Berikan Aku Keadilan Tuhan

Beribu-ribu dentuman jarum sudah kudengar. Kini saatnya seekor ayam jantan keluar dari sarangnya. Meneriakkan jeritan hidup yang telah ia alami. Atau mungkin, yang akan terjadi. Sorot sang surya mengintip dari ujung perbukitan. Dengan ujung runcing di setiap bagiannya. Suara titik yang tidak pernah berubah menjadi kalimat terus menerjang. Seolah-olah sunrise tak akan pernah terlihat lagi.

Ini aku, seorang gadis remaja berusia 15. Mungkin, delapan bulan yang lalu adalah hari terakhirku untuk tersenyum. Tak ada hal yang lebih membosankan di dunia ini keculi melihat semua tentangnya. Tentang wajahnya. Tentang sikapnya. Tentang apa yang telah dia lakukan untuk orang lain. Untuk diriku sendiri – terutama. Tuhan telah menciptakannya untuk menjadi bagian dari hidupku. Karena aku tahu sayang-Nya kepadaku amat sangat besar. Tuhan menciptakannya untuk menjadi detak dalam jantungku. Menjadi campuran air garam dalam mataku. Menjadi beberapa siratan merah dalam diriku. Tapi, bukankah itu terlalu berlebihan, oh Tuhan?

Kali ini biarkan dunia mengenalku. Biarkan sosok gula menetes dalam kulit dan hatiku. Aku ingin itu. Dunia. Dia tak mengerti apa artinya hidup. Sarkasme yang telah tercipta membuatnya lelap. Realitanya adalah mereka tidak mengenalku. Aku harap dua carik tulisan ini tidak dibaca oleh orang lain. Biarkan saja mereka tetap mengenalku sebagai Ghefira yang mereka tahu.

Tepat jam empat pagi. Sebelum dunia kecil dengan tartikan kuat itu berbunyi, suara azdan lebih lantang didengarnya. Tulangnya yang remuk berkeping-keping – terlalu remuk hatinya, oleh sengatan percikan matahari – kini akan ditempa kembali. Tenggak lehernya kram ditundukkan. Sejinjing kakinya sukar untuk ditegakkan. Manusia-manusia biadab itu hanya menyebar zina. Seolah-olah hanya empat huruf yang mereka punya. Selalu. Tubuhnya selalu menggigil diterpa angin es beliung. Selalu seperti sebelum tubuhnya habis terguyur cairan H2O. Menjawab pangilan Tuhan tepat pada waktu ia bangun. Petunjuk itu selalu datang menghampirinya. Entah itu paham atau tidak.

*** Kini benar-benar terjadi. Tepat jam tujuh pagi. Dunia seakan-akan menyaksikan kejadian ini. “Heh! Apa mau lo! Kemaren lo bilang catatannya hilang. Sekarang apa ini? Dasar tolol!” “Catatannya tidak ada kemarin. Pagi ini ternyata kutemukan catatan itu. Aku juga tidak tahu. Kalau saja kemarin aku melihatnya, tidak mungkin aku mengatakannya.” “Alah! Gak usah banyak alasan! Lo tuh harusnya bersyukur! Dasar!” Ya, ini aku. Aku yang terlalu sabar. Atau mungkin, dunia yang terlalu keras untukku. ***

“Ghef! Hayo melamun lagi ya?” Gertakan seorang pendamping keduaku amat lantang sekali. Itu cukup untuk membangunkanku dari lamunan selama kurang lebih lima menit. Ini yang aku takutkan. Aku takut banyak hal. Termasuk ini. Apa yang akan dunia katakana tentang aku. Aku tidak mau mereka melihatnya. Tapi perubahan itu amat sangat sulit kuterima. Di antara potongan dua puluh empat jam, selalu kubayangkan apa reaksinya. Itu menyiksa. “Tuhan, bolehkan aku meninggalkan dunia ini untuk mencari keadilan untukku. Bolehkah aku menghukumnya dengan hukumanmu? Bolehkah aku…” ya, itu semua hanya hayalanku saja. Hayalan menyeramkan.

Kini, saatnya mengenang, ulang tahun untuk umurnya yang baru sehari. Aku takut mengatakan apa pun yang sekiranya itu benar. Diam. Jawaban atas segalanya. “Ghef, aku pinjam gunting ya?” “Iya” “Tidak biasanya kau seperti ini, ada apa?” “Tidak” ya, kurang lebih seperti itu. Suara lagu-laguan itu manis. Tapi mengharukan. Pilu. Aku harap semua dunia lupa akan kejadian kemarin. Penghinaan itu, seperti sebuah penginjakan harga diri untukku.

Apa aku tidak bisa hidup tenang di dini. Bukan hanya satu batu besar yang harus aku lewati. Tetapi, berjuta-juta batu besar. Di mana pun ia berada, ia akan menjadi duri. Semuanya bahkan mengenal dia sebagai “Si pembuat onar.” Tapi, Tuhan tidak tidur. Tuhan melihat kebenaran, di saat dunia buta akan kemewahan.

Tatapan dunia akan diriku membuatku ingin terus memukuli wajahnya itu. Dengan kata-katanya yang selalu menyindir. Aku lelah Tuhan, berikan aku keadilanmu. Tuhan itu sudah sangat adil dengan kita. Tuhan tahu mana yang terbaik untuk kita. Kini hati nuraniku terbuka untuk semua dunia. Apa yang mereka katakan, apa yang mereka kerjakan, apa yang mereka pikirkan. Semua itu karena kesalahanku. Hukuman atas tindak lakuku sebagai prinsip sebab-akibat yang berlaku. Jangan! Jangan pernah kau salahkan Tuhan. Seburuk apapun hidupmu. Aku bukan ahli dalam hal ini. Aku masih terlalu bodoh. Tapi punya kebahagian kecilku. Dan itu selalu ada dalam susahku. Itu sungguh keadilan luar biasa, Tuhan. Seberapa sering aku mengeluh untuk jalan hidupku. Maka sesering itulah aku bersyukur atas karunia-Mu. Terima kasih, Tuhan. Engkau telah menciptakanku. Engkaulah Maha Segalanya, atas kekuasaan-Mu.