Benarkah Pemberian Aripiprazole Sekali Sebulan Efektif pada penderita Bipolar Disorder?

Aripiprazole, obat antipsikotik dalam bentuk injeksi yang long-acting, ternyata aman dan efektif untuk terapi kelola Bipolar I Disorder bila diberikan sebulan sekali, menurut hasil studi acak selama 52 minggu.

“Studi tersebut menunjukan bahwa pemberian aripiprazole sebulan dapat menunda rekurensi kedua episode mood secara signifikan pada pasien yang mengalami episode manik saat skrining,” kata dr. Joseph Calabrese, ketua program Mood Disorder di University Hospitals Case Medical Center, Case Western Reserve School of Medicine di Cleveland, Ohio, Amerika Serikat.
“Penemuan ini mendukung potensi aripiprazole sebagai terapi pengelolaan sebulan sekali untuk pasien dewasa dengan Bipolar I disorder.”

Penemuan ini dipublikasi online pada 31 Januari 2017 pada Journal of Clinical Psychiatry.

Mengingat bahwa tingkat ketidakpatuhan minum obat pada terapi Bipolar I disorder nyaris setinggi 80%, obat antipsikotik injeksi yang long-acting dinilai sangat penting untuk memperbaiki terapi, menurut peneliti.
Saat ini, satu-satunya obat antipsikotik injeksi long-acting untuk Bipolar I Disorder yang telah lolos uji dari US Food and Drug Administration adalah risperidone. Terapi dengan risperidone membutuhkan injeksi setiap dua minggu sekali.

Berbagai studi randomisasi telah menunjukan bahwa aripiprazole 400 mg sebulan sekali memiliki efikasi pada terapi Schizophrenia.

Untuk mengevaluasi efikasi terapi Bipolar I Disorder, para peneliti menguji 266 partisipan pada beberapa tempat di tujuh negara dari Agustus 2012 hingga April 2016. Partisipan berusia 18-65 tahun dan telah didiagnosis dengan Bipolar I Disorder.

Pada studi, para partisipan tengah mengalami episode manik, sesuai dengan kriteria diagnosis DSM 1V, dan memiliki skor Young Mania Rating Scale sebesar 20 atau lebih.

Kondisi partisipan telah distabilisasi dengan aripiprazole oral. Pasien-pasien tersebut secara acak dan double-blind dibagi 1:1 untuk menerima terapi aripiprazole 400 mg sebulan sekali atau dengan placebo.
Dari sejumlah partisipan, 102 (38,3%) menyelesaikan studi 52 minggu, termasuk 48,1% dalam kelompok aripiprazole dan 28,6% dalam kelompok placebo.

Pengukuran keluaran yang diharapkan adalah waktu rekurensi episode mood setelah gejala telah stabil dengan pemberian aripiprazole sebulan sekali selama delapan minggu atau lebih secara berturut-turut.
Waktu rekurensi ditemukan lebih tertunda secara signifikan pada kelompok aripiprazole dibandingkan dengan kelompok placebo (P<0,0001). Risiko rekurensi episode mood juga dinilai berkurang nyaris sebesar setengahnya dengan aripiprazole.

Proporsi pasien yang mengalami rekurensi episode mood lebih rendah secara signifikan pada kelompok aripiprazole (35 dari 132) dibandingkan dengan kelompok placebo (68 dari 133).

Derajat keparahan gejala mania, dinilai dengan YMRS pada minggu ke-52, menurun pada kelompok aripiprazole, dengan rerata skor 3,95 pada kelompok aripiprazole dan 7,99 pada kelompok placebo. Selisih rerata total skor YMRS dari awal ke minggu 52 adalah -3,09 vs. -1,17 pada masing-masing kelompok (P = 0,002).

Meski tidak ada perbedaan antar kedua kelompok pada rekurensi episode depresi, namun peneliti juga mencatat tidak ada peningkatan pada episode depresi.

“Penemuan ini kontras dengan antipsikotik tipikal yang efektif dalam menurunkan rekurensi episode manik, namun meningkatkan jumlah episode depresif,” lapor mereka.

dr. Calabrese mencatat bahwa aripiprazole oral tidak diindikasikan untuk terapi depresi yang diasosiasikan dengan Bipolar I Disorder dan bahwa hasil dengan aripiprazole sebulan sekali konsisten dengan hasil bentuk oral.

Kedua kelompok mirip dalam segi penggunaan bersama anticholinergic (18% di kelompok aripiprazole vs. 14,3% kelompok placebo) dan benzodiazepine (27,8% aripiprazole vs. 24,1% placebo).

Selama fase stabilisasi, 291 (68,5%) dari 425 pasien menerima terapi aripiprazole sebulan sekali mengalami adverse event, dengan 8,5% mangalami satu atau lebih event yang serius, 6,6% mengalami satu atau lebih event yang parah, dan 8,7% mengalami event yang menyebabkan penghentian terapi.

Angka adverse event yang muncul pada insiden lebih dari 5% lebih tinggi pada kelompok aripiprazole. Event ini termasuk peningkatan berat badan, akathisia, insomnia, dan kecemasan.

Rerata peningkatan berat badan rendah pada kedua kelompok, dengan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok.

Salah satu kekurangan dari studi adalah ada kemungkinan pasien pada kelompok placebo mengalami adverse event karena penghentian terapi aripiprazole long-acting yang diberikan pada fase stabilisasi.

Efikasi pada aripiprazole injeksi long-acting ditemukan konsisten dengan efikasi aripiprazole oral pada terapi Bipolar I Disorder. Hasil efikasi juga konsisten dengan hasil efikasi injeksi risperidone dua kali per bulan, catat peneliti.

Meski terlihat sebagai solusi yang berguna untuk mencegah ketidakpatuhan terapi, injeksi long-acting tidak umum digunakan seperti yang diharapkan, kata dr. Michael Thase, dosen psikiatri dan ketua program Mood Disorder pada University of Pennsylvania’s Perelman School of Medicine, di Philadelphia, Pennsylvania, AS.

Salah satu alasannya adalah pada psikiatri, praktik rawat jalan biasanya tidak memiliki kapasitas untuk menyediakan injeksi atau menyimpan obat secara mandiri. Sebagai hasilnya, pasien perlu membuat janji temu pada pusat kesehatan.

Selain itu, pasien dapat memiliki stigma tersendiri dengan menggunakan terapi injeksi, jelas dr. Thase.

“Dapat muncul perasaan hilangnya kendali atas kesehatan diri sendiri,” menurut Beliau. “Perasaan memiliki kendali lebih besar bila pasien tahu ia dapat menghentikan obat kapanpun.”

Namun dengan efek merugikan berupa relapse pada pasien tidak patuh terapi, termasuk rawat inap atau bahkan bunuh diri, antipsikotik injeksi long-acting dapat menjadi solusi yang menarik bagi pasien dan petugas kesehatan pada beberapa kasus, catat Beliau.

“Melihat pentingnya kepatuhan terapi dalam mencegah risiko relapse, kita harus terbuka pada kemungkinan perbaikan dengan terapi long-acting yang tersedia untuk kita,” kata dr. Thase.

Diterjemahkan: Medscape.com
Sumber gambar: HealthStatus.com

3 Likes