Benarkah toxic positivity itu ada ? Bagaimana ciri-cirinya?

Untitled design (11)

Sering kali kita mendengar istilah toxic positivity. Melansir Psychology Today, ungkapan toxic positivity mengacu pada konsep bahwa seseorang hanya berfokus pada hal-hal positif namun menolak apa pun yang dapat memicu emosi negatif. Jennifer Murayama , seorang psikoterapis, memberi penjelasan bahwa toxic positivity lebih dari sekadar bersikap positif dan optimis dalam menghadapi perjuangan atau tantangan. Toxic positivity adalah perilaku menyangkal, meminimalkan, dan membungkam perasaan otentik diri sendiri maupun orang lain.

Menurut kalian, benarkah toxic positvity itu ada? Bukankah bersikap positif itu perlu?
Lalu jika ada, bagaimana sih ciri-cirinya?

1 Like

Toxic sendiri merupakan terjemahan Bahasa Inggris “racun”. Sedangkan, positivity merupakan terjemahan Bahasa Inggris “kepositifan.” Jika digabungkan maka memiliki arti kepositifan yang beracun atau merusak. Mengutip dari Psychology Today, toxic positivity mengacu pada konsep, menjaga pikiran dan sikap tetap positif adalah cara yang tepat untuk menjalani hidup. Anda hanya fokus pada hal-hal positif dan menolak hal yang memicu emosi negatif. Padahal dalam studi psikologi, setiap emosi dan perasaan manusia memiliki arti dan makna tersendiri termasuk perasaan sedih, kecewa, marah, khawatir. Menurut dr. Jiemi Adrian, Sp. KJ., toxic positivity memiliki dasar berupa invalidasi terhadap emosi atau perasaan.

Toxic positivity akan muncul ketika kita terus menerus menyangkal perasaan ‘negatif’ dan memaksa diri sendiri untuk merasa bahagia.

Selain itu, ada beberapa hal yang menandakan seseorang sedang terjebak di dalam toxic positivity, antara lain:

  1. Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya sedang dirasakan
    2.Terkesan menghindari atau membiarkan masalah
  2. Merasa bersalah ketika merasakan atau mengungkapkan emosi negatif
  3. Mencoba memberikan semangat kepada orang lain, tapi sering disertai dengan penyataan yang seolah meremehkan, misalnya mengucapkan kalimat “jangan menyerah, begitu saja kok tidak bisa”
  4. Sering mengucapkan kalimat yang membandingkan diri dengan orang lain, contohnya, “kamu lebih beruntung, masih banyak orang yang lebih menderita dari kamu”
  5. Melontarkan kalimat yang menyalahkan orang yang tertimpa masalah, misalnya ‘Coba, deh, lihat sisi positifnya. Lagi pula, ini salahmu juga, kan?”

Ada, dalam beberapa kasus, kata-kata penyemangat yang dianggap positif ini justru membuat orang merasa lebih buruk, ungkap psikolog Marry Hoang, seperti dilansir dari laman Elle Australia. Ciri-cirinya adalah:

  1. Mendorong seseorang untuk menyembunyikan atau menutupi perasaan sebenarnya.
  2. Mengarahkan untuk bersikap jalani saja dengan sabar.
  3. Membuat diri merasa bersalah karena merasakan emosi negatif.
  4. Mengecilkan atau meremehkan pengalaman orang lain dengan kamuflase pernyataan positif. Misalnya dengan menyatakan kalau hal seperti itu biasa terjadi dan kamu harus sabar menghadapinya.
  5. Membandingkan dengan kondisi orang lain. Misalnya dengan kata ‘masih mending…’, ‘ada yang seperti ini, tapi dia bisa…’.
  6. Mempermalukan atau menghukum orang lain karena mengekspresikan rasa frustasi atau emosi negatif.
  7. Menganggap emosi sedih adalah hal yang berlebihan dan tak boleh dilakukan.

Juga beberapa contoh kalimat toxic positivity:

  • Gapapa kok, kamu mingkin kurang bersyukur
  • Di luar sana banyak lho yang masih kurang beruntung daripada kamu
  • Apapun yang terjadi, pokoknya kamu jangan menyerah

src

halogeet.com

Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif. Melihat suatu hal dengan positif memang baik, tapi jika dibarengi dengan menghindari emosi negatif, hal ini justru dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental. Seseorang yang terjebak dalam toxic positivity akan terus berusaha menghindari emosi negatif, seperti sedih, marah, atau kecewa, dari suatu hal yang terjadi. Padahal, emosi negatif juga penting untuk dirasakan dan diekspresikan.

Toxic positivity umumnya muncul melalui ucapan. Orang yang memiliki pemikiran yang demikian mungkin bisa sering melontarkan petuah yang terkesan positif, tapi sebenarnya merasakan emosi yang negatif. Selain itu, ada beberapa hal yang menandakan seseorang sedang terjebak di dalam toxic positivity, antara lain:

  • Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya sedang dirasakan.
  • Terkesan menghindari atau membiarkan masalah.
  • Merasa bersalah ketika merasakan atau mengungkapkan emosi negatif.
  • Mencoba memberikan semangat kepada orang lain, tapi sering disertai dengan penyataan yang seolah meremehkan.
  • Sering mengucapkan kalimat yang membandingkan diri dengan orang lain.