Bolehkan kita naik haji dengan berutang?

Haji

Haji adalah ziarah Islam tahunan ke Mekkah, kota suci umat Islam, dan kewajiban wajib bagi umat Islam yang harus dilakukan setidaknya sekali seumur hidup mereka oleh semua orang Muslim dewasa yang secara fisik dan finansial mampu melakukan perjalanan. Bolehkan kita naik haji dengan berutang?

Di dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman:

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS. Ali Imran: 97).

Para ulama sepakat menyatakan bahwa kewajiban berhaji hanya dibebankan kepada seseorang, baik laki-laki atau pun perempuan yang sudah memiliki syarat “istitha’ah” atau kemampuan. Pengertian istitha’ah secara sederhana adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi saw ketika ditanya akan artinya, beliau menjelaskan:

“Perbekalan dan kendaraan” (HR. Tirmidzi, beliau berkata: “Hadits hasan”).

Dari hadits ini tampak jelas bahwa yang dimaksud dengan istitha’ah yaitu: Pertama, perbekalan, artinya adalah perbekalan makanan, minuman, dan pakaian yang mencukupi semenjak kepergiannya sampai kepulangannya. (Lihat I’anah Al-Thalibin karya Abu Bakr al-Dimyathi: 2/281). Kedua, kendaraan, artinya kendaraan layak yang diyakininya akan memberikan keselamatan, baik dengan membeli maupun menyewa. (Lihat Al-Mughni karya Ibn Qudamah: 4/316).

Berhutang untuk menunaikan haji jika dilihat dari satu sisi seolah-olah menunjukkan ketidakmampuan seseorang atau belum mempunyai kelayakan dan perbekalan yang cukup untuk menunaikan ibadah haji. Namun dari sisi yang lain, boleh jadi menunjukkan kemampuan, hanya saja kemampuan itu memerlukan sedikit waktu, maka untuk mempercepat status “mampu” ia melakukan pinjaman.

Jika hal tadi merupakan dua kemungkinannya, apakah seseorang diharuskan untuk meminjam semata-mata untuk tujuan haji? Apalagi kalau pembiayaan pinjaman tadi dari perbankan dan lembaga keuangan yang akan menyebabkan pembiayaan yang lebih tinggi dari harga asal pembiayaan haji?

Jawaban singkatnya tidak perlu dan bukan merupakan suatu prioritas. Hal tersebut sesuai dengan jawaban yang diberikan Nabi saw ketika ditanya oleh seorang sahabatnya Abdullah bin Abi Aufa: “Aku bertanya kepada Nabi saw berkenaan seorang lelaki yang belum menunaikan haji, apakah ia boleh meminjam uang untuk haji?

Nabi saw menjawab: “Tidak” (Musnad Al-Syafi’I: 1/109; Al-Umm: 2/116).

Imam Syafi’I berkata setelah itu:

“Barangsiapa yang tidak mendapatkan kemudahan dan kelebihan harta yang menjadikannya dapat menunaikan ibadah haji tanpa melakukan pinjaman, maka ketika itu dia dianggap tidak layak untuk pergi haji (Lihat Al-Umm 2/116).

Islam tidak memberatkan kepada siapapun untuk bisa berangkat menunaikan ibadah haji kecuali dia benar-benar telah memiliki kemampuan dan bukan sesuatu yang dipaksakan sebelum tiba saatnya. Imam Ibn Qudamah pernah mengatakan:

“Dan hendaklah (perbekalan ini) adalah harta berlebih dari yang dia perlukan untuk menafkahi keluarganya yang wajib disediakannya semasa kepergiannya sampai kepulangannya. Hal itu dikarenakan nafkah keluarga berkaitan dengan hak manusia dimana mereka lebih membutuhkan dan hak mereka lebih diutamakan. Selain itu, hendaklah perbekalannya dari harta berlebih sehingga dia mampu melunasi hutangnya (Lihat Al-Mughni karya Ibn Qudamah: 4/317).

Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata:

“…Saya tidak sependapat jika dia berhutang untuk berhaji, karena haji dalam keadaan ini tidak diwajibkan atasnya, oleh sebab ini semestinya dia menerima keringanan Allah dan keluasan rahmat-Nya, dan tidak membebani dirinya dengan hutang yang dia tidak tahu apakah dia bisa membayarnya atau tidak? Mungkin dia meninggal dan belum membayarnya akhirnya masih tersisa hitang tersebut dalam tanggungannya” (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 21/93).

Namun demikian, jika hutang pinjaman itu tidak mengganggu keseluruhan tanggung jawabnya menafkahi orang-orang yang berhak dinafkahi (seperti anak dan isteri) karena ia mempunyai simpanan yang mencukupi atau harta lain yang dia miliki (misalnya dalam bentuk properti atau lain-lain) yang bisa dijual apabila diperlukan, maka dalam kondisi seperti ini tindakan berhutang tadi boleh dilakukan sebagaimana ucapan Imam Syafi’i:

“Tetapi jika ia mempunyai harta yang banyak, ia boleh menjual sebagiannya atau berhutang (karena yakin dapat membayar hutang yang dipinjamnya)” (Al-Umm: 2/116).

Syeikh Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan bahwa seseorang yang masih tersangkut dengan beban hutang tidak wajib untuk menunaikan haji. Para ulama sependapat bahwa ‘bekal’ yang dimaksudkan oleh Nabi saw adalah kelebihan harta berbanding tanggungan pokoknya, jusru hutangnya terhadap individu perseorangan adalah termasuk dalam tanggungjawab pokoknya seperti juga nafkah wajib. Selain itu, hutang individu perseorangan yang bersifat jangka pendek harus diselesaikan sebelum pergi menunaikan haji.

Namun demikian, terdapat perbedaan di antara hutang kepada individu dengan hutang kepada lembaga keuangan yang berjangka panjang selama bertahun-tahun malah ada yang mencapai 15 tahun seperti pembiayaan rumah. Demikian pula, seperti pembiayaan terstruktur kepada perbankan atau lembaga keuangan, terutamanya bagi mereka yang mengangsur pembayaran melalui pemotongan gaji. Hutang dari jenis ini tidak menghalangi kelayakan seseorang untuk menunaikan haji dengan syarat, kepergiannya untuk melakukan ibadah haji tadi tidak akan menimbulkan masalah terhadap pembayaran hutang sistematik kepada perbankan tadi. Jika diyakini kepergiannya ke Mekah, dapat menyebabkan terganggunya posisi keuangannya sehingga diyakini bisa menghalangi tanggungjawab wajibnya seperti nafkah, dan hutang wajib kepada perbankan, maka ketika itu tidak layak baginya untuk menunaikan haji, bahkan kepergiannya dapat menyebabkan sesuatu yang haram, hal ini karena segala sesuatu yang diyakini membawa kepada yang haram, maka hukumnya juga haram.

Sebagaimana kaidah fiqih mengatakan : “Apa-apa yang membawa kepada yang haram, hukumnya adalah haram” (Majma Al-Anhar, 4/251 ; Lihat perinciannya dalam ‘Ilam Al-Muwaqqi’ien, Ibn Qayyim, 3/137 ). Hal ini mirip dengan segala bentuk dan jenis yang mendekati kepada zina dalam ayat La taqrab al-zina. Ayat ini bermakna bahwa bukan hanya zina saja yang haram, akan tetapi segala bentuk tindakan dan perilaku yang dapat menyebabkan zina juga adalah haram seperti peluk, cium, kedipan mata, chating bersyahwat, telepon bersyahwat dan lain-lain. Demikian juga halnya melakukan ibadah haji dengan keyakinan akan membawa mudharat kepada kewajiban terhadap pemilik hutang baik dari kalangan individu ataupun perbankan, maka hukumnya adalah haram.

Syaikh Dr. Abdul Karim bin Abdullah Al-Khudhair juga berpendapat jika ia berharap mampu untuk melunasi hutang tersebut, dan menurut dugaan kuat ia memang mampu untuk melunasinya, maka insya Allah tidak mengapa ia berhutang untuk membiayai ibadah haji. Adapun apabila menurut dugaan kuat ia tidak mampu melunasi hutang tersebut, maka hukum asalnya ia tidak wajib melaksanakan haji.

Wallahu a’lam bishawwab.