Benarkah Masyarakat Kita Makin Apatis?

PicsArt_08-18-05.29.42

Masyarakat Indonesia sejak dahulu dikenal ramah dan saling peduli. Salah satu budaya yang kental dengan Indonesia adalah kebiasaan gotong royong masyarakat. Namun, seiring dengan kemudahan teknologi dan komunikasi yang mendekatkan dengan relasi yang jauh, masyarakat makin jauh dengan relasinya yang dekat. Terlebih di masa pandemi ini, saat sekadar berbincang santai dengan tetangga pun sulit.

Fenomena yang marak kini adalah masyarakat memilih meninggalkan kebudayaan asli Indonesia dianggap terlalu kolot dan rumit. Kemudian, kebudayaan bergeser ke kebudayaan yang sedang trend dilakukan oleh masyarakat global karena dianggap lebih keren dan sederhana.

Perubahan sosial pun tak dapat dipungkiri. Budaya Indonesia yang dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan bergeser ke budaya barat yang lebih individual.

Terjadi kemerosotan budaya gotong royong yang mulai akut, mulai dari masyarakat perkotaan sampai merambah pada masyarakat pedesaan. Masyarakat desa yang terkenal dengan nilai-nilai kesopanan, tata krama, kekeluargaan, kebersamaan, dan nilai-nilai luhur lainnya perlahan mulai tidak terlihat lagi.

Setujukah Youdics bahwa pandemi dan perkembangan teknologi dapat memudarkan rasa peduli dan menjadikan masyarakat lebih apatis? Ataukah budaya keramahan Indonesia masih terasa di lingkungan sekitar Youdics ? Lalu, bagaimana ya, agar budaya kita ini bisa tetap lestari?
Yuk sampaikan pendapatmu!

Referensi
Nafisah, A. (2020). TRANFORMASI BUDAYA GOTONG ROYONG DI ERA GLOBALISASI PADA MASYARAKAT PULAU BAWEAN. Kajian Moral dan Kewarganegaraan , 8 (2), 383-400.

Konteks ini menuju kepada sikap peduli antar sesama.

Indonesia dikenal sebagai negara dengan masyarakatnya yang sangat ramah. Masyarakat Indonesia mudah tersenyum, senang bergotong royong, dan saling toleransi satu sama lainnya. Itulah negara Indonesia kita tercinta ini.

Namun, pertanyaan yang dilontarkan adalah benarkah masyarakat saat ini sedang apatis akibat perkembangan teknologi dan pandemi covid-19?

Maka jawaban yang saya berikan adalah tidak setuju atas pertanyaan diatas.
Pertanyaan diatas tidak bisa dijawab dengan pandangan mata sekilas bahwa masyarakat Indonesia semakin apatis. Hal ini dikarenakan masih banyak orang yang berhati baik diluar sana.

Diluar sana masih banyak orang-orang yang baik. Masih banyak warga negara Indonesia yang peduli satu sama lain. Contoh dalam skala kecil adalah beberapa waktu yang lalu masyarakat Indonesia sedang dalam masa pandemi, masyarakat sedang susah baik dari segi ekonomi, maupun kesehatan. Banyak sekali organisasi peduli masyarakat yang membuka open donasi yang jangkauannya nasional baik donasi berupa masker, sembako, maupun uang tunai. Kemudian hasil donasi tersebut diberikan kepada pihak yang berhak menerima. Pemanfaatan teknologi seperti membuka open donasi tersebut adalah bentuk kepedulian antar sesama, meskipun perkembangan teknologi semakin canggih.
Kemudian, untuk gotong royong masih banyak ditemukan di daerah Indonesia. Pasalnya, gotong royong adalah program kerja wajib disetiap kelurahan yang dilakukan sebulan dua kali umumnya.
Beberapa waktu yang lalu juga, Indonesia berulang tahun kemerdekaan yang ke 76. Perlombaan umumnya dilakukan setiap hari kemerdekaan Indonesia. Balap karung, tarik tambang, lomba lari dan panjat pinang adalah lomba yang sering dilakukan pada saat 17-san. Namun pada tahun ini masih dalam pandemi maka perlombaan diadakan dalam bentuk gotong royong disetiap lingkungan kelurahan. Lingkungan terbersih akan mendapat hadiah. Ini adalah bentuk inovasi meskipun dalam masa pandemi, masyarakat Indonesia dapat saling bergotong royong untuk membersihkan lingkungannya. Selain lingkungan bersih, hal ini menambah rasa persatuan dan kerukunan antar warga.

Maka, kesimpulannya saat ini negara Indonesia masih layak menyandang sebagai negara yang mempunyai warga yang ramah, peduli, dan saling toleransi. Meskipun saya juga setuju, apabila diluar sana ada yang bersikap apatis. Namun, hal ini bukan tolak ukur bahwa sepenuhnya saat ini masyarakat kita semakin apatis seperti pertanyaan yang dilontarkan. Perkembangan teknologi yang semakin canggih dalam masa pandemi sekalipun dapat kita manfaatkan, seperti open donasi online yang jangkauannya nasional bahkan internasional dikarenakan sistem online yang tidak ada batasan jarak penggunanya.

Maka, satu kesalahan saja jangan lupakan seribu kebaikan. Hal ini lah cerminan masyarakat Indonesia saat ini. Meskipun ada yang bersikap apatis, jangan lupakan jutaan orang yang mempunyai hati yang baik.

Dalam kondisi seperti diskusi ini, maka menurut saya melestarikan budaya ramah Indonesia adalah dengan cara sebagai berikut :

  1. Gunakan teknologi untuk hal-hal yang positif
  2. Jadikan kesulitan sebagai kekuatan.
  3. Saring budaya kebarat-baratan.
  4. Selalu ingat semboyan Indonesia ā€œBerbeda -beda namun tetap satu juaā€
  5. Ciptakanlah dimulai dari diri sendiri yaitu rasa cinta terhadap sesama, bangsa, dan negara.
  6. Pemerintahan baik pusat dan daerah harus gencar menggalakkan program kerja yang meningkat persatuan, contohnya seperti gotong royong yang telah dijelaskan diatas.
1 Like

Betul sekali, kita tidak bisa melontarkan begitu saja mengenai pernyataan bahwa masyarakat kita semakin apatis. Meskipun banyak orang tak begitu peduli dengan keadaan sekitar namun benar seperti apa yang dikatakan sebelumnya bahwa masih banyak orang yang memiliki hati baik dan memiliki kepedulian yang tinggi.
Seperti yang ada pada lingkungan saya sendiri budaya kita ini ternyata masih sangat terasa dan terjaga dengan baik. Banyak orang yang masih peduli meskipun dimasa pandemi seperti sekarang. Seperti dalam kegiatan menyambut kemerdekaan kemarin, salah satunya banyak yang melakukan kegiatan gotong royong dalam menghias lingkungan
Disini kita hanya perlu saling mengingatkan dan meningkatkan rasa peduli yang ada di masyarakat, sehingga budaya yang ada pada kita tidak memudar begitu saja hanya karena pandemi dan teknologi yang semakin canggih.
Pada lingkungan saya sendiri budaya tersebut ternyata masih kental dan masih terjaga dengan baik.

1 Like

Sebenarnya ini tergantung idealisme dan ideologi masing-masing.

Sama seperti mahasiswa fakultas kedokteran, mereka selalu dicap ā€˜apatisā€™ oleh fakultas lain, karena tidak pernah peduli atau berpartisipasi dalam acara-acara besar kampus. Namun, di baliknya, sebenarnya mereka ingin sekali ikut, tetapi jadwal kampus dan perkuliahan yang berat membuat mereka tidak punya pilihan lain. Akhirnya kembali lagi ke tujuan mereka kuliah adalah untuk menjadi dokter, bukan menjadi ketua panitia dalam suatu acara. Orangtua mereka membiayai mereka untuk jadi dokter, bukan untuk mengadakan acara tertentu.

Atau seperti beberapa orang yang terkesan ā€˜sibukā€™ dan sulit dihubungi. Mungkin dia punya keluarga yang harus dia beri makan, jadi pekerjaan adalah prioritasnya. Bukannya tidak mau membantu, namun kita punya daftar prioritas masing-masing. Dia punya keluarga juga, dan keluarga nomor satu.

Mahasiswa juga awal masuk kampus pasti memiliki idealisme yang tinggi untuk membantu sesama dan merampungkan ide-ide cemerlang untuk masyarakat. Namun kelamaan, idealisme itu akan hilang karena mereka harus menghadapi kehidupan mereka sendiri yang tidak selalu berjalan mulus. Beberapa hal pun terbengkalai.

DI sini bukannya saya bermaksud untuk mementingkan diri sendiri, tetapi jangan terlalu baik. Ingat prioritas masing-masing. Menurut saya, budaya gotong-royong ini masih berlaku namun tidak terekspos. Saya sendiri dan lingkungan daerah saya masih tidak ada sungkan-sungkannya kalau meminta tolong, karena kami semua dekat, namun ada etika yang harus dijaga dan balas budi jika sudah ditolong. Ini lebih ke kesadaean diri sendiri.

Perkembangan teknologi yang diperdebatkan saat ini menurut saya kurang tepat. Contohnya adalah selebgram-selebram Indonesia saat ini banyak yan menggalang dana bagi para tenagah kesehatan dan membantu untuk membasmi COVID-19. Jika tidak ada teknologi, bagaimana hal itu bisa terjadi? Bagaimana jika dalam satu daerah rakyatnya kondisi ekonominya menengah ke bawah semua? Tentunya tidak akan terjangkau secara offline atau tanpa teknologi, pendistribusiannya juga susah. Di media sosial juga banyak yang melakukan open recruitment untuk relawan danyang mendaftar atau tahu informasinya tidak sedikit. Sehingga, menurut pandangan saya, masih banyak masyarakat Indonesia yang tergerak ingin membantu dan teknologi justru memudahkan hal itu terjadi.

Maka dari itu, tidak sebaiknya kita asal mencap bagaimana orang itu tampak di luar. Kita juga haruus mengambil sisi positif dari media dan bagaimana itu secara signifikan mempengaruhi kediupan kita untuk lebih baik.

1 Like

Untuk apatis sendiri memiliki definisi sikap tak acuh atau tidak peduli terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitar. Jika masyarakat apatis, tidak ada yang berdonasi atau menjadi relawan pada masa pandemi ini. Belum lagi yang rela menutup usahanya dan merugi demi kesehatan pegawai ataupun orang-orang sekitarnya.

Memang sekarang masyarakat terlihat apatis karena tidak ada yang menyatukan mereka semua, tidak ada maslaah besar yang mempengaruhi satu negri sehingga masyarakat yang peduli tidak ā€œterlihatā€. Istilahnya pemersatu bangsa, senasib sepenanggungan.

Sedangkan keadaan Indonesia sekarang akibat pandemi cukup memprihatinkan, dan keadaan memaksa kita untuk bergotong-royong menuju pemulihan. Sehingga muncul bibit-bibit orang yang peduli untuk turut serta turun membantu meredakan pandemi ini. Jika masyarakat dicap apatis, tidak ada relawan atau pun orang-orang yang bersedia menaati PPKM agar tidak menyebar ke orang lain.

1 Like

Menurut saya, untuk saat ini jika masyarakat dikatakan apatis itu tergantung pada hal apanya. Karena jika dilihat dari nilai sosial dan ekonomi, masih banyak masyarakat sekarang yang justru lebih aktif dalam memberikan kepedulian terhadap masyarakat yang terdampak Covid -19. Mereka berlomba-lomba memberikan kepedulian terhadap orang yang membutuhkan dengan berbagai cara, meski kebanyakan kepedulian mereka juga sekaligus dijadikan konten. Tapi dengan adanya konten juga membuat motivasi kepada masyarakat agar tidak apatis terhadap lingkungan sosial di masa pandemi ini.

Namun, memang ada saja beberapa dari masyarakat yang mulai luntur nilai-nilai kesopanannya, kekeluargaannya, serta kebersamaannya. Hal itu, memang dapat dikatakan massyarakat semakin apatis. Tetapi seiring berjalannya waktu dan jika pandemi ini sudah usai, pasti semua budaya yang yang memiliki nila luhur akan tumbuh dan berkembang kembali.

Sebagai masyarakat yang baik, sebaiknya seperti apapun keadaan yang kita hadapi dan secanggih apapun teknologi yang berkembang. Kita harus tetap menjaga nilai-nilai luhur yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Kita juga harus selalu tetap peduli terhadap lingkungan, dimulai dari peduli terhadap diri sendiri, keluarga, tetangga, hingga orang yang benar-benar mebutuhkan kepedulian kita.