Bolehkah Perampasan Aset Dilakukan Tanpa Ada Penyitaan Lebih Dulu?

image
Apakah boleh jika pengadilan memutuskan merampas aset terdakwa (misal aset korupsi) tanpa adanya proses penyitaan terlebih dahulu?
Terimakasih.

Perampasan Aset dan Penyitaan

Di Indonesia aturan tentang perampasan aset masih berupa rancangan undang-undang (“RUU Perampasan Aset”). Dalam RUU tersebut, perampasan didefinisikan sebagai upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang dari tindak pidana yang dilakukannya baik di Indonesia atau di negara asing.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), perampasan dalam sistem hukum pemidanaan di Indonesia itu dikenal sebagai salah satu pidana (hukuman) tambahan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Hukum Indonesia.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) mengenai perampasan dapat dilihat dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:

“Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.”

Sedangkan definisi penyitaan dapat dilihat dalam KUHAP, yaitu serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Apakah Perampasan Aset Boleh Dilakukan Tanpa Adanya Penyitaan Terlebih Dahulu?

Untuk menjawabnya, kami mengacu pada Laporan Akhir Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang Lembaga Penyitaan dan Pengelolaan Barang Hasil Kejahatan yang dibuat oleh Tim Pengkajian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. (“Laporan Akhir BPHN”) sebagai berikut (hal. 35):

“Sudah barang tentu untuk dapat membawa harta atau aset koruptor ke dalam sidang pengadilan, harus didahului dengan tindakan penyitaan oleh penyidik dalam tahap penyidikan. Aset koruptor yang disita penyidik itu oleh jaksa penuntut umum akan diajukan sebagai barang bukti ke hadapan hakim dalam tahap penuntutan.”

Menjawab pertanyaan Anda, dari sini dapat kita simpulkan bahwa perampasan aset yang diputus oleh hakim di pengadilan harus didahului dengan penyitaan. Dengan kata lain, perampasan aset hanya boleh dilakukan dengan adanya penyitaan terlebih dahulu.

Hal ini secara implisit juga telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain (“Perma 1/2013”). Memang, tak ada ‘perampasan’ dapat ditemui dalam Perma 1/2013 ini. Perma memperhalusnya dengan frasa ‘penanganan harta kekayaan’.

Di sini dinyatakan bahwa syarat permohonan penanganan harta kekayaan harus memuat:
a. nama dan jenis harta kekayaan
b. jumlah harta kekayaan
c. tempat, hari, dan tanggal penyitaan
d. uraian singkat yang memuat alasan diajukannya permohonan penanganan harta kekayaan.

Sumber