Bolehkah Umat Islam Mengucapkan Selamat Natal?

Natal

Bolehkah umat islam mengucapkan selamat natal ?

Natal adalah hari raya yang dirayakan oleh umat nasrani. Dalam kondisi sekarang ini, dimana ummat islam berbaur dan mengedepankan toleransi umat beragama ucapan selamat natal menjadi sesuatu yang melahirkan perbedaan pendapat. Ada ulama yang memperbolehkan dan ada yang tidak memperbolehkan.

Berikut ini adalah 2 pandangan tentang hukum mengucapkan selamat Natal.

Pandangan yang Membolehkan Muslim Mengucapkan Selamat Natal

Pandangan ini disampaikan oleh ulama-ulama moderat dan juga memiliki pandangan yang terbuka terhadap suatu perbedaan agama. Semangat yang ditampilkan adalah toleransi dan kemanusiaan. Salah satunya seperti apa yang disampaikan oleh Quraish Shihab.

Quraish Shihab menyampaikan bahwa ulama-ulama di Al Azhar Mesir juga saat Natal juga saling berkunjung menemui pembesar-pembesar kristen dan mengucapkan selamat natal kepadanya. Akan tetapi Quraish Shihab juga mengatakan bahwa ulama Islam di daerah Suriah atau Timur Tengah lainnya juga memperbolehkan.

Fatwa tersebut ada dalam buku yang diberikan pengantarnya oleh Al Qardawi dan Mustafa Al Zarka. Fatwa tersebut mengatakan bahwa mengucapkan selamat Natal menjadi bagian dari basa-basi hubungan baik.

Quraish Shihab juga mengatakan bahwa mengucapkan selamat natal bukan berarti kita mengakui kepercayaan agama nasrani dan itu hanya sekedar untuk menunjukkan toleransi, di tengah-tengah masyarakat yang memandang islam adalah agama teroris. Walaupun hal ini banyak yang tidak setuju, akan tetapi hal ini bergantung kepada pandangan masing-masing.

Quraish Shihab juga menyampaikan bahwa asalkan keyakinan kita bahwa Nabi Isa adalah Nabi bukan Tuhan ataupun anak Tuhan, maka hal ini tidak ada salahnya. Mengucapkan sesuai dengan apa yang diyakini oleh kita bukan dengan keyakinan mereka. Walaupun umat kristiani sendiri paham bahwa kita tidak percaya akan kepercayaannya dia.

Akan tetapi ada syarat yang menjadi Umat Muslim boleh mengucapkan apabila:

  • Tidak Menodai Akidah
    Ketika mengucapkan tidak boleh sampai menodai aqidah sendiri, yaitu aqidah islam kita. Menodai aqidah berarti telah menodai juga rukun iman, rukun islam, Iman dalam Islam, Hubungan Akhlak Dengan Iman Islam dan Ihsan, dan Hubungan Akhlak dengan Iman. Yang dilarang bukan ucapan atau selamatnya, melainkan apa yang dilakukan setelah itu. Misalnya saja yang dilarang adalah ikut serta dalam peribadatannya atau mengikuti serangkaian upacara sakralnya.

  • Mengedepankan Toleransi
    Tujuan dari mengucapkan selamat natal hanya untuk menjalin toleransi dan kebersamaan agar tercipta masyarakat yang tidak penuh dengan konflik atau perpecahan. Untuk itu, akidah harus tetap lurus dan juga tidak boleh mengangkat Nabi Isa menjadi Tuhan yang disembah.

    Toleransi tentu saja juga sesuai dengan fungsi Tujuan Penciptaan Manusia, Proses Penciptaan Manusia, Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan fungsi agama . Tidak perlu mengikuti atau mencampuri keyakinan masing-masing.

Pandangan Yang Melarang Mengucapkan Selamat Natal

Selain pandangan yang memperbolehkan mengucapkan selamat natal, ada juga pandangan yang melarang untuk mengucapkan selamat natal. Hal ini dilarang didasari oleh beberapa argumen dan dalil berikut ini.

  1. Natal Bukan Hari Raya Umat Islam

    “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata : Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya kurban (‘Idul Adha) dan hari raya ‘Idul Fitri” (HR. Ahmad, shahih).

    Hadist di atas menunjuukan bahwa hari raya umat islam hanyalah Idul Fitri dan Idul Adha, sedangkan hari raya Natal bukanlah termasuk ke dalam hari raya umat islam. Walaupun dianggap sebagai waktu kelahiran Nabi Isa, akan tetapi Nabi Muhammad sendiri tidak pernah merayakan dan menganggapnya sebagai hari besar.

    Untuk itu, tidak diperbolehkan umat islam mengucapkan, walau hanya sekedar ucapan karena dianggap sebagai bentuk bid’ah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah SAW sebagai panutan.

  2. Membenarkan Kekafiran

    “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).

    Ayat di atas menunjukkan bahwa setiap agama milik masing-masing pengikutnya. Sedangkan, umat islam tidak boleh mencampur adukkan atau mengikuti apa yang menjadi kepercayaan atau keyakinan orang-orang kafir, karena sudah berbeda dari awalnya.

    Untuk itu,bentuk ucapan selamat natal dianggap sebagai bentuk membenarkan kekafiran dan membiarkan mereka orang-orang kafir dala kekeliruan. Untuk itu, pendapat ini mengatakan bahwa kita dilarang untuk mengucapkan. Mengucapkan saja tidak boleh apalagi termasuk ikut atau hadir dalam perayaan.

  3. Mengucapkan Natal Menyerupai Orang Kafir

    “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

    Natal adalah peringatan hari besar orang-orang kafir. Untuk itu, umat islam yang ikut mengucapkan natal akan seperti orang-orang kafir. Hadist ini sering digunakan untuk melarang orang-orang yang sering menyerupai kebiasaan orang-orang kafir.
    Memang dalam konteks zaman Rasulullah dulu, menyerupai orang kafir sangat tidak diperbolehkan karena identitas menjadi hal yang paling utama sebagai pembeda dan membuat koordinasi tersendiri. Mereka yang menyerupai kekafiran tentu tidak akan bisa dibedakan nantinya.

Itulah dua pendapat dan dalil yang digunakan untuk mengucapkan selamat Natal pada Nasrani. Garis merah yang didapatkan adalah apapun yang dilakukan akidah tidak boleh ternodai dan tidak boleh sampai membuat kita ikut serta dalam apapun yang dirayakan dalam Natal.

Sumber : Wajib Tahu! Inilah Alasan Larangan Mengucapkan Selamat Natal

Nabi Isa As merupakan salah satu nabi besar Ilahi yang harus kita, sebagai Muslim, imani dan hormati. Sesuai dengan hukum al-Quran, kaum Muslim tidak meyakini adanya perbedaan di antara para nabi, “Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhan-nya, begitu juga orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para rasul-Nya. (Mereka berkata), “Kami tidak membeda-bedakan antara rasul-rasul-Nya”, dan mereka berkata,

“Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan hanya kepada-Mu-lah tempat kembali.” (Qs. Al-Baqarah [2]:285)

Karena itu, pada milad dan hari kelahiran para nabi di samping Anda mengucapkan selamat kepada kaum Kristiani, Anda juga dapat memberikan ucapan selamat yang sama kepada kaum Muslimin.

Hanya saja, ucapan selamat kepada kaum Kristiani sah-sah saja dilakukan apabila didasari oleh ingin menunjukkan diri sebagai tetangga yang baik dan sebagai bentuk penghormatan kepada tetangga dan teman-teman yang beragama Kristen. Namun tidak dibenarkan apabila ucapan selamat tersebut disampaikan dengan dasar takzim kepada mereka dan kita ingin mengekspresikan persahabatan yang bertentangan dengan kemaslahatan umum kaum Muslimin.

Al-Quran dalam hal ini menyatakan,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Maidah [5]:51)

Di tempat lain, al-Quran menyebutkan,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang yang kafir (musyrik) menjadi pemimpinmu. Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Maidah [5]:57)

Untuk diperhatikan:

Akhir kata kami merasa perlu mengingatkan bahwa meski kaum Muslimin tidak membeda-bedakan para rasul Ilahi dan memandang kesemuanya berasal dari Allah Swt serta meyakini semuanya harus dihormati, namun jelas bahwa masalah ini tidak ada kaitannya dengan nasakh agama-agama sebelumnya oleh agama-agama setelahnya; karena sebagaimana yang telah dijelaskan secara detil pada tempatnya, ajaran-ajaran para nabi laksana ajaran-ajaran pelbagai tingkatan pendidikan dan pengajaran semenjak tingkat SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi, meski prinsip mereka satu, namun pelajaran-pelajaran yang diajarkan harus dipraktikan dan dijalankan pada pelbagai tingkat dan jenjang pendidikannya masing-masing. Tatkala seorang murid naik jenjang pendidikan yang lebih tinggi maka secara otomatis jenjang pendidikan yang lebih rendah akan dikesampingkan namun pada saat yang sama seluruh jenjang pendidikan ini tetap mendapatkan penghormatan dan perhatian.