Bisa Melihat Karena Ada Yang Memperlihatkan

Taman Surga

Saif Al-Bukhari pergi ke negeri Mesir. Setiap orang menyukai sebuah cermin dan mencintai bayangan sifat dan segala potensi mereka, sementara dia tidak mengetahui wajah aslinya. Dia menganggap bahwa bayangan adalah sebuah wajah dan cermin selubung ini adalah cermin wajahnya. Bukalah wajahmu agar kamu tahu bahwa aku adalah cermin bagi wajahmu, dan yakinkan dirimu bahwa aku adalah sebuah cermin.

Seseorang berkata:

“Aku sadar bahwa para Nabi dan wali adalah korban dari kesalahan prasangkaku. Tidak ada apa-apa di sana selain pretensiku saja.”

Maulana Rumi berkata:

“Apakah kamu mengatakan ini karena bualanmu saja atau kamu sudah melihat dan mengatakan sebelumnya? Kalau memang sebelumnya kamu sudah melihat dan mengatakannya, maka itulah pandangan yang sebenarnya dan itu adalah sesuatu yang amat agung dan mulia. Sebuah pembenaran terhadap para Nabi karena tidak ada yang mereka akui selain sebuah penglihatan, dan kamu sudah mengakuinya. Sebuah penglihatan tidak akan tampak jika tidak ada yang memperlihatkan, sebab penglihatan adalah aktivitas produktif yang meniscayakan adanya dua unsur: yang memperlihatkan dan yang melihat. Jadi, yang memperlihatkan adalah sebuah tuntutan dan yang melihat adalah penuntut, atau sebaliknya. Pengingkaranmu terhadapnya justru akan semakin mengukuhkan eksistensi penuntut, yang dituntut dan penglihatan itu sendiri. Sehingga aspek ketuhanan dan penghambaan menjadi satu kasus dalam penafian atau penetapannya, dan akhirnya semua menjadi wajib.”

Seseorang berkata:

“Kelompok manusia itu adalah murid-murid dari orang yang lalai yang mereka agungkan.”

Aku berkata, “Kelalaian seorang guru tidak lebih rendah dari batu dan berhala. Para penyembah berhala mengagungkan, membanggakan, mengharap, merindukan, membutuhkan, dan menangis padanya, sementara batu tidak memiliki apa-apa dan tidak merasakan apa-apa. Allah SWT menjadikannya—yang sama sekali tidak dipahami oleh batu dan berhala itu —sebagai alat pengabdian mereka."

Seorang ahli Fiqih memukul seorang bocah. Dikatakan kepadanya:

“Apa kesalahannya sehingga kamu memukulnya?”

Ahli Fiqih menjawab:

“Kalian tidak tahu, anak ini berzina dengan sengaja.”

Kemudian ditanyakan lagi:

“Apa yang dia lakukan dan apa kesalahannya?”

Ahli Fiqih menjawab:

“Ketika dia ejakulasi, khayalannya kabur sehingga aku menganggap ejakulasinya itu batal.”

Tak diragukan lagi bahwa kecintaan ahli fiqih ada bersama khayalan bocah itu, tapi bocah itu tidak mengetahuinya. Seperti itulah kecintaan mereka pada khayalan guru yang bodoh itu, mereka lupa akan keterkungkungan, keberhasilan dan keadaan mereka. Sekalipun kecintaan yang salah bisa menciptakan khayalan perasaan pada wujud seseorang, tapi ini berbeda dengan seseorang yang bercumbu dengan orang yang dirindukan dan nyata keberadaannya, ia mengetahui dan melihat keadaan orang yang dirindukannya itu. Mereka seperti orang yang memeluk sebuah tiang di tempat gelap dan mengira itu kekasihnya. Meski mereka menangis dan merintih, namun kenikamatannya tidaklah sama dengan orang yang memeluk kekasihnya yang hidup dan mengetahuinya.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum