kita juga harus menjaga akhlak kita. Namun, poin ini bukan berarti kita harus menjadi ekskulsif dan tidak mau bergaul dengan teman yang menurut kita tidak shaleh, ya, sobat. Kita harus berbaur, namun, kita harus memilih dengan siapa kita hendak bersahabat. Terakhir, kita harus memperbanyak ibadah kita dan memperbaiki kualitasnya untuk dapat meningkatkan akhlakul karimah. Ibadah yang benar – benar khusyu’, ikhlas lillahitaala, dan benar secara syariat tentunya akan mengantarkan kita pada kedamaian yang tidak didapat jika kita beribadah dengan buru – buru dan tanpa makna di dalamnya.

Dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah sesuatu yang sangat penting di kehidupan kita. Untuk mendapatkan akhlak yang baik, tentunya kita harus meningkatkan kualitas keimanan kita kepada Allah. Untuk mendapatkan keimanan yang kuat, kita harus selalu menuntut ilmu, berkumpul dengan orang shaleh, dan meningkatkan kualitas ibadah kita. Buah dari iman tersebut adalah akhlak yang baik, dimana kita bisa berpikir, berucap, dan berperilaku yang baik sesuai perintah Allah. Mari, sobat, kita perbaiki akhlak kita di bulan Ramadhan yang mulia ini! Semoga, Ramadhan ini menjadi titik balik bagi perbaikan akhlak kita.

Wallahualam bisshawab.

Referensi

1 Zaidan, A.K. (1988) Ushûl ad-Da‟wah : Mu‟assasah ar-Risalah, Beirut pp. 79

2 Hisyam, D.I.N.A. (2012),“A comprehensive approach in developing akhlaq”, Multicultural Education & Technology Journal , Vol. 6 Iss 2 pp. 77 - 86

3 Humaid, S.b.A. (2004), Mausu‟ah Nadhrah an-Na‟im, Dar al-Wasilah , Jeddah pp. 62

4 Basher, M.O.H. Dr (1982), Islamic Moral Education: An Introduction, Umm Al-Qura University, Makkah Almukarramah.

1 Like