Berharap Sadar by Rinditika

Berharap Sadar

Tetesan embun sudah menggelayut di ujung dedaunan. Terik surya sudah mulai merona memancarkan energinya beriringan dengan lintasan cepat beberapa kendaraan yang lewat. Di batang kokoh pohon ketapang tua, aku menjingkatkan kakiku ke kanan dan ke kiri. Lalu, ku-tengokkan kepalaku sambil terus meracau. Melihat aktivitas para manusia, sekilas membuat aku ingin bercerita. Bertutur kata, tentang keresahanku terhadap apa yang kulihat di depan mata.

Para makhluk berakal itu hanya mementingkan kepentingannya, tidak dengan apa yang mereka buang tidak pada tempatnya. Benda pakai sisa mereka, hanya tergeletak tanpa rasa dosa. Besi tipis dan datar, yang berukirkan ‘Mari Jaga Kebersihan’ hanya sekedar pajangan saja. Mereka seperti bisa melihat, tapi seperti orang buta. Bisa membaca, namun seperti orang yang tak tahu aksara. Mulutku hanya bisa berkicau, namun tidak bisa membenahi kesadaran mereka yang kacau.

Terlebih lagi, seorang kakek tua kini hendak bertugas untuk mengangkat bak sampah di ujung trotoar. Namun, melihat sampah berserak di tengah trotoar, ia bersiap membawa sapu lidi untuk merapihkan jalan agar tak terjamah para sampah manusia lagi. Keriput kulitnya, tak membuat orang sekitar iba akan hal kecil yang dapat membantunya. Terkadang aku terheran-heran, ketika mereka tahu apa yang harus mereka jaga, namun dihempas dalam pikirnya begitu saja. ‘Membuang sampah pada tempatnya’, bukan ‘pada tempat yang ada sampahnya’. Itulah kiasan yang mengambarkan ulah para manusia.

Kini, hanyalah cucuran keringat dan raut sesal sang kakek, akan tindakan makhluk beretika namun tak pernah tersadar akan kebersihan lingkungannya. Terbukti, beberapa saat setelah itu, sekantong sampah dari sebuah mobil yang melintas terhempas begitu saja. Dan tepat di depan mata sang Kakek. Bukan sekedar hanya satu plastik ataupun beberapa buah saja, namun, ketika satu pengendara melihat satu buah sampah di pinggir jalan, mereka sudah menganggap bahwa tempat itu adalah tempat yang cocok untuk singgah barang bekas mereka.

Melihatnya sungguh miris. Hatiku sungguh seperti teriris. Andaikan kicauanku bisa mereka pahami, mungkin, mereka sudah habis kumaki. Si Kakek harus bekerja dua kali. Hanya karena para makhluk berakal itu menganggapnya adalah hal sepele, padahal jika mereka simpan sejenak sampah mereka, lalu membuangnya pada tempat seharusnya, akan menjadi keringanan kecil bagi seorang kakek pengumpul sampah.

“Bukankah mereka diciptakan dengan akal? Harusnya mereka bisa lebih sadar!” protesku. Kesal, risau, keadannya sungguh kacau. Aku berdecak keras dengan mengeluarkan semua peluh kesahku dengan suara kicau. Namun setelah beberapa saat kemudian, jiwaku tertegun seketika. Tak ada lagi gerak sapu lidi dari sang Kakek. Karena rupanya, fokusnya kini teralih pada apa yang ada di depan matanya. Bukan karena seseorang dengan sukarela membantunya untuk membersihkan jalanan ataupun memberikannya sepeser uang. Namun, hal yang membuat sang Kakek tua itu kini tersenyum lebar adalah, ketika seorang pengendara mobil, berhenti tepat di tong sampah ujung trotoar. Lalu, seorang pemuda keluar dari dalam mobil itu. Dengan berpakaian kaos sederhana, pemuda itu mengeluarkan sebuah botol minuman bekas dari dalam mobilnya. Beberapa langkah, ia mendekat pada tong yang ada di sampingnya. Dengan hati-hati ia memasukan botol bekasnya ke keranjang sampah. Sungguh menggugah. Hal ini membuatku takjub akan kesadarannya yang sungguh terasah. Bagaimana bisa, tak kusangka, semua manusia tak seperti yang kukira. Lalu, Sang Kakek pun merasa sumringah. Karena dalam hati kecilnya, ia tak pernah merasa, bahwa kebahagian kecil dirinya pagi ini, bisa muncul karena aksi mulia seorang pemuda. Yang dengan sukarela, memasukan botol bekasnya tepat pada tempatnya.

Mulutku tak bisa menahan rasa haru dan bahagia. Setiap hari aku terjaga melihat raut wajah sang kakek, tak pernah ku-melihat senyuman begitu lembut namun sederhana. Andaikan mataku bisa merekam aksi pemuda itu, mungkin sudah ku-viralkan melalui benda kotak canggih milik manusia.

Sesaat, hal ini membuat aku ingin pergi menjelajah. Terbang dengan kicauan nasihat kepada para manusia dan pengendara. Bahwasannya, tindakan yang kalian anggap seperti remahan kerikil, namun bagi orang lain, mungkin itu adalah sebuah hadiah bagi si hati kecil.

Berharap Sadar.pdf (336,6 KB)