Bisakah Meminta Pembayaran Kepada Penjamin Jika Debitor Tidak Menepati Janji?

image
Pihak pertama dijamin oleh pihak kedua untuk meminta bahan bangunan dari toko bangunan milik korban, namun hal tersebut tidak tertulis mengingat bahwa pihak kedua adalah orang yang dikenal. Namun, ternyata dalam hal pembayaran pihak pertama ataupun kedua tidak pernah memberikan setoran. Dalam pengakuan pihak kedua, bahwa mereka telah memberikan uang kepada pihak pertama untuk dibayarkan kepada korban sang pemilik toko. Selain itu, menurut pihak kedua itu bukanlah tanggungjawabnya lagi. Akhirnya pihak korban mengadukan hal ini ke kantor polisi dan telah terjadi mediasi antar kedua pihak dan disepakati tanggal pembayaran, dan apabila pihak pertama tidak dapat membayar, maka pihak ketiga akan membayar keseluruhan. Namun, ternyata tanggal tersebut tidak ditepati. Pertanyaan saya, apakah bisa korban langsung menuntut pihak ketiga? Atau bagaimana? Terima kasih.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dengan dibuatnya Kesepakatan Perdamaian. Lebih lanjut, kami berasumsi bahwa dengan terjadinya kesepakatan dari adanya mediasi tersebut, maka B telah mencabut laporan polisinya dan telah dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

SP3 diatur dalam Pasal 76 ayat (3) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang menyebutkan:

Dalam hal dilakukan penghentian penyidikan, penyidik wajib mengirimkan surat pemberitahuan penghentian penyidikan kepada pelapor, JPU, dan tersangka atau penasihat hukumnya.

Merujuk pada keadaan di atas, upaya pidana (dengan melapor ke polisi) telah dijalankan oleh B, namun berakhir damai dengan dikeluarkannya SP3. Langkah selanjutnya, apabila ternyata A kembali lalai untuk memenuhi kewajibannya kepada B sesuai Kesepakatan Perdamaian, maka B tidak dapat serta merta menuntut C untuk membayar kewajibannya kepada B, dikarenakan berlaku ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang dikutip sebagai berikut:

Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Berdasarkan pasal di atas, B seharusnya terlebih dahulu meminta A untuk melunasi kewajibannya secara tunai atau apabila A tidak menyanggupi secara tunai sesuai Kesepakatan Bersama, maka A dapat membayar kepada B dengan cara menjual aset atas nama A sejumlah total utang A kepada B.

Apabila ternyata aset A tidak cukup untuk membayar seluruh utangnya tersebut kepada B, barulah B dapat meminta pertanggungjawaban kepada C selaku penjamin sebagaimana tercantum dalam Kesepakatan Perdamaian sesuai dengan ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata yang berbunyi:

Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar utangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya.

Sebagai tambahan catatan terkait dengan upaya hukum pidana yang Anda sampaikan pada bagian awal pertanyaan Anda, maka kami sampaikan bahwa hukum pidana mengenal asas Ultimum Remedium yang berarti hukum pidana hendaknya sebagai upaya terakhir. Sehingga menurut kami apabila semua upaya perdata sudah dilakukan oleh B terhadap A ataupun pihak terkait lainnya dan A tidak juga melunasi utangnya tersebut, maka upaya hukum pidana dapat dipertimbangkan.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

Sumber