Benarkah Toxic Masculinity Dapat Merusak Mental Health Seorang Laki-Laki?

toxic masculinity

Toxic Masculinity mengacu pada sikap atau tindakan yang percaya dan menunjukkan persepsi jika laki-laki harus selalu bersikap maskulin. Tentunya, Toxic Masculinity ini eksistensinya ada di Indonesia. Toxic Masculinity di Indonesia muncul dari sosialisasi peran gender sejak kecil. Misalnya, perempuan dengan peran gender feminin dan laki-laki dengan peran gender maskulin. Dari situlah, mayoritas anak-anak mulai mempelajari cara berperilaku, budaya, hingga mewariskan sesuatu yang sudah ada, termasuk cara memperlakukan laki-laki dan perempuan. Secara tidak sadar, banyak orang tua yang sering mengatakan perkataan semacam, “Anak cowok gak boleh cengeng!”, “Cowok kok nangis?”, “Laki-laki harus jadi jagoan!” atau “anak laki gak boleh pakai warna pink”.

Toxic Masculinity ini cenderung ‘mengkotakkan’ bagaimana sikap seorang laki-laki seharusnya menjadi pria yang kuat dan tangguh. Dalam toxic masculinity, maskulinitas memiliki pengertian yang identic dengan sifat pria yang cenderung menggunakan kekerasan, agresif, dan tidak boleh menunjukkan emosinya, serta mendominasi. Bagaimana jika tidak memenuhi kriteria tersebut? Mereka kemudian akan dianggap gagal menjadi laki-laki yang sesungguhnya dan bullying bisa menjadi dampak yang akan diterima jika mayoritas masyarakat di lingkungannya tidak menyukai sifat atau perilaku yang dianggap ‘tidak manly’ tersebut. Kesehatan mental akan menjadi dampak yang panjang jika terjadi trauma mendalam mengenai toxic masculinity ini.

Jadi menurut Youdics, benarkah toxic masculinity dapat merusak mental health seorang laki-laki?

Referensi

Toxic Masculinity, Saat Laki-Laki Harus Menjadi Iron Man - Campuspedia News
Toxic masculinity: Definition, common issues, and how to fight it
Pict from pinterest

9 Likes

Menurut saya, toxic masculinity dapat mengganggu bahkan merusak kesehatan mental seseorang jika telah melewati batas toleransi dalam diri individu tersebut. Bahkan persepsi tersebut dapat menjadi doktrin yang telah “mencuci otak” karena mereka sejak kecil telah dituntut untuk bersikap dan bertindak sesuai standar tertentu. Oleh karena itu, dibutuhkan peran orang tua yang memiliki kemampuan parenting yang baik dan terbuka agar sang anak dapat terdidik tanpa adanya paksaan yang terlewat batas.

1 Like

Setiap pribadi itu unik dan berbeda, bahkan sekalipun mereka memiliki kesamaan jenis kelamin dan gender, belum tentu karakternya juga sama.

Toxic masculinity, yang sebagaimana kita tahu bersama terbentuk dari konstruksi sosial, menuntut semua orang yang termasuk dalam gender pria untuk agresif, inisiatif, kuat dan tidak sensitif. Padahal tidak semua pria seperti itu maupun harus seperti itu. Memang saya akui, ada peran hormon yang mendorong laki-laki untuk cenderung memiliki sifat diatas. Namun pada akhirnya ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi pembentukan karakter seseorang, seperti lingkungan tumbuh, peran orang tua, budaya, dll.

Tentu saja hal ini dapat mengganggu kesehatan mental sebagian pria, terutama bagi mereka yang dianggap tidak memenuhi kriteria maskulinitas. Karena mereka terus ditekan oleh standar umum untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya.

4 Likes

Sebutan toxic masculinity dan isu mental health ini semakin banyak diperbincangkan, khususnya di kalangan anak muda dan di media sosial. Manurut ku pribadi, toxic masculinity pasti memiliki pengaruh terhadap kesehatan mental laki-laki. Salah satu contohnya adalah tingkat kecemasan. Kecemasan akan muncul pada pribadi yang merasa harus memenuhi ekspektasi maskulin agar diterima di masyarakat atau bahkan untuk mendapat pengakuan. Hal ini juga akan terus menyambung, pada beberapa penelitian disebutkan bahwa karakter atau sifat ini menjadi penghalang bagi penderita mentall illness untuk mendapatkan pertolongan profesional atau bahkan hanya untuk periksa kesehatan, karena dianggap tidak memenuhi kriteria laki-laki yang kuat. Sehingga, sifat dan karakteristik ini dianggap dapat menjadi pemicu bagai kesehatan mental laki-laki.

Referensi

Harris, Benjamin, “Toxic Masculinity: An Exploration of Traditional Masculine Norms in Relation to Mental Health Outcomes and Help-Seeking Behaviors in College-Aged Males” (2021). Senior Theses . 431.

2 Likes

Menurut Medical News Today, toxic masculinity dapat mempengaruhi mental laki-laki yang tidak memenuhi klaim “maskulin” namun tetap diharuskan (dipaksa) melakukannya. The American Psychological Association mencatat, bahaya mencoba mematuhi sifat-sifat maskulin secara berlebihan dapat membuat pria dewasa dan anak laki-laki mengalami efek buruk dan mungkin mengalami depresi, masalah citra tubuh, fungsi sosial yang buruk, penyalahgunaan zat, dan tertekan.

2 Likes

Setuju dengan pendapat teman-teman diatas. Toxic masculinity menurut saya dapat berpengaruh pada kesehatan mental seorang laki-laki. Toxic masculinity dapat menjadi beban seseorang untuk selalu memiliki sifat yang sesuai dengan standar dari maskulinitas tersebut sehingga ketika tidak dapat memenuhi hal tersebut dapat menjadi pemicu bagi kesehatan laki-laki terutama pada gangguan kecemasan dan depresi. Untuk itu, peran orang tua juga sangat penting dalam mengedukasi anak sejak dini agar persepsi yang terlalu ‘mengkotak-kotakkan’ gender dapat memudar

1 Like

Stigma ini memaksa laki-laki untuk menjadi dominan dan agresif agar diterima di lingkungannya. Dituntut untuk berkuasa, kuat, kasar, tidak boleh menangis atau bahkan mengeluh. Bayangkan saja jika hal ini terus terjadi dalam hidup mereka. Sangat menyesakkan, bukan?

Langgengnya stigma ini di masyarakat kita tentunya banyak menimbulkan dampak buruk. Laki-laki akan cenderung memendam emosi dan tidak meminta bantuan karena mereka terbiasa untuk tidak menunjukkannya secara langsung. Jika emosi tersebut terus terpendam, pastinya mental health mereka akan terganggu.

Laki-laki berhak untuk merasa sedih, takut, berperilaku lembut, mencari emotional support dan melakukan selfcare untuk dirinya sendiri. Let’s end toxic masculinity!

2 Likes

Betul banget. aku setuju. Laki-laki akan cenderung merasa dibatasi dalam mengekspresikan emosi mereka karena adanya stigma tersebut. Mereka juga akan merasa dituntut dan dipaksa untuk dapat diakui dalam lingkungannya yang tentunya jika hal tersebut terus menerus terjadi dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan mentalnya

Munculnya Toxic Masculinity ini berhubungan erat dengan pembentukan identitas diri dari hubungan inidividu ke lingkungannya melalui komunikasi . Kalau menurut Weigert pembentukan identitas diri dalam komunikasinya terbagi tiga salah satunya Komunikasi dengan keluarga. Di dalam komunikasi dengan keluarga terdapat “Definisi Langsung” dimana orangtua secara terang-terangan memberi tahu siapa kita dengan melabeli kita dan perilaku kita, misalnya orangtua mengatakan bahwa “anak perempuan itu harus memakai rok” dan “anak laki-laki itu tidak boleh nangis”. Definisi langsung yang diberikan orangtua mereka membuat anak itu langsung berpikiran seperti hal tersebut.

Sejatinya tiap masing-masing orang memiliki kepribadian yang berbeda baik dari laki-laki maupun perempuan. Saya setuju dengan hal diatas memang benar bahwa toxic masculinity ini merusak mental health seseorang dimana jika orang tersebut selalu berpura-pura terlihat ia kuat baik dalam hal perasaan dan lainnya akan membuat orang tersebut kehilangan jati dirinya.

1 Like

menurut saya toxic masculinity bisa merusak mental health pria karna dengan adanya toxic masculinity para pria menjadi terbebani dengan standar yang ada, memendam emosinya (seperti perasaan sedih sampai ingin menangis), dan bahkan dapat menyebabkan bullying bagi mereka yang tidak memenuhi standar maskulinitas yang beracun

Salah satu riset dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa 80% pria melakukan bunuh diri dari total seluruh kasus bunuh diri di Amerika. Di Indonesia sendiri, riset yang sama menyebutkan bahwa 2,9% orang dari 100.000 orang melakukan bunuh diri, di mana pria mendominasi angka tersebut. Penyebab utama pria lebih beresiko dan dan mendominasi angka bunuh diri di dunia karena rasa ketidakmampuan untuk menjalani peran sosial sebagai pria yang dibebankan oleh masyarakat kepadanya.

Masih berdasarkan riset WHO yang sama, rata-rata usia harapan hidup pria di dunia adalah 69 tahun, jauh lebih rendah dari wanita pada angka 74 tahun. Rendahnya harapan hidup ini dipengaruhi banyak faktor. Selain tingkat bunuh diri, disebabkan juga oleh kerasnya lingkungan kerja para pria, dan risiko kesehatan pria yang lebih rentan karena konsumsi rokok dan alkohol. Dilihat dari tingkat bunuh diri pada pria dan angka harapan hidup mereka, tanpa kita sadari penyebab utamanya adalah cara pandang masyarakat terkait dengan “siapa itu laki-laki” atau yang sering disebut juga dengan maskulinitas. Peran sosial laki-laki dimata masyarakat sering dianggap lebih tangguh dan kuat karena tuntutan sebagai tulang punggung keluarga. Menjadi seorang laki-laki harus terlihat dewasa, baik dalam perilaku maupun sifat. Stigma masyarakat terkait laki-laki tidak jauh dari kata kuat, dan terkadang hal negatif seperti ‘kekerasan’ kebanyakan disematkan pada kaum laki-laki.

2 Likes

Saya setuju dengan fakta bahwa toxic masculinity dapat merusak mental, ini terjadi karena beberapa lingkungan masyarakat masih mempunyai pikiran ‘mengotakkan’ tersebut. Dan kata cengeng dan nangis itu sebenarnya manusiawi karena laki-laki bukan makhluk yang sempurna, dia juga manusia sama seperti perempuan. Dan tubuh yang ia miliki juga adalah hak milik orang tersebut kita tidak dapat memaksakan sesuatu hal kepadanya karena itu haknya. Jadi dalam hal ini sikap toleransi menjadi hal yang penting untuk mengurangi toxic masculinity di masyarakat.

1 Like

Lakiaki dan perempuan memang memiliki kemampuan fisik yang berbeda-beda. Seperti halnya laki-laki memang dikaruniai fisik yang lebih kuat dari perempuan, ataupun laki-laki cenderung menggunakan akal/logika sedangkan perempuan cenderung menggunakan perasaan, walaupun ini tidak terjadi pada semua laki-laki atau wanita. Tentunya saya meyakini fitrah laki-laki dan perempuan berbeda. Namun apabila ada stigma yng mengatakan “laki-laki tidak boleh menangis” atau “laki-laki harus lebih berkuasa/sukses daripada perempuan” NO! saya sama sekali tidak sepakat.

Air mata diciptakan untuk laki-laki dan perempuan, wajar kalau laki-laki bisa menangis. Laki-laki pun diciptakan dengan perasaan, wajar kalau laki-laki bisa sedih. Menurutku bahaya apabila laki-laki mengikuti stigma yang salah tentu saja ini akan berdampak pada kondisi mentalnya. Menjadi kuat juga ada batasnya, it’s okay kalau mau menangis, jangan ditahan! Menjadi kuat bukan berarti harus menahan segala sesuatu dan dipendam dalam-dalam. Perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama hanya kondisi fisik tertentu yang membuat mereka berbeda. Semangat!

1 Like

Saya malah berpikiran sebaliknya. Bukankah memang laki-laki harus maskulin? Apakah memang cocok jika itu adalah toxic? Saya rasa tidak. Mungkin perlu penjabaran yang lebih masif dan aktual.

Maskulin itu perlu untuk laki-laki. bayangkan saja kalau lelaki memunculkan sifat lemah dan tak cocok dipandang sebagai lelaki. Ada yang hilang harkat sebagai lelaki. Lelaki sejak dulu memang diciptakan seperti itu. Tangguh, kuat, gesit, dan tidak terkalahkan. Mungkin banyak orang yang menolak seperti ini karena zaan sekarang tidak perlu lelaki seperti ini. Tetapi, roda seleksi akan selalu berjalan. Saya tidak akan membayangkan kalau dunia sudah mengalami kerusakan, semua lelaki bertabiat lemah dan lembek.

Toxic masculinity didefinisikan sebagai orang yang memiliki nilai atau norma yang tidak sehat terkait maskulinitas dan mempraktekkannya di kehidupan nyata sehingga mempengaruhi individu dalam interaksi sosialnya. Toxic masculinity biasanya mengacu kepada beberapa hal yaitu kekerasan/agresivitas, dominasi, superioritas, petualangan, penaklukan sehingga dianggap lebih tinggi dari feminitas dan berada di puncak hierarki. Beberapa indikasi orang yang terkena toxic masculinity:

  • Meyakini peran gender secara kaku
  • Kepemimpinan ditentukan oleh gender bukan dari talent
  • Menunjukkan kekuatan aktif dan agresif
  • Laki-laki harus menekan emosinya
  • Pantang mencari pertolongan
  • Merasa memiliki hak atas layanan seksual dari perempuan
  • Mengontrol dan menguasai orang lain baik laki-laki marginal maupun perempuan
  • Kekerasan terkadang diperlukan untuk mengatasi konflik

Dampak toxic masculinity bagi laki-laki:

  • Berdampak negatif terhadap kesehatan fisik dan emosional laki-laki
  • Berdampak negatif terhadap relasi dengan perempuan atau laki-laki
  • Membatasi laki-laki untuk menjadi dirinya sendiri karena ia dipaksa untuk berekspektasi dengan konsep laki-laki yang salah

Sehingga dapat disimpulkan bahwa toxic masculinity dapat mengancam kesehatan mental laki-laki