Benarkah Vaksin dapat menyebabkan Autisme?

Ada sejumlah pihak mengklaim bahwa vaksin tertentu dapat menyebabkan autisme pada anak. Bahkan, selebriti Jenny McCarthy menduga autisme yang diidap anaknya disebabkan oleh vaksinasi. Isu ini sontak berkembang dalam beberapa tahun terakhir.
Lantas, bagaimana pendapat anda?

Selama lebih dari 15 tahun terakhir, telah banyak institusi independen yang menguji kaitan antara vaksin dengan autisme. Hasilnya, tidak ada kaitan antara paparan thimerosal dengan autisme. Berikut ini beberapa hasil yang didapat dari pengujian tersebut:

  • Tidak ditemukan hubungan sebab akibat antara vaksin dengan thimerosal sebagai pemicu
  • Tidak ada bukti yang mendukung hubungan antara vaksin yang mengandung thimerosal dengan fungsi neuropsikologi pada anak usia 7-10 tahun.
  • Sudah dilakukan penelitian terhadap anak-anak yang mendapat vaksin DTaP yang mengandung thimerosal dibandingkan dengan mereka yang menerima vaksin yang sama tanpa thimerosal. Sepuluh tahun kemudian, penelitian tersebut tidak menemukan gangguan neurologis pada anak yang menerima vaksin dengan thimerosal.
  • Tidak ditemukan hubungan antara vaksinasi dengan autisme atau gangguan autisme spektrum lain. Tidak ada peningkatan risiko berkembangnya autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) setelah menerima vaksin MMR, kandungan merkuri, maupun thimerosal dalam vaksin. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa vaksinasi tidak berhubungan dengan perkembangan autisme ataupun ASD.

Meskipun demikian, untuk menghindari kemungkinan buruk, ada negara yang sudah menyediakan vaksin yang tidak mengandung thimerosal.

Pada akhirnya, vaksin telah terbukti menyelamatkan jutaan nyawa manusia dari penyakit-penyakit mematikan yang sebelumnya tidak dapat ditangani. Jika terdapat beberapa kasus autisme yang terjadi setelah pemberian vaksin, tidak dapat digeneralisasi atau langsung disimpulkan vaksin sebagai penyebabnya.

Setiap pernyataan perlu diuji kebenarannya, dan banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa manfaat vaksinasi jauh lebih tinggi daripada risiko yang mungkin ditimbulkannya.

Populernya anggapan bahwa Vaksin menyebabkan autisme diawali oleh terpublishnya penelitian oleh Andrew Wakefield pada tahun 1997 yang salah satu hipotesanya adalah pemberian vaksin MMR mememiliki keterkaitan dengan munculnya autisme. Namun sayangnya publikasi tersebut dijadikan makanan media massa yang membuat ketakutan terhadap vaksin dimulai padahal setelah dilakukan riset selama 12 tahun tidak ditemukan keterkaitan antara pemberian vaksin dan munculnya autisme pada anak. Sayangnya karena gemparnya berita mengenai publikasi tersebut banyak orang termakan oleh judul berita sehingga mereka percaya bahwa vaksin dapat menimbulkan autisme.

Vaksin yang diindikasi dapat menyebabkan anak menjadi autis adalah vaksin MMR (measles, mumps, rubella). Isu adanya kemungkinan hubungan antara MMR dan autism timbul pada tahu 1997, setelah publikasi artikel yang menyatakan ada hubungan antara virus vaksin campak dan penyakit inflamasi usus. Selain itu, ada publikasi tentang kemungkinan hubungan antara MMR, penyakit usus, dan autism.

Berikut tanggapan dari dari Ikatan Dokter Anak Indonesia terkait dengan permasalahan Vaksin MMR dan Autisme.

Apakah imunisasi MMR menyebabkan autisme?

Tidak. Tidak ada bukti ilmiah antara imunisasi campak ataupun MMR dengan autisme. Berbagai penelitian dilakukan Amerika dan di Eropa menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara MMR dan autisme. Berbagai kajian American Academy of Pediatrics, Institute of Medicine, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyimpulkan bahwa tidak ada bukti hubungan antara imunisasi MMR dan timbulnya autisme. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) juga membentuk sebuah komisi yang terdiri dari peneliti independen untuk mengkaji hubungan imunisasi MMR dan autism. Hasilnya adalah tidak hubungan antara keduanya.

Bagaimana tentang publikasi yang menyatakan ada hubungan antara imunisasi MMR dan autism?

Dokter Wakefield di Inggris pada 1998 melakukan penelitian pada 12 anak yang dirujuk ke klinik karena diare atau nyeri perut. Anak-anak tersebut mempunyai riwayat perkembangan normal, tetapi mengalami regresi (kemunduran) untuk keterampilan tertentu. Saat diperiksa, orangtua ditanyakan tentang riwayat imunisasi MMR (yang telah diberikan 9 tahun sebelumnya) dan hubungan antara imunisasi MMR dengan hilangnya keterampilan tersebut.

Berdasarkan data tersebut, dengan jumlah subyek yang amat sedikit, peneliti menyatakan ada hubungan antara imunisasi MMR dan autism. Hubungan antara keduanya didasari pada ingatan orangtua yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, bukan berdasarkan bukti ilmiah yang obyektif. Lebih lanjut, 4 dari 12 subyek mengalami gangguan perilaku sebelum timbul gangguan saluran cerna. Hal ini membantah teori peneliti itu sendiri yang menyatakan bahwa gangguan saluran cerna (yang disebabkan oleh MMR) akan menimbulkan autisme.

Kekurangan publikasi ini adalah kesalahan seleksi subyek (terdapat gangguan saluran cerna sebelum timbul gangguan perilaku) dan tidak ada kelompok control, suatu hal yang amat penting dalam penelitian. Dengan demikian publikasi tersebut tidak digolongkan sebagai publikasi ilmiah, melainkan suatu deskripsi ingatan orangtua dari suatu kelompok anak tertentu (bukan dari populasi anak pada umumnya) yang dirujuk ke klinik dokter tertentu.

Bagaimana penelitian penggunaan imunisasi MMR pada masyarakat luas?

Madsen, dkk melakukan penelitian di Denmark yang meliputi bayi yang lahir antara Januari 1991 sampai Desember 1999. Dari 537.303 anak yang diteliti, 440.655 di antaranya mendapat vaksin MMR. Penelitian yang dipublikasi dalam The New England Journal of Medicine pada 2002 itu menyatakan bahwa kejadian autisme ataupun autistic-spectrum disorders (ASD) pada kelompok yang mendapat MMR dan kelompok yang tidak mendapat MMR tidak berbeda alias sama.

Apakah MMR dapat menyebabkan kemunduran dalam perkembangan bicara anak?

Tidak. Imunisasi MMR tidak menyebabkan kemunduran perkembangan anak. Hal ini dapat dilihat dari penelitian tentang kemunduran/ regresi perilaku atau perkembangan pada autism dan hubungannya dengan imunisasi MMR. Penelitian ini dilakukan di Amerika oleh Collaborative Programs of Excellence in Autism yang didukung oleh The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Penelitian yang dilakukan pada 12 universitas terkemuka di Amerika ini dimuat dalam Journal of Autism and Developmental Disorders pada 2006, meneliti 351 anak dengan ASD (dengan dan tanpa regresi) dan 31 anak yang khas memperlihatkan kemampuan komunikasi sosial lalu diikuti hilangnya kemampuan tersebut. Hasil penelitian tersebut adalah tidak ada bukti bahwa ada hubungan antara regresi perkembangan pada autisme dengan imunisasi MMR.

Apakah imunisasi MMR menyebabkan autisme pada anak-anak Asia?

Imunisasi MMR tidak menyebabkan autisme pada anak Asia. Honda dan kawan-kawan meneliti angka kejadian ASD pada anak berumur sampai 7 tahun di Kohoku Ward (dengan populasi sekitar 300.00 orang), suatu daerah di Yokohama, Jepang. Imunisasi MMR di Yokohama menurun drastis mulai 1988 sampai 1992. Pada 1993, imunisasi MMR dihentikan sama sekali. Namun, ternyata kerjadian kumulatif ASD pada anak sampai umur 7 tahun meningkat secara bermakna pada kelompok anak yang lahir antara tahun 1988-1996. Peningkatan yang amat drastic terjadi pada anak yang lahir setelah 1993, yang justru tidak mendapat imunisasi MMR. Penelitian ini menyimpulkan bahwa imunisasi MMR sangat tidak mungkin menjadi penyebab ASD. Kesimpulan lain adalah penghentian imunisasi MMR pada Negara-negara yang menggunakannya tidak akan menurunkan angka kejadian autism.

Pada tahun 1998, Dr. Andrew Wakefield dkk dari Royal Free Hospital di London mempublikasikan laporan penelitian di The Lancet, yang berjudul “lleal- lymphoid-nodular hyperplasia, non-specific colitis, and pervasive developmental disorder in children”. Penelitian dilakukan terhadap 12 anak yang mengalami keterlambatan perkembangan neurologis disertai gangguan gastrointestinal (pencernaan), delapan di antaranya mengalami autisme, dan menurut orang tua hal itu terjadi satu bulan setelah mendapat imunisasi MMR. Dalam laporannya, Wakefield mengemukakan hipotesisnya, bahwa imunisasi MMR menyebabkan sederetan kejadian secara berurutan, seperti inflamasi intestinal(infeksi usus), hilangnya fungsi barrier usus (leaky bowel), masuknya protein encephalopathic ke dalam aliran darah, sehingga akhirnya terjadi autisme.

Pada tahun 2002, Wakefield dkk melaporkan penelitian mereka kedua mengenai hubungan virus morbili dan autisme. Dalam penelitian tersebut diperiksa sampel biopsi usus dari 160 anak yang mengalami autisme dan yang bukan autisme. Hasilnya menunjukkan bahwa, pada 75 di antara 90 anak autisme ditemukan genom virus morbili di dalam jaringan biopsi ususnya, dibandingkan hanya 5 di antara 70 anak yang bukan autisme.

Dengan demikian muncul kontrovesi berkisar kemungkinan hubungan autisme dengan imunisasi anak. Ada dua hal yang diajukan sebagai penyebab autis yang menjadi masalah, yaitu imunisasi dengan suntikan MMR dan Thimerosal bahan untuk pengawet vaksin.

Thimerosal dan fungsinya dalam vaksin

Banyak orang tua menolak imunisasi karena mendapatkan informasi bahwa beberapa jenis imunisasi khususnya beberapa kandungan di dalam imunisasi seperti Thimerosal dapat mengakibatkan autisme. Akibatnya anak tidak mendapatkan perlindungan imunisasi untuk menghindari penyakit-penyakit justru yang lebih berbahaya seperti hepatitis B, Difteri, Tetanus, Pertusis, TBC, dan sebagainya.

Banyak penelitian yang dilakukan secara luas ternyata membuktikan bahwa autism tidak berkaitan dengan thimerosal. Tetapi memang terdapat teori atau kesaksian yang menunjukkan bahwa autisme berhubungan dengan thimerosal.

Thimerosal atau thiomersal adalah senyawa merkuri organik atau dikenal sebagai sodium etilmerkuri thiosalisilat, yang mengandung 49,6% merkuri. Bahan ini digunakan sejak tahun 1930, sebagai bahan pengawet dan stabilizer dalam vaksin, produk biologis atau produk farmasi lainnya. Thimerosal yang merupakan derivat dari etilmerkuri, sangat efektif dalam membunuh bakteri dan jamur juga mencegah kontaminasi bakteri terutama pada kemasan vaksin multidosis yang telah terbuka. Selain sebagai bahan pengawet, thimerosal juga digunakan sebagai agen inaktivasi pada pembuatan beberapa vaksin, seperti misalnya pertusis.

Food and Drug Administration (FDA) menetapkan peraturan penggunaan thimerosal sebagai bahan pengawert vaksin yang multidosis untuk mencegah bakteri dan jamur. Vaksin tunggal tidak memerlukan bahan pengawet. Pada dosis tinggi merkuri dan metabolitnya seperti etilmerkuri dan metilmerkuri bersifat nefrotoksis dan neurotoksis. Senyawa merkuri ini mudah sekali menembus sawar darah otak, dan dapat merusak otak.

Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit Campak, Campak Jerman dan Penyakit Gondong. Pemberian vaksin MMR biasanya diberikan pada usia 16 bulan. Vaksin ini adalah gabungan vaksin hidup yang dilemahkan. Semula vaksin ini ditemukan secara terpisah, tetapi dalam beberapa tahun kemudian digabung menjadi vaksin kombinasi. Kombinasi tersebut terdiri dari virus hidup Campak galur Edmonton atau Schwarz yang telah dilemahkan dan antigen gondongen dari virus hidup galur Jerry Lynn atau Urabe AM-9. Untuk mengetahui berbagai hal secara mendalam tentang vaksin ini, perlu dibahas secara khusus.

Pendapat yang mendukung autism berkaitan dengan imunisasi:

Terdapat beberapa penelitian dan beberapa kesaksian yang mengungkapkan autisme mungkin berhubungan dengan imunisasi MMR. Reaksi imunisasi MMR secara umum ringan, pernah dilaporkan kasus meningoensefalitis (radang otak dan selaputnya) pada minggu 3-4 setelah imunisasi di Inggris dan beberapa tempat lainnya. Reaksi klinis yang pernah dilaporkan meliputi kekakuan leher, iritabilitas hebat, kejang, gangguan kesadaran, serangan ketakutan yang tidak beralasan dan tidak dapat dijelaskan, defisit motorik/sensorik, gangguan penglihatan, defisit visual atau bicara yang serupa dengan gejala pada anak autism.

Saline Bernard, seorang ibu dari anak autistik yang juga seorang perawat bersama-sama dengan beberapa orang tua lain meneliti mengenai merkuri. Mereka meneliti vaksin-vaksin yang mengandung thimerosal sebagai bahan pengawet. Ia menyampaikan di depan US House of Representatives (MPR Amerika) bahwa gejala yang diperlihatkan anak autistik hampir sama dengan gejala keracunan merkuri. Makalahnya berjudul “Autism is A Unique Type of Mercury Poisoning”. Dugaan ini diperkuat dengan membaiknya gejala-gejala autisme setelah dilakukan kelasi, dimana merkuri dikeluarkan dari tubuh dan otak anak autistik. Bernard dan kawan-kawan , melaporkan juga bahwa pada anak autistik terdapat peningkatan kadar merkuri setelah dideteksi dalam sampel biologis.

Isu vaksin-vaksin yang sebagian besar menggunakan thimerosal sebagai bahan pengawet, secara logika dapat menimbulkan keracunan merkuri, meskipun kadar etilmerkuri dalam thimerosal berkisar 50% dan thimerosal sendiri berkadar 0,003- 0,01 % dalam sebuah vaksin (0,2-3% mg/mL), namun efek kumulatif yang terjadi pada pemberian berbagai macam vaksin dalam jumlah banyak dalam waktu relatif singkat, terlebih bila program vaksinasi diberikan pada individu (anak) yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap merkuri.

Jeane Smith seorang warga negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika: kelainan autisme di negeri ini sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak autistik percaya bahwa anak mereka yang terkena autisme disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi. Sedangkan beberapa orang tua penderita autisme di Indonesiapun bersaksi bahwa anaknya terkena autisme setelah diberi imunisasi.

Pendapat yang menentang bahwa imunisasi menyebabkan autisme:

Penelitian yang mengungkapkan bahwa MMR tidak mengakibatkan Autisme lebih banyak lagi dan lebih sistematis. Brent Taylor, melakukan penelitian epidemiologik dengan menilai 498 anak dengan autisme. Didapat kesimpulan terjadi kenaikan tajam penderita autism pada tahun 1979, namun tidak ada peningkatan kasus autisme pada tahun 1988 saat MMR mulai digunakan. Didapatkan kesimpulan bahwa kelompok anak yang tidak mendapatkan MMR juga terdapat kenaikan kasus autism yang sama dengan kelompok yang diimunisasi MMR.

Dales dkk seperti yang dikutip dari JAMA (Journal of the American Medical Association) 2001, mengamati anak yang lahir sejak tahun 1980 hingga 1994 di California, sejak tahun 1979 diberikan imunisasi MMR. Menyimpulkan bahwa kenaikan angka kasus autisme di California, tidak berkaitan dengan mulainya pemberian MMR.

Intitute of medicine, suatu badan yang mengkaji keamanan vaksin telah melakukan kajian yang mendalam antara hubungan autisme dan MMR. Badan itu melaporkan bahwa secara epidemiologis tidak terdapat hubungan antara MMR dan ASD.

The British Journal of General Practice mempublikasikan penelitian De Wilde, pada bulan Maret 2001. Meneliti anak dalam 6 bulan setelah imunisasi MMR dibandingkan dengan anak tanpa autisme. Menyimpulkan tidak terdapat perubahan perilaku anak secara bermakna antara kelompok kontrol dan kasus.

Pada jurnal ilmiah Archives of Disease in Childhood, September 2001, The Royal College of Paediatrics and Child Health, menegaskan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang mendukung adanya hipotesis kaitan imunisasi MMR dan autisme. Para profesional di bidang kesehatan tidak usah ragu dalam merekomendasikan imunisasi MMR pada pasiennya.

Rekomendasi Badan Kesehatan Dunia


Beberapa institusi atau badan dunia di bidang kesehatan yang independen dan sudah diakui kredibilitasnya juga melakukan kajian ilmiah dan penelitian tentang tidak adanya hubungan imunisasi dan autisme. Dari hasil kajian tersebut, dikeluarkan rekomendasi untuk tenaga profesional untuk tetap menggunakan imunisasi MMR dan thimerosal karena tidak terbukti mengakibatkan autisme.

The All Party Parliamentary Group on Primary Care and Public Health pada bulan Agustus 2000, menegaskan bahwa MMR aman. Dengan memperhatikan hubungan yang tidak terbukti antara beberapa kondisi seperti inflamantory bowel disease (gangguan pencernaan) dan autisme adalah tidak berdasar.

WHO (World Health Organisation), pada bulan Januari 2001 menyatakan mendukung sepenuhnya penggunaan imunisasi MMR dengan didasarkan kajian tentang keamanan dan efikasinya.

Beberapa institusi dan organisasi kesehatan bergengsi di Inggris termasuk the British Medical Association, Royal College of General Practitioners, Royal College of Nursing, Faculty of Public Health Medicine, United Kingdom Public Health Association, Unison, Sense, Royal Pharmaceutical Society, Public Health Laboratory Service and Medicines Control Agency, pada bulan Januari tahun 2001 setelah mengadakan pertemuan dengan pemerintah Inggris mengeluarkan pernyataan bersama yaitu MMR adalah vaksin yang sangat efektif untuk melindungi anak dari penyakit. Sangat merekomendasikan untuk memberikan MMR terhadap anak dan tanpa menimbulkan resiko.

The Committee on Safety of Medicine (Komite Keamanan Obat) pada bulan Maret 2001, menyatakan bahwa kesimpulan dr. Wakefield tentang vaksin MMR terlalu premature. Tidak terdapat sesuatu yang mengkhawatirkan.

The Scottish Parliament’s Health and Community Care Committee, juga menyatakan pendapat tentang kontroversi yang terjadi, yaitu berdasarkan pengalaman klinis berbasis bukti, tidak terdapat hubungan secara ilmiah antara MMR dan Autisme atau Crohn disease. Komite tersebut tidak merekomendasikan perubahan program imunisasi yang telah ditetapkan sebelumnya bahwa MMR tetap harus diberikan.

The Irish Parliament’s Joint Committee on Health and Children pada bulan September 2001, melakukan review terhadap beberapa penelitian termasuk presentasi dr. Wakefield yang mengungkapkan autisme berhubungan dengan MMR. Menyimpulkan tidak ada hubungan antara MMR dan autisme. Tidak terdapat pengalaman klinis lainnya yang membuktikan bahan lain di dalam MMR yang lebih aman dibandingkan kombinasi imunisasi MMR.

The American Academy of Pediatrics (AAP), organisasi profesi dokter anak di Amerika Serikat pada tanggal 12-13 Juni 2000 mengadakan konferensi dengan topik “New Challenges in Childhood Immunization” di Oak Brook, Illionis Amerika Serikat yang dihadiri para orang tua anak autistik, pakar imunisasi kesehatan anak dan para peneliti. Pertemuan tersebut merekomendasikan bahwa tidak terdapat hubungan antara MMR dan Autisme. Menyatakan bahwa pemberian imunisasi secara terpisah tidak lebih baik dibandingkan MMR, malahan terjadi keterlambatan imunisasi MMR.

Sumber : Mohamad Sugiarmin, Kontrovesi hubungan autisme dan imunisasi measles- mumps-rubella (MMR)