Benarkah suara rakyat saat ini sedang dibungkam?

image

Dalam sistem demokrasi, seluruh warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pendapat. Pemerintah sebagai pengelola yang diberi amanah oleh rakyat juga selalu mengeluarkan jargon-jargon tentang penyaluran aspirasi. Namun saat ini rasanya ada banyak sekali kasus yang menunjukkan bahwa aspirasi mulai dibungkam dengan berbagai instrumen misalnya UU ITE atau dikasuskan sebagai pencemaran nama baik. Tepatkah bila kita beranggapan bahwa suara rakyat saat ini sedang dibungkam?

“Dengan maraknya pretasan atau pembajakan mengenai lantangnya masyarakat sipil dalam mengkritisi pemertah, hal ini lah yang menjadi suatu tanda mundurnya demokrasi, dalam hal ini dalam kebebasan berpendapat di Indonesia. Salah satu contohnya pada kasus peretasan yang dialami oleh pengurus BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dari Universitas Indonesia yang mengunggah poster Presiden Joko Widodo dengan tulisan “King of Lip Service” dalam laman media sosial mereka. Ketua BEM (Badan Ekseskutif Mahasiswa) dari Universitas Indonesia (UI), Leon Alvinda Putra, menjadi korban peretasan akun media sosial terlibat akibat aksi nya yang menuturkan Presiden Joko Widodo sebagai King of Lip Service. Seperti yang diketahui pada pasal 1 ayat 2 yang mengatakan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”, hal ini mengacu kepada konsep demokrasi bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dipegang atau berada di tangan Rakyat. Namun, hal ini juga harus disesuaikan kembali dengan Undang-Undang Dasar sebagai pedoman.”

Indonesia sebagai negara hukum tentunya memberikan hak dan kewajiban bagi warga negaranya dalam banyak aspek. Salah satunya dari hak itu adalah masyarakat berhak untuk bebas mengemukakan pendapat. Namun, selain adanya hak kebebasan berpendapat tersebut terdapat juga kewajiban bagi warga negara dalam penyampaian pendapat dimuka umum.

Kewajiban tersebut berupa :

  1. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain.
  2. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum.
  3. Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum.
  5. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Hak dan kewajiban bagaikan koin mata uang dimana mereka adalah satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Apabila seseorang memiliki hak maka tentunya orang tersebut juga memiliki kewajiban. Sehingga sama halnya dengan hak kebebasan berpendapat tadi. Ketika kita sebagai warga negara sudah diberikan ruang untuk mengemukakan pendapat tentunya kita pun dalam menyampaikan pendapat harus memperhatikan kewajiban kita sebagai warga negara.

Apabila dengan ditetapkannya UU ITE menimbulkan anggapan bahwa saat ini suara masyarakat itu sedang dibungkam , menurut saya terdapat kekeliruan dalam hal itu.

Filosofi dari pembentukan UU ITE sendiri adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Sehingga dengan adanya UU ini masyarakat tidaklah dibatasi dalam menyampaikan pendapat mereka namun justru dengan adanya pengaturan ini diharapkan adanya kenyaman dalam ruang untuk menyampaikan pendapat.

Namun, memang betul faktanya bahwa UU ITE ini dalam pelaksanaannya memiliki banyak kritik. Hal itu dapat dilihat dari 50 persen ketentuan dalam UU ITE justru mengatur hal-hal yang sifatnya memaksa. Tentu saja kaitannya dengan hukum pidana, seperti termuat dalam Pasal 27, Pasal 28 UU ITE. Selain itu, beberapa ketentuan dalam UU ITE juga seringkali multitafsir dan pasal-pasalnya bersifat karet. Sehingga apabila UU ITE ini masih ingin digunakan maka perlu adanya perbaikan agar ketentuan yang diatur menjadi lebih jelas.

Kebebasan berpendapat yang diberikan oleh negara kepada masyarakat bukanlah kebebasan yang seluas-luasnya namun arti bebas dalam hal ini adalah bebas dan juga bertanggungjawab. Sehingga memang betul kita bebas untuk mengemukakan pendapat kita tetapi kita juga harus bertangungjawab atas apa yang kita kemukakan. Pendapat yang kita kemukakan tersebut haruslah tetap berpedoman pada aturan-aturan yang ada, tidak melanggar norma , maupun mengandung unsur SARA.

Apabila tidak ada UU ITE ini akan banyak sekali orang-orang yang menyalahgunakan hak kebebasan berpendapat tersebut untuk memecah belah dan menimbulkan kekacauan di negara ini. Terutama kaitannya dengan isu SARA yang seperti kita tahu bahwa Indonesia sangat sensitif dengan isu tersebut. Orang-orang yang menyalahgunakan hak berpendapat tadi akan dengan mudahnya mengatakan " kan saya bebas berpendapat"

Sehingga kembali ke penjelasan saya diatas , bahwa dengan adanya UU ITE tujuan awalnya bukan untuk membungkam aspirasi masyarakat. Tetapi aturan ini dibuat untuk membatasi pendapat-pendapat yang dimana hal tersebut malah menimbulkan masalah atau bahkan tidak sesuai dengan norma dan aturan. Terlepas dari pelaksanaan UU ITE ini yang mana memang masih memiliki banyak kekurangan.

Sehingga solusi dari topik ini adalah jika tetap ingin menggunakan UU ITE maka harus diperbaiki agar pasal-pasalnya tidak menimbulkan multitafsir yang mana akan membingungkan para penegak hukum maupun masyarakat itu sendiri. Dengan diperbaikinya ketentuan dalam UU ITE ini maka diharapkan adanya keadilan dan juga kenyaman bagi kita sebagai masyarakat dalam mengemukakan pendapat.

Menurut saya, kurang tepat apabila dikatakan suara rakyat saat ini sedang dibungkam, buktinya selagi pemberlakuan Undang-Undang kebebasan berpendapat masih ada maka rakyat tetap dapat menyuarakan pendapatnya. Namun, Indonesia merupakan negara hukum yang memberlakukan hukum dan norma sebagai upaya pembatasan perilaku di masyarakat. Hal ini lah yang menjadi pertimbangan bagi seseorang dalam menyuarakan pendapatnya, apalagi di era globalisasi media dalam menyalurkan pendapat semakin banyak sehingga jangkauan menyalurkan aspirasi juga semakin luas. Selagi aspirasi disampaikan dengan beretika, tidak menyinggung pihak manapun dan tidak mengandung SARA maka dirasa aspirasi telah dirasa cukup bebas untuk disampaikan. Telah ada pemberlakuan hukum tertentu salah satunya UU ITE untuk masyarakat beropini, sehingga dapat dikatakan masyarakat dapat berpendapat dengan bebas yang terbatas.

Menurut pendapat saya, tidak benar jika kita beranggapan bahwa suara rakyat saat ini sedang dibungkam. Negara Indonesia menerapkan sistem demokrasi, yang merupakan bagian penting dalam kehidupan bernegara karena dapat membuat kehidupan bernegara ini terasa adil dan nyaman. Kebebasan berpendapat juga merupakan bagian penting dari sebuah demokrasi, kebebasan ini memiliki dasar hukum yang telah diatur dalam pasal 28 UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang mengatakan bahwa kebebasan bertanggungjawab dan bertindak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum.
Jadi demokrasi pun memiliki pilar yang mana bependapat itu bebas namun berpendapatlah yang bertanggungjawab yang di dasarkan pada fakta yang ada, dan janganlah menyakiti satu sama lainnya karena di dalam kehidupan ini kita juga diatur oleh hak asasi manusia, karena hak kita juga dibatasi oleh hak orang lain. Berpendapatlah secara cerdas dan tidak memunculkan perpecahan karena SARA.

download (13)

Mengenai UU ITE, menurut saya itu tidak membungkam suara rakyat. Tetapi lebih membatasi pendapat masyarakat agar lebih beretika dalam berpendapat. Apalagi pendapat yang dapat menyinggung orang lain.

Menurut saya, suara rakyat bukan dibungkam. Terkadang kita takut berpendapat karena UU ITE tapi kita juga mempunyai Undang-undang kebebasan berpendapat juga. Seebagai warga negara indonesia kita mempunyai HAK nya masing-masing, begitupun kebebasan berpendapat. Jadi kurang tepat jika kita sebagai warga negara sedang di bungkam. Misalkan saja saya di kampus bebas berpendapat dan menuangkan argumen untuk kepentingan beberapa pihak yang memang pada dasarnya mempunya masalah. Saya juga merasa apabila tidak berpendapat, tidak ada guna nya saya disini. Karena setiap orang mempunyai kebijakannya masing-masing.

Konteks ini mengacu pada pembahasan hak kebebasan berpendapat.

Indonesia adalah suatu negara yang bentuk pemerintahannya menggunakan sistem demokrasi. Demokrasi itu sendiri adalah rakyat dapat bersuara dan berpatisipasi untuk mengambil keputusan, dan setiap rakyat memiliki hak yang sama dalam bersuara dan berpartisipasi tersebut.

Penjelasan saya diatas menujukkan bahwasanya negara Indonesia memiliki hukum dimana setiap warganya memiliki kebebasan berpendapat. Argumen saya ini dapat kita lihat bersama dengan bukti konstitusi yaitu UUD 1945 amandemen ke-4 pasal 28-E ayat (2) yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, meyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”

Pada intinya kontitusi dan bentuk pemerintahan memberikan hak kebebasan berpendapat kepada warganya. Namun, fakta yang terjadi menurut saya suara rakyat dibungkam. Tentunya argumen saya memiliki pondasi dan landasan sumber.

Menurut pendapat dan hemat saya, saat ini suara dan hati rakyat sedang dibungkam. Sebagai contoh kasus UU ITE yang dimisalkan oleh pertanyaan diatas adalah saya mengambil kasus BEM UI yang mengkritik Presiden Indonesia sebagai kings of lip service yang dipost melalui akun instagram mereka. Kasus ini menjadi viral dan menjadi sorotan semua kalangan, baik mahasiswa maupun beberapa politikus. Beberapa hari setelah kasus ini, muncul berita yang tak kalah viral yaitu berita peretasan akun instagram BEM UI beserta beberapa jajarannya. Kepala biro hubungan masyarakat BEM UI Tiara Shafina, pukul 00.56 WIB akun whatsapp beliau tidak bisa diakses dan muncul info akun whatsapp tersebut telah keluar dari smartphonennya. Yogie Sani sebagai wakil ketua BEM UI juga mengalami peretasan pukul 07.11 WIB. Koordinator bidang sosial lingkungan BEM UI Naifah Uzlah mengalami peretasan upaya masuk tidak dikenal pada akun telegramnya pada pukul 02.15 WIB. Dan yang terakhir, kepala departemen aksi dan propoganda BEM UI Syahrul Badri mengalami restriction pada akun instagramnya setelah mengunggah beberapa Insta-story perihal surat pemanggilan beberapa struktural fungsionaris BEM UI oleh pihak UI. (Sumber: Warta Ekonomi Online.co.id)
https://www.wartaekonomi.co.id/read347905/gawat-usai-kritik-jokowi-pengurus-bem-ui-ketiban-nasib-sial

Kejahatan cyber-crime tersebut menunjukkan di dunia digital juga belum sepenuhnya diperbolehkan mengkritik dan mengeluarkan kebebasan berpendapat.

Kemudian kita menilik kasus pada aksi penolakan oleh pejuang lingkungan hidup, mereka menggelar aksi guna menolak aktivitas perusahaan pertambangan galian C milik PT. Rolas Nusantara Tambang pada 2018 yang dinilai merusak lingkungan hidup. Namun sayang nasib malah berbalik. 3 orang pejuang lingkungan hidup divonis bersalah oleh pengadilan negeri Bayuwangi pada 27 Mei 2021, dikenai pasal 162 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan Minerba. Dengan dakwaan mengahalangi usaha pertambangan pemegang izin, 3 bulan penjara dan denda Rp. 5000 kepada setiap tersangka. (Sumber:Jatimsatu.id)
https://jatimsatu.id/daerah/uu-minerba-kacau-tiga-pejuang-lingkungan-hidup-bayuwangi-divonis-penjara/?amp#referrer=https://www.google.com&csi=0

Kasus diatas juga membuktikan suara rakyat kecil masih dibungkam oleh beberapa penguasa ber-uang. Padahal aksi demontrasi adalah suatu ekspresi rakyat untuk mengeluarkan hak aspirasi dan suaranya. Aksi demosntrasi dibenarkan apabila selama demonstrasi berlangsung fasilitas umum tidak dirusak dan berlangsung damai.

Kemudian satu contoh lagi sebagai penutup kasus bahwasanya saat ini rakyat suaranya dibungkam. Berita yang sedang hangat bahwasanya dalam RUU KHUP, penghinaan terhadap presiden maupun wapres dikenai ancaman maksimal 3.5 tahun penjara. Dan 4.5 tahun penjara apabila penghinaan itu dilakukan oleh media elektronik.
(sumber: detik.news)
https://news.detik.com/berita/d-5591630/draf-ruu-kuhp-terbaru-hina-presiden-via-medsos-diancam-45-tahun-penjara

Kesimpulan diskusi ini, saya setuju apabila saat ini suara rakyat indonesia sedang dibungkam. Mungkin beberapa contoh diatas cukup menjadi landasan argumen saya, rakyat berdemonstrasi menjadi petaka, UU ITE yang akan menjerat kita, padahal Indonesia sendiri mempunyai konstitusi kebebasan berpendapat, nyatanya hukum lebih tinggi dibanding suara rakyat kecil. Beberapa waktu yang lalu juga sempat viral di Tangerang, dengan narasi berita “polisi buru pelaku mural Jokowi 404 Not Found”
Maka dari penjelasan saya diatas, menurut saya benar bahwasanya saat ini rakyat sedang dibungkam baik aspirasi, maupun isi hati nuraninya.

Menurut saya bukannya dibungkam, tapi justru sebaliknya, kelewatan alias kebablasan. Bukti sederhananya bisa kita lihat pada grup-grup tertentu yang ada di Faceboo*. Di sana terlihat ada beberapa user /pengguna yang dengan tanpa adanya rasa takut mengunggah meme-meme entah itu yang dengan sengaja menyasar kepala negara, partai politik, atau bahkan tokoh politik dengan isi pesan yang bahkan menurut saya sudah berlebihan. Apa konsekuensi dari tindakan mereka? Tentu saja kebanyakan dari mereka (tidak semuanya) masih berada dalam keadaan yang baik-baik saja sampai hari ini alias masih bebas berkeliaran. Jika saya coba bandingkan kebebasan yang ada pada saat ini dengan yang ada pada jaman orde baru tentu saja terlihat kontrasnya dengan cukup jelas. Sekian dari saya. Apabila ada kesalahan, mohon koreksinya. Terimakasih.

Tepat! Berbicara soal UU ITE, menurutku undang-undang ini adalah undang-undang paling karet. Bagaimana tidak, memang benar UU ITE ini semangatnya adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, agar sehat, agar beretika, dan agar bisa dimanfaatkan secara produktif tetapi pada implementasinya, pelaksanaannya justru menimbulkan rasa ketidakadilan. Beberapa pasal yang terdapat pada UU ITE ini memiliki keambiguitasan dan menimbulkan multitafsir, sehingga belakangan ini, saya lihat semakin banyak warga masyarakat yang saling melaporkan dan dilaporkan. Ada proses hukum yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan tetapi memang pelapor itu ada rujukan hukumnya, ini repotnya di sini, antara lain ya si Undang-Undang ITE ini.
Bukti-bukti pasal UU ITE yang bermasalah antara lain Pasal 28 Ayat 2 tentang Ujaran Kebencian. Pasal ini justru malah rentan jadi alat represi minoritas agama, serta warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah. Setiap ada warga yang mencoba memberikan kritik kepada pemerintah, justru di tangkap dengan tuduhan melakukan ujaran kebencian, Kemudian, pasal 27 ayat 3 tentang defamasi. Pasal ini dapat digunakan untuk mengekang kegiatan berekspresi warga, aktivis, dan jurnalis. Selain itu juga mengekang warga untuk mengkritik pihak polisi dan pemerintah. Pasal tersebut membahas penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media massa, sehingga sering digunakan untuk menuntut pidana warganet yang melayangkan kritik lewat dunia maya, padahal, jika tidak melalui media massa kepada siapa warga akan memberikan kritik?
Berdasarkan dua bukti inilah saya berani mengatakan bahwa saat ini suara rakyat sedang dibungkam

Izin untuk menanggapi pendapat dari Saudara songbeenie.

Kritik adalah bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Dengan adanya kritik, kemungkinan atau potensi terjadinya maladministrasi dapat dikurangi, sekaligus para penyelenggara pelayanan publik dapat meningkatkan upaya perbaikan atas masukan masyarakat.

Memastikan sebuah kritik menjadi masukan, dan kapan sebuah kritik dianggap sebagai penghinaan atau ujaran kebencian memang tidak mudah. Prakteknya ,kritik yang dilontarkan masyarakat sering tidak hanya berupa masukan, tetapi juga kecaman dan bahkan penghinaan. Kritik yang dilontarkan massa dalam sebuah aksi demo, misalnya, tidak jarang mencemooh, menjadikan pihak penguasa sebagai bahan pergunjingan dan lelucon.

Kritik bisa saja berubah menjadi fitnah dan tuduhan tanpa dasar. Bagi oknum-oknum tertentu, kebebasan menyampaikan kritik memang sering dimanfaatkan sebagai ruang bebas untuk menyampaikan apa pun kecaman meski tanpa dasar. Kritik yang hanya didasari kebencian dan keinginan untuk merebut kekuasaan, biasanya rentan tergelincir menjadi fitnah yang tanpa bukti. Ini berbeda dengan kritik yang konstruktif.

Sehingga dalam memberikan kritik , sama halnya saat melontarkan kritik di media massa ,untuk memastikan agar kritik tidak terkontaminasi kepentingan politik kelompok tertentu, yang dibutuhkan sesungguhnya bukan hanya ruang kebebasan, tetapi juga bukti-bukti yang valid. Sah-sah saja kita sebagai masyarakat melontarkan kritik yang pedas dan menohok nama baik seorang penguasa jika memang didukung bukti yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Karena, sebuah kritik dikategorikan menghina dan mencemarkan nama baik, jika yang dikemukakan tidak sesuai dengan kenyataan.

Sepanjang kritik dipahami sebagai masukan dan bentuk partisipasi masyarakat melakukan kontrol untuk menegakkan transparansi dan akuntabilitas, maka sepanjang itu pula pemerintah tidak akan menyikapi kritik sebagai ancaman.

Memang betul UU ITE ini merupakan salah satu undang-undang yang pasal-pasalnya bersifat karet. Namun, kita sebagai masyarakat tidak perlu takut untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah sepanjang kritik yang kita lontarkan memang betul sebagai masukan bukan hanya ungkapan kekesalan belaka.

Kita dalam menyampaikan kritik terumata di media sosial / media massa harus memposisikan diri kita sebagai masyarakat yang cerdas. Dimana kita berharap bahwa kritik yang kita sampaikan adalah untuk meningkatkan perbaikan negara.

Menurut saya, saat ini masyarakat bebas mengutarakan pendapatnya. Indonesia adalah negara demokrasi, di mana setiap orang memiliki kebebasan berpendapat, hal ini juga diatur di pasal 28 E. Apakah suara masyarakat sekarang dibungkam? Sepertinya tidak, namun ada beberapa batas tertentu dalam berpendapat.

Tapi kan ini negara demokrasi, gimana dong? Dalam berpendapat juga ada etika etika tertentu yang harus diikuti, apalagi saat ini sudah mencapai era digitalisasi di mana semuanya menggunakan media sosial dan virtual sehingga ujaran kebencian bertebaran di mana-mana. Saat ini bukannya kami dibungkam, tapi adanya gerakan antisipasi akan banyaknya ujaran kebencian.

Ambil saja contoh beberapa waktu yang lalu, ada Selebgram yang mengomentari dan menyatakan wanita gemuk itu jelek. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam opininya. Namun beberapa masyarakat menanggapi bahwa itu adalah ujaran kebencian. Apa sih yang termasuk ujaran kebencian? Sepertinya tergantung dengan toleransi dan tingkat sensitivitas orang-orang. Kita tidak tahu apa yang terjadi di balik orang-orang, kita tidak juga tahu bagaimana orang-orang akan bertindak sesuai emosinya masing masing, sehingga di sini pembatasan perlu dilakukan agar pendapat tersebut tidak terlalu keras dan menyakitkan.

Demokrasi seringnya menjadi kambing hitam akan hal ini. Demokrasi adalah kebebasan berpendapat, dan bukan merupakan alasan bagi kita untuk bebas menggunakan kata-kata kasar atau berbicara tidak pantas. Sebelum berpendapat alangkah baiknya jika kita melakukan pengecekan fakta terlebih dahulu, dan memahami masalah yang ada. Bagi sebagian orang, dilawan sedikit akan merasa dibungkam, padahal sebenarnya bukan itu. Seharusnya, mereka bisa lebih mengevaluasi diri sendiri yang mana yang kira-kira pendapat mereka keluar batas sehingga bisa diperbaiki untuk ke depannya. Bukannya mereka lalu disuruh tutup mulut dan dibungkam selamanya—bukan. Maksudnya di sini adalah bagaimana kalau kita memperbaiki bahasa kita dan menggunakan bahasa yang baik-baik untuk menggunakan hak kebebasan berpendapat kita.

Apalagi dengan maraknya penggunaan media sosial, kita bisa dengan tanpa nama berkomentar akan sesuatu. Sosial edia menciptakan kehadiran yang tidak benar-benar hadir secara fisik namun bisa mengganggu kehidupan seseorangz Seperti perudungan atau cyber bullying. Sehingga, di sini kita benar benar perlu membatasi kata-kata yang kita gunakan agar tidak menyakiti orang lain. Ingat memfitnah lebih kejam daripada pembunuhan.

Di sini menurut saya masyarakat tidak dibungkam, namun harus ada suatu kebijakan yang membatasi bahasa yang mereka gunakan dan sadar diri harus sejauh mana mereka mengomentari sesuatu, jangan lupa untuk selalu mencari tahu terlebih dahulu akar masalahnya sebelum berbicara mengenai sesuatu, jangan langsung berpindah berasumsi bahwa kita dibungkam. Jadikan itu untuk evaluasi ke depannya dan bagaimana hati nurani kita bekerja di era sekarang ini

  1. https://m.kumparan.com/velisia-natalie/pisau-bermata-dua-dalam-hak-asasi-manusia-distorsi-arti-demokrasi-1uTQD5VrFyI/full (Artikel ditulis oleh saya sendiri)

Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang merupakan bentuk formal dari sebuah sistem dengan tujuan memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

Benar sekali harus ada batasan dan indikator untuk kebebasan berpendapat. Sebenarnya kita bebas berpendapat , namun tidak bebas menggunakan kata-kata yang kita gunakan. Ada beberapa kata-kata yang tidak sesuai dengan etika, dan UU ITE ini dapat membatasi masyarakat akan hal tersebut, apalagi via media elektronik. Jika masyarakat mengomentari anonymous/ tanpa nama, maka mereka akan merasakan power yang lebih besar dan komentarnya akan lebih menyakitkan sehingga UU ITE ini perlu sekali.