Berkelana Dalam Nestapa


sumber: https://pin.it/16mSBMg

Aku memusatkan atensiku padanya. Gadis yang duduk di pojokan kelas. Kulitnya sawo matang dengan wajah manis khas Indonesia. Rutinitasnya hampir sama sepertiku, mendengarkan musik dan membaca buku. Bedanya, tidak ada yang mau repot-repot menggangguku. Sedangkan dirinya, orang-orang terus memaki segala kekurangan yang ia miliki. Sebut saja dia “Star”.

Star adalah gajah dan raksasa buruk rupa, kata mereka. Star memiliki tinggi dan berat badan yang tidak bisa disebut ‘ideal’ untuk ukuran seorang wanita. Mereka selalu memanggilnya dengan kata-kata hinaan yang dapat mempermalukan dirinya. Hal seperti itu tentu sudah biasa kami dengar. Orang-orang banyak menindasnya. Sementara Star, hanya diam tidak berkutik. Dia hampir dibenci dan direndahkan oleh separuh orang di sekolah.

Pernah suatu ketika, kami bermain sebuah permainan tebak gaya yang diberikan oleh guru. Peraturannya, perwakilan dari tim harus melakukan gerakan seperti yang ada pada kartu, dan anggota tim yang lain menebak gerakan tersebut.

Star satu tim denganku. Seperti sebuah nasib buruk baginya, salah satu tim di kelas maju dan mendapatkan kartu yang bertuliskan “gajah”. Seorang peraga bertanya, “apakah boleh menunjuk sesuatu?” dan guru mengizinkan asal tidak menunjuk benda asli. Peraga pun tiba-tiba menunjuk Star. Ia hanya diam. Tidak menatap kearahnya dan tidak mengeluarkan suara. Perasaanku mendadak tak enak.

Benar saja. Semua anggota tim yang maju, serentak menjawab “GAJAH” disambut gelak tawa dari seluruh penghuni kelas termasuk guru yang mengajar. Kecuali diriku. Ini adalah pertama kalinya aku melihat Star mengepalkan tangannya. Tiba-tiba, Star berdiri. Melenggang pergi meninggalkan mereka semua yang masih tertawa puas. Aku langsung berlari menyusulnya. Toh tanpa kami, mereka akan tetap melanjutkan permainan.

Aku berniat untuk menenangkan Star—tapi tidak setelah aku mendengar suara tangis dari dalam kamar mandi.

“Star mau pulang… Tolong…”

Langkahku terhenti tepat di depan pintu dan membiarkan Star mengadukan perasaannya. Untungnya, tak ada orang selain kami karena kegiatan belajar sedang berlangsung.

Singkat cerita, Star pulang dengan alasan urusan keluarga. Tentu saja mereka tak peduli. Aku memaki semua orang yang mem-bully gadis itu. Mereka mengacuhkanku. Seolah-olah telinga mereka tidak diciptakan untuk mendengar kata yang keluar dari bibirku. Mengadu pada guru? Bahkan guru ikut menertawakan tanpa rasa bersalah. Lagi-lagi aku hanyalah saksi yang tidak bisa memperbaiki keadaan.

Mereka begitu diperbudak oleh ego masing-masing. Menghina dan menjatuhkan harga diri Star, adalah hiburan tersendiri bagi mereka. Hingga suatu hari, aku memberanikan diri untuk berbicara dengannya. Aku sengaja pulang lebih lambat dari yang lain. Seperti Star yang selalu pulang paling akhir daripada kami. Ia hanya tidak ingin bertemu banyak orang dan menyerahkan dirinya untuk disakiti. Aku tidak bercanda saat mengatakan bahwa mereka benar-benar membenci Star.

Kelas sudah sepi. Menyisakan kami berdua di sana. Aku melirik sekilas sudut belakang. Gadis itu masih bertahan dengan buku tebal di tangannya. Kutarik napas perlahan sebelum melangkahkan kaki menuju bangku tempat Star duduk. Ia menatapku sembari aku mendekat.

“Bicaralah, Star. Tentang semua yang kau rasakan. Ceritakan padaku. Aku disini…” Kataku.

Ia hanya tersenyum. Aku memang tidak dekat dengan Star. Karena Star cukup menutup diri dari siapapun. Aku selalu menyayangkan ini—tanpa tahu alasan dibaliknya.

Star berdiri dari duduknya. Memberikan tatapan yang sulit untuk kutebak.

“Pergilah…" pelupuk matanya mulai berair menahan tangis yang mendesak ingin keluar. “Pergilah, kau—gadis tanpa nama!”

Aku terkejut. Kepalaku mendadak pening luar biasa. Setetes kristal bening jatuh dari matanya. Telingaku berdengung. Mataku memejam kuat saat kurasa seperti ada dentuman besar yang menghantam kepala. Membuatku terhuyung dan mundur beberapa langkah.

“Apakah kau tahu? Selama ini aku selalu mengabaikanmu yang terus mengikutiku! Tak bisakah kau berhenti?! Aku tidak ingin bergantung pada hal yang tak pernah ada!” Star mulai meninggikan nada bicaranya.

Pandanganku mendadak kabur. Aku mengangkat tanganku dan melihatnya yang semakin—memudar. Tidak, jangan sekarang.

Perlahan-lahan tubuhku mulai membaur dengan udara. Aku menangis. Tak percaya bahwa akan meninggalkannya secepat ini.

“Pergilah dari pikiranku! Kau tidak nyata…” Kalimat itulah yang terakhir kudengar sebelum diriku sepenuhnya—menghilang.

Star benar. Semua tentangnya adalah nyata, tapi tidak denganku. Aku—hanyalah ilusi yang tercipta dari rasa sakit dan kesepian yang tak tersampaikan. Aku lupa, bahwasanya hidup adalah tentang ego dan menerima. Bagaimana cara kita memandang kehidupan, itu tergantung dengan apa yang berhasil menguasai diri.

Mari membuka mata dan saling bergandengan tangan. Untuk Star dan Star yang lain, juga untuk dunia. Mereka membutuhkan kita. Pupuskan egoisme. Jika mereka enggan memperbaiki dunia, maka mulailah dari diri kita sendiri.