Berhias Dengan Akhlak Mulia Di Tengah Arus Gelombang Globalisasi

images akhlak

Abad 21 merupakan abad keterbukaan atau abad globalisasi. Artinya kehidupan manusia pada abad ke 21 mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental yang berbeda dengan tata kehidupan pada abad sebelumnya. Perubahan tersebut mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia seperti aspek ekonomi, sosial, budaya, hukum, pendidikan, selera hingga bahkan perilaku (akhlak). Pergeseran abad atau zaman tersebut di awali dari zaman agrikultur ke zaman indusrti dan selanjutnya sampai ke zaman internet sampai sekarang ini yang memiliki ciri khasnya masing-masing.

Menurut Sayling Wen, pada zaman agrikultur tidak ada kebutuhan standarisasi, sehingga orang-orang cukup mendidik diri sendiri atau bekerja di rumah. Tuntunan akan kerja keras menjadi karakteristik dari zaman ini. Dalam bahasa yang sederhananya ialah kerja otot dapat dikatakan sebagai tolok ukur produktifias seseorang. Di zaman industri, tuntutan akan kebutuhan standarisasi sangat kuat, sehingga kebutuhan akan pendidikan untuk persiapan bekerja menjadi keharusan. Namun, tuntutan akan standarisasi itu tidak menekankan kualitas dan talenta individual. Kemudian pada zaman internet, perkembangan yang sangat luar biasa dan dahsyat terlihat dengan begitu jelas ada di depan mata mengharuskan akan tuntutan kualitas-kualitas individual. Standarisasi pun diperketat untuk menghasilkan sesuatu yang berkualitas serta memberikan kesan yang positif terhadap orang lain.
Perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) terjadi begitu cepat dan massif. Seluruh aspek kehidupan terkena dampak dari perkembangan tersebut. Dunia seolah dalam genggaman. Jarak yang terbentang antara Timur dan Barat seolah tidak ada. Sebab apa yang terjadi di belahan bumi Timur akan dengan segera diketahui oleh mereka yang tinggal di belahan bumi sebelah Barat.

Seperti yang telah disinggung di atas bahwa abad yang sedang kita alami sekarang ini membawa dampak yang sangat serius yang harus disikapi dengan kejernihan berpikir. Salah satu yang terlihat sangat dahsyat ujiannya adalah terhadap akhlak atau moral. Akhlak seperti air di tengah padang pasir. Kehadirannya di tengah-tengah masyarakat sangat dinantikan. Seperti air yang mampu melepaskan dahaga, maka akhlak yang terpuji juga mampu melepaskan sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Alasannya adalah karena manusia mempunyai peluang untuk bertindak dan berperilaku yang kejinya dan kejamnya melebihi hewan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam Surah Al-A’raf ayat 179:
اولئك كالانعام بل هم أضل أولئك هم الغافلون

Artinya:”Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan merek lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Karenanya menjadi manusia yang berkepribadian (yakni priadi yang dihiasi oleh akhlak al-karimah) merupakan suatu keharusan bahkan kewajiban di masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Allah Swt dalam Al-Qurán, Surah Al-Imran ayat 104:
ولتكن منكم أمة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون

Artinya:”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.”

Berdasarkan ayat tersebut terlihat bahwa perlu adanya pihak yang menyeru manusia untuk mengarah pada kebajikan atau hal-hal yang baik. Dalam konteks sosialnya adalah mencontohkan akhlak al-karimah (perilaku yang terpuji) menjadi bagian dari sasaran dan target ayat tersebut. Sebab apabila suatu masyarakat mempunyai teladan yang bisa dijadikan sebagai panutan maka mereka akan terbiasa melihatnya dan pada akhirnya mereka akan mengikuti kebiasaan tersebut. Ini senada dengan bunyi sebuah pepatah yakni alah bisa karena biasa. Terbiasanya berperilaku yang baik-baik akan mendarah daging sehingga akhlak yang terpuji menjadi bagian dari rutinitas.

Abad ke 21 seperti menguji eksistensi praktik akhlak yang terpuji dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan tanpa dasar dan alasan. Kita sakiskan di mana-mana, orang tidak lagi menghiraukan dan memperdulikan betapa pentingnya menghiasi diri dengan perilaku yang baik-baik (akhlak al-karimah). Orang tidak lagi mempunyai rasa malu untuk mempertontonkan sikap atau tingkah laku yang bertentangan baik secara norma atau aturan masyarakat maupaun aturan Allah Swt. Malah sebaliknya, mereka justru bangga untuk memperlihatkan perilaku yang mereka lakukan seperti berbohong, memfitnah, melawan guru, membangkang kepada orang tua dan menyebarluaskan berita hoax (palsu). Bahkan tidak segan-segan mereka menggadaikan akhlak mereka demi untuk mencapai popularitas. Silaunya dunia telah membutakan hati mereka sehingga bersedia merelakan mahkota yang ada dalam diri mereka yakni akhlak.

Berkat perkembangan teknologi mereka menghalalkan segala cara untuk dikenal banyak orang. Mereka menanggalkan jubah kebesarannya, yaitu akhlak dan adab. Dalam bahasa yang sederhananya adalah akhlak tidak lagi mempunyai tempat jika disandingkan dengan popularitas. Perkembangan teknologi seperti pisau bermata dua. Akan tetapi kenyataannya dilapangan menunjukkan bahwa kemudharatan lebih meraja rela dibandingkan dengan kemanfataannya.

Akibatnya adalah terjadinya dekadensi moral yang mampu menggoyahkan persendian baik dalam lingkup skala mikro seperti lingkungan sekitar maupaun secara makro seperti kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, kita tidak hanya krisis kepercayaan melainkan juga krisis moral. Terjadinya krisis moral diakibatkan oleh krisis pengetahuan. Kita tidak lagi peduli mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan mana yang dilarang, mana yang sesuai tuntunan dan mana yang tuntutan. Semuanya dianggap sama. Akhlak tidak lagi dijunjung tinggi dan bahkan yang lebih kejinya lagi ialah akhlak disepelekan. Padahal akhlak atau adab lebih tinggi derajatnya dan memang sangat tinggi dan utama sekalipun jika dibandingkan dengan ilmu. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw yakni:

الأدب فوق العلم

Artinya: “Adab itu di atas ilmu”.

Mendasarkan pada hadist tersebut menjadi argument sekaligus untuk mengingatkan kepada kita bahwa sekalipun ilmu sangat penting bagi manusia akan tetapi adab atau akhlak jauh lebih tinggi derajatnya jika dibandingkan dengan ilmu. Sehingga dalam sejarahnya para ulama-ulama terdahulu sangat mengutamakan akhlak dari pada ilmu. Dalam kalimat lainnya adalah akhlak dahulu, ilmu kemudian. Imam Malik pernah berkata kepada seorang pemuda dari Suku Quraisy yakni:

تعلم الأدب قبل ان تتعل العلم

Pelajarilah adab dulu sebelum mempelajari ilmu.”

Lebih lanjut Imam Malik juga pernah berkata, dadulu ibuku memberi pesan dan memerintahkan kepada saya untuk duduk satu majelis dengan Robiáh Ibnu Abi Abdirrahman yang merupakan seorang yang fakih pada masanya. Ibuku berkata, pelajarilah adab darinya sebelum ilmunya.

Sementara Imam Abu Hanifah juga sangat menyukai untuk mempelajari kisah-kisah para ulama (akhlaknya) dari pada untuk mempelajari bagian-bagian fiqih. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa ksiah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka jauh lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka terdapat pelajaran berbagai adab dan akhlak luhur mereka. Abdullah bin Mubarrak berkata, saya mempelajari adab selama tiga puluh tahun dan saya mempelajari ilmu agama selama dua puluh tahun. Dan para ulama-ulama memulai pelajaran mereka dengan mempelajari adab terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan ilmu.

Bukti-bukti historis tersebut sebagai alarm perlunya memperhatikan keutamaan sesuatu. Inilah yang disebutkan oleh Syekh Yusuf Qaradhawi sebagai mengurutkan atau mendahulukannya secara teratur dalam kitab fiqh al-aulawiyat (fiqih prioritas). Dalam kitab tersebut Syekh Yusuf Qaradhawi mengatakan bahwa sesuatu itu mempunyai tingkatannya sehingga yang lebih utama harus didahulukan dari yang utama, yang sangat penting harus didahulukan daripada yang tidak. Betapa banyak orang yang mempunyai gelar akademik hingga gelar tersebut memperpanjang namanya seperti jalan tol, namun sikap dan perilaku yang ditampilkannya tidak mencerminkan sebagai seorang yang berpendidikan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yaitu seorang penuntut ilmu jika tidak menghiasi diri dengan akhlak yang mulia maka ilmunya tidak ada faidah menuntut ilmunya.

Bahkan dalam hukum konstitusi negara ini masalah adab (akhlak) tidak luput dari perhatian. Hal tersebut tertuangkan dalam sila ke 2 Pancasila yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Para pendiri bangsa ini (The Founding Fathers) sadar dan memahami betul dimana bangsa yang begitu majemuk dan beragam ditambah dengan diversifikasi yang mencolok akan dengan mudah bagi orang-orang yang tidak suka dan iri pada bangsa ini dengan meledakkan api dalam sekam yakni lewat penghasutan dan adu domba. Atas hal tersebut antisipasi yang dilakukan para pejuang bangsa ini adalah melalui sila ke 2 dengan menekankan pentingnya kemanusisaan yang adil dan beradab sehingga menjadi bagian dari dasar negara ini. Jika akhlak yang terpuji telah dibumikan maka konsekuensi dan hasil dari tingkah laku yang baik tersebut adalah terwujudnya persatuan sebagaimana yang tertulis pada sila ke 3 Pancasila. Inilah yang menjadi titik akhir dari menampilkan akhlak yang terpuji. Singkatnya hukum kausalitas menjadi dalil untuk menguatkan peranan akhlak yang mulia dalam sebuah masyarakat. Dalilnya adalah apabila akhlak mulia diperlihara, maka persatuan akan semakin kokoh. Antara akhlak yang mulia mempunyai korelasi yang bersifat yang positif. Jika akhlak semkakin baik, maka persatuan juga akan semakin kuat.

Dengan demikian berhias diri dengan akhlak mulia adalah sebuah hal yang sangat penting terlebih di tengah badai gelombang arus globalisasi. Untuk menghiasi diri dengan akhlak yang mulia terlebih dahulu yang harus dihiasi adalah al-qalb (hati). Sebab hati adalah induk dari seluruh anggota tubuh. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Baginda Rasulullah Saw yakni:

الا وان فى الجسد مضغة اذا صلحت صلح الجسد كله,واذا فسدت فسد الجسد كله,الا وهي القلب

Artinya:”Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah qalb (hati)” (HR. Bukhari )

Dalam buku Ensikopedi Manajemen hati Jilid 3 karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim dan Abdullah At-Tuwaijiri yang diterjemahkan oleh Suharlan dan Agus Makmun menyebutkan bahwa hati disebut sebagai qalb karenanya sifat yang berubah-ubah. Hati juga seperti cermin. Jika tidak dirawat dan dibersihkan, maka ia mudah berdebu dan kotor. Jadi, hati tersebut harus dikasih makanannya sebagaimana jasmani yang membutuhkan makanan, maka makanan hati itu adalah akhlak-akhlak yang terpuji.

Pada masa awal dakwahnya, Rasulullah tidak hanya menyerukan tauhid namun juga diiringi dengan seruan budi pekerti yang mulia. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a bahwa Nabi bersabda:

انما بعثت لأتمم مكارم الاخلاق

Artinya:”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan budi pekerti.”

Hujjah lainnya adalah Bukhari dan Muslim berkata bahwa Abu Dzar berkata kepada saudaranya ketika mendengar misi kenabian Muhammad Saw, “Naiklah ke lembah ini dan dengarkanlah apa yang dia katakan.” Kemudian saudaranya itu kembali dan berkata bahwa aku melihatnya menyuruh untuk berbudi pekerti luhur.
Dalam riwayat Tirmidzi, Rasulullah berkata:

اكمل المؤمنين ايماأحسنهم خلق

Artinya:”Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.”

Merujuk pada dasar argumentasi di atas tersebut menunjukkan bahwa akhlak yang mulia dan terpuji sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar, apalagi di zaman seperti sekarang ini. Dapat dikatakan bahwa akhlak yang mulia merupakan fondasi kehidupan. Terlihat bahwa Rasulullah memantapkan akhlak dulu baru kemudian bergeser pada permasalahan yang lain. Karenanya dalam catatan sejarah banyak terjadi peristiwa-peristiwa besar salah satunya adalah diakibatkan oleh akhlak. Perkembangan zaman bukan menghalangi atau menyusutkan moral dan tingkah laku kita dalam bermasyarakat melainkan sebaliknya.

Orang yang senantiasa menghiasi dirinya atau perilakunya dengan akhlak yang baik mendapatkan balasan yang sangat luar biasa. Tidak tanggung-tanggung dimana Allah swt menyamakan derajat orang yang berbudi luhur sama dengan derajat orang yang berpuasa dan shalat. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda:

ان المؤمن ليدرك بحسن خلقه درجة الصائم القائم

Artinya:”Sesungguhnya derajat orang yang berbudi pekerti luhur mencapai derajat ahli puasa dan shalat.”

Dalam hadist lain Nabi Muhammad saw juga bersabda:

                    اكثر ما يدخل الجنة تقوى الله وحسن الخلق                                        

Artinya:”Yang paling banyak memasukkan ke surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia.”

Dengan demikian seperti yang telah disebutkan di atas bahwa perkembangan zaman mulai dari masa agrikultur hingga internet membutuhkan standarisasi, maka manusia juga punya standarisasi. Dan standarisasinya adalah akhlak. Jika pribadinya dihiasi denga akhlak yang terpuji, maka kualitas kepribadiannya pun akan semakin membaik. Sebaliknya jika pribadinya selalu memperlihatkan hal-hal yang negatif akibat tenggelam oleh arus globalisasi maka pribadi yang bersangkutan adalah pribadi yang merugi. Sebab jaminan bagi orang-orang yang berakhlak yang baik dan mulia adalah derajatnya sama dengan orang yang rajin melaksanakn puasa dan shalat dan karena akhlak yang baik pulalah salah satu faktor penyebab masuknya kita ke surganya Allah swt.