Bidang Linguistik Apa yang Dominan dalam Linguistik Forensik?


Kasus yang berkitan dengan bahasa di pengadilan cukup kompleks, dapat berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, tindakan mengancam, dan sebagainya.

Bidang linguistik apa yang dominan dalam linguistik forensik?

Bentuk kebahasaan yang menjadi fokus sengketa pun bermacam-macam dapat berupa pemakaian imbuhan, makna kata, frase, kalimat, dan wacana. Bentuk kebahasaaan yang berupa wacana juga bervariasi realisasinya, dapat hanya terdiri dari dua atau tiga kalimat sampai berpuluh- puluh kalimat seperti yang terdapat dalam surat, bahkan dapat terdiri dari ribuan kalimat seperti yang terdapat dalam sebuah buku.Wujudnya dapat berupa baik bahasa lisan maupun tulis.

Mengingat kompleksitas masalah kebahasaan di sidang pengadilan tersebut, tidak mungkin seorang ahli bahasa dapat menjadi saksi ahli untuk semua jenis kasus.Banyak subdisiplin ilmu dalam linguistik yang harus dikuasainya untuk menjelaskan berbagai jenis sengketa kebahasaan.Misalnya, untuk menjelaskan apakah sebuah tuturan mengandung unsur penghinaan atau tidak, diperlukan keahlian dalam bidang pragmatik dan bidang lain yang relevan. Untuk menjelaskan tuturan siapakah yang terdapat dalam sebuah rekaman, diperlukan keahlian dalam bidang fonetik.Untuk menjelaskan perbedaan makna kata, diperlukan keahlian dalam bidang semantik khususnya semantik leksikal.Dan, tampaknya sangat berat bagi seorang ahli bahasa untuk menjadi ahli pragmatik, ahli semantik, sekaligus ahli fonetik.Hal itu belum termasuk kasus-kasus lain yang memerlukan penjelasan dari subdisiplin linguistik yang berbeda.

Meskipun penjelasan kasus kebahasaan di pengadilan memerlukan pendekatan dari subdisiplin linguistik yang berbeda-beda tergantung dari jenis kasusnya, terdapat beberapa subdisiplin linguistik menonjol, yang sering digunakan dalam menjelaskan kasus kebahasaan di pengadilan. Jika kasus-kasus sengketa bahasa di pengadilan yang dominan merupakan kasus-kasus seperti penghinaan, pencemaran nama baik, ancaman, penistaan, dan sejenisnya, subdisiplin linguistik semantik, pragmatik, sosiolinguistik, dan linguistik antropologis merupakan subdisiplin linguistik yang banyak berperan dalam menjelaskan sengketa bahasa tersebut dengan tanpa mengabaikan peran subdisiplin linguistik yang lain. Subdisiplin linguistik fonologi, morfologi, dan sintaksis yang merupakan subdisiplin dalam linguistik mikro atau linguistik inti sudah tentu juga sangat berperan karena semua analisis dalam subdisiplin linguistik lain dapat dikatakan berawal dari analisis dalam ketiga subdisiplin tersebut.

Sengketa masalah bahasa di pengadilan pada umumnya berhubungan dengan masalah makna tuturan. Dalam linguistik studi mengenai makna tuturan terbagi dalam dua subdisiplin, yaitu semantik dan pragmatik. Secara tradisional semantik didefinisikan sebagai studi makna bahasa yang bebas konteks, sedangkan pragmatik menganalisis makna bahasa dengan mengkaitkannya pada konteks pemakaian bahasa. Semantik menjawab pertanyaan what does X mean, sedangkan pragmatik menjawab pertanyaan what did you mean by X (Leech, 1983:6). Meskipun sebenarnya perbedaan semantik dan pragmatik tidak sesederhana seperti ini, sebagaimana disampaikan Leech, pernyataan ini sudah cukup untuk memberi gambaran bahwa untuk menjelaskan makna bahasa, pengetahuan mengenai semantik dan pragmatik mutlak diperlukan.

Karena makna tuturan tidak hanya ditentukan oleh kemasan bahasa yang digunakan untuk mengungkapkannya, tetapi juga oleh konteksnya, subdisiplin linguistik lain yang menelaah bahasa dalam konteks luas juga penting dalam menjelaskan makna tuturan. Memang, pragmatik juga menganalisis bahasa dengan melibatkan konteks, tetapi konteks yang terdapat dalam analisis pragmatik dalam beberapa hal belumlah cukup. Untuk menjelaskan makna tuturan tertentu, kadang-kadang masih diperlukan konteks yang lebih luas yang dapat dilakukan dengan pendekatan lain. Sosiolinguistik yang menelaah bahasa.

Memahami Makna Tuturan

Sengketa bahasa di pengadilan pada umumnya bersumber dari perbedaan penafsiran makna tuturan. Seperti diketahui, ketika seseorang mengucapkan sebuah tuturan, pada hakekatnya ia ingin menyampaikan apa yang ia rasakan atau pikirkan kepada orang lain. Untuk menyampaikan apa yang ia rasakan atau pikirkan kepada orang lain, orang tidak dapat memindahkan begitu saja apa yang ada dalam hati atau kepalanya kepada orang lain. Ia harus mengemas apa yang akan ia sampaikan dalam bentuk bahasa/tuturan dan melalui kemasan informasi yang berupa bahasa inilah orang lain dapat mengetahui apa yang ia rasakan atau pikirkan. Sayangnya, kemasan informasi tadi tidak selalu dapat mencerminkan dengan tepat apa yang hendak disampaikan sehingga informasi yang dikemas dalam tuturan tadi ditafsirkan orang lain secara berbeda yang mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman. Atau, bisa pula, orang yang hendak menyampaikan informasi sudah mengemasnya dengan tepat menurut norma yang ada dalam dirinya, tetapi karena orang lain memiliki norma yang berbeda, informasi yang telah dikemas dalam tuturan itu pun dapat ditafsirkan berbeda oleh orang lain.

Demikianlah, pemaknaan makna tuturan merupakan hal yang kompleks sehingga untuk menafsirkannya perlu dilihat dari berbagai perspektif.Setidaknya,empat hal pokok yang harus diperhatikan dalam memahami makna tuturan. Keempat hal tersebut yaitu:

  1. Bentuk kemasan atau atau aspek tekstual tuturan,
  2. Peserta tutur,
  3. Dalam konteks apa tuturan disampaikan,
  4. Norma budaya yang melingkupinya.

Aspek Tekstual Tuturan

Untuk menafsirkan makna sebuah tuturan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melihat aspek tekstual tuturan, yaitu menganalisis tuturan dari segi ketatabahasaannya.Dalam langkah ini, diidentifikasi bentuk satuan kebahasaan yang tuturan tersebut.Misalnya, tuturan disampaikan dalam bentuk kalimat. Setelah tuturan teridentifikasi bentuknya, lalu dilakukan analisis lebih lanjut, misalnya diidentifikasi jenis kalimatnya (kalimat berita, tanya, perintah), kata-kata apa saja yang menyusunnya, bagaimana makna leksikal kata-kata tersebut, bagaimana makna gramatikalnya, dan juga perlu dipertimbangkan tuturan-tuturan yang mendahului dan mengikutinya. Dengan menganalisis tuturan dari aspek ketatabahasaannya ini, makna tekstual tuturan dapat diungkapkan dengan baik.

Sebagai contoh tuturan “Jangan mau dibohongi pakai ayat itu”.Dilihat dari aspek tekstualnya, tuturan tersebut berbentuk kalimat, berjenis kalimat perintah negatif atau kalimat larangan (ada kata jangan di dalamnya). Kalimat tersebut terdiri dari enam kata, dan apabila dilihat berdasarkan unsur langsung pembentuknya terdiri dari tiga bagian: jangan, mau dibohongi, dan pakai ayat itu. Unsur jangan menandai makna larangan, mau dibohongi merupakan verba utama yang berbentuk pasif, dan pakai ayat itu menyatakan makna alat.Verba dibohongi diturunkan dari verba aktif membohongi yang merupakan verba transitif.Karena berasal dari verba transitif, verba dibohongi mensyaratkan dua argumen, yaitu pelaku dan penderita (orang yang membohongi dan orang yang dibohongi) yang secara semantik ada, tetapi tidak muncul secara eksplisit dalam tuturan tersebut. Jika dari analisis makna tekstual, misalnya, menghasilkan kesimpulan bahwa tuturan tersebut bersifat ambigu - -siapa/apa yang bohong pelaku ataukah alat—keambiguannya dapat dijelaskan dengan memperhatikan tuturan lain yang menyertai tuturan tersebut. Atau, keambiguan tersebut dapat pula dijelaskan dengan memperhatikan konteksnya.

Peserta Tutur

Makna sebuah tuturan juga ditentukan oleh peserta tutur, yaitu orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tutur.Peserta tutur dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu penutur, mitra tutur, dan orang ketiga. Penutur adalah orang yang berbicara, mitra tutur adalah orang yang diajak berbicara, dan orang ketiga adalah pihak lain bisa individu atau kelompok yang terlibat dalam tuturan. Peserta tutur berpengaruh terhadap makna tuturan. Tuturan yang sama dapat bermakna berbeda ketika peserta tuturnya lain.

Sebagai contoh, tuturan Dasar kerbau dapat bermakna penghinaan, tetapi dapat pula bermakna tanda keakraban. Hal itu tergantung pada bagaimanakah hubungan antara penutur dan mitra tuturnya. Jika tuturan itu dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur dan mereka belum saling mengenal dengan baik, kemungkinan besar tutura itu akan dianggap sebagai penghinaan. Akan tetapi, jika penutur dan mitra tutur sudah akrab, sering bercanda bersama, tuturan tersebut akan bermakna sebagai tanda keakraban, mitra tutur tidak merasa dihina dengan tuturan itu.

Menganalisis makna tuturan dari aspek peserta tuturnya memerlukan kecermatan dan kehati-hatian. Hubungan antarpeserta tutur bersifat kompleks dan tidak selalu sama dari waktu ke waktu. Tuturan yang sama, yang diucapkan oleh penutur yang sama kepada kepada mitra tutur yang sama, bisa bermakna berbeda ketika disampaikan dalam waktu yang berbeda. Tururan Dasar Kerbau yang dituturkan kepada mitra tutur yang sudah kenal akrab dengan penutur bisa pula dianggap sebagai penghinaan ketika hubungan mereka sedang kurang baik atau suasana hati mitra tutur sedang tidak nyaman.

Konteks

Konteks mengacu pada waktu dan situasi ketika tuturan disampaikan.Dalam menafsirkan makna tuturan peran konteks tidak dapat diabaikan.Kasus di pengadilan yang berupa penghinaan dan pencemaran nama baik merupakan kasus yang erat kaitannya dengan masalah konteks. Tuturan yang dianggap sebagai pencemaran nama baik, misalnya, bisa jadi tidak akan terjadi jika disampaikan dalam konteks yang tepat. Sebuah saran atau kritik, misalnya, akan dapat diterima dengan baik oleh mitra tutur apabila disampaikan secara baik secara individual. Akan tetapi, saran atau kritik itu berpotensi dianggap sebagai pencemaran nama baik ketika disampaikan di muka umum, apalagi dalam bentuk tertulis.

Sebagai contoh, pengelola perusahaan akan dengan senang hati menerima keluhan, saran, kritik dari pegawainya jika hal tersebut disampaikan melalui saluran yang tepat, misalnya disampaikan dalam forum pertemuan yang diadakan untuk keperluan itu atau ditulis lalu dimasukkan ke dalam kotak saran. Akan tetapi, apabila keluhan, saran, atau kritik tadi ditulis di media massa seperti koran/majalah atau ditulis di media sosial yang dapat dibaca oleh banyak orang, bisa saja tulisan tersebut akan diperkarakan oleh pengelola perusahaan sebagai tindakan pencemaran nama baik.

Budaya

Makna tuturan dipengaruhi oleh budaya yang melingkupinya. Norma-norma yang berkaitan dengan tuturan termasuk penafsiran maknanya tidak selalu sama dari satu budaya ke budaya yang lain. Apa yang dianggap sebagai penghinaan atau penistaan dalam budaya tertentu, misalnya, belum tentu dianggap demikian dalam budaya yang lain. Bahkan, penafsiran makna tuturan bisa berkebalikan karena budaya yang berbeda.Apa yang dipandang sebagai pujian atau kekaguman bisa dianggap sebagai penghinaan dalam budaya lain. Persepsi orang mengenai suatu hal dipengaruhi oleh budayanya.

Sebagai contoh, seorang mahasiswa dari Korea pernah bercerita bahwa dia merasa terkejut melihat reaksi mitra bicaranya yang merupakan orang Indonesia.Ketika itu, dia menengok temannya yang belum lama melahirkan.Dia senang sekali melihat bayi temannya yang tampak menyenangkan dan lucu.Lalu, dia mengucapkan, “E … anakmu seperti anak anjing!” Mendengar tuturan itu, ibu bayi menunjukkan ekspresi raut wajah yang menandakan rasa tidak senang. Mahasiswa Korea tadi kaget melihat ekspresi temannya, dan bertanyatanya apa yang salah dengan tuturannya.

Persepsi terhadap binatang anjing tidak sama antara orang Indonesia dan Korea. Dalam budaya Indonesia anjing dipersepsikan sebagai binatang yang najis, kotor, dan rakus, sedang dalam budaya Korea persepsi orang terhadap anjing tidak demikian. Oleh karena itu, orang Indonesia akan merasa tidak senang apabila dikatakan seperti anjing, sementara bagi orang Korea hal seperti itu tidak menjadi masalah. Demikianlah, persepsi orang mengenai suatu hal berbeda dari satu budaya ke budaya lain.

Masih terdapat hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam menjelaskan makna tuturan. Perlu dicatat bahwa makna adalah apa yang ada dalam pikiran seseorang sehingga bisa berbeda antara orang per orang,bahkan kelompok per kelompok dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Selain yang telah disebutkan di atas, agama atau ideologi juga dapat mempengaruhi pemaknaan orang terhadap tuturan.Pengalaman menunjukkan bahwa agama bisa menjadi isu sensitif dalam sengketa kebahasaan seperti dalam kasus penghinaan dan penistaan yang memerlukan penanganan secara komprehensif.

Kemajuan teknologi informasi telah mengubah cara berkomunikasi manusia dan berpotensi mengakibatkan sengketa yang berkaitan dengan masalah bahasa, apalagi ketika tingkat kemampuan literasi masyarakat dalam memanfaatkan media sosial belum seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, upaya peningkatan kemampuan literasi masyarakat perlu menyentuh pada persoalan ini sehingga dampak negatif dari kemajuan teknologi bisa diminimumkan.Dengan kemampuan literasi yang baik pada masyarakat, khususnya dalam memanfaatkan media sosial, kemajuan teknologi informasi tidak lagi menjadi pemicu munculnya sengketa kebahasaan.

Jika terjadi sengketa kebahasaan yang harus diselesaikan di pengadilan, ahli bahasa dapat memberikan kesaksiaan keahliannya.Teori-teori yang terdapat dalam linguistik perlu diterapkan dalam penyelesaian sengketa kebahasaan.Linguistik forensik tidak lain merupakan penerapan teori linguistik dalam membantu penyelesaian sengketa kebahasaan di pengadilan. Diharapkan dengan mempertimbangkan penjelasan dari linguistik forensik, hakim dapat lebih komprehensif dalam menangani sengketa kebahasaan sehingga keputusannya benar-benar dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Referensi

http://eproceedings.umpwr.ac.id/index.php/bahtera/article/download/45/39