Benarkah kita harus mengikuti kata hati?

Tidak jarang nasihat yang saya terima saat menghadapi dilema dalam mengambil sebuah keputusan adalah “Udahlah, ikuti kata hatimu aja”. Sampai hari ini sejujurnya saya belum memahami kearifan dari nasihat tersebut. Kalau yang dimaksud dengan mengikuti kata hati dalam pengambilan keputusan adalah mengikuti kemana condongnya hati kita saat itu, sesungguhnya itu cukup ambigu.

Apa yang keluar dari hati manusia adalah rasa, bukan sesuatu yang terukur rasionya. Rasa bisa berubah-ubah tergantung situasi dan kondisi. Kecondongan saya pada keputusan A bisa berubah ke keputusan B, bahkan dalam hitungan menit. Inkonsistensi ini, menurut saya, membuat validitas dari keputusan yang diambil dengan mengikuti kata hati patut dipertanyakan. Lain halnya dengan penarikan keputusan dari logika yang runutan berpikirnya dapat ditinjau. Logika yang benar akan menghasilkan kesimpulan yang benar pula.

Itu tadi pendapat saya. Bisa jadi saya salah menerjemahkan apa yang dimaksud dengan mengikuti kata hati tadi. Tapi kalau definisi saya benar, masihkan kita perlu mengikuti kata hati?

6 Likes

Benar atau tidaknya menurut saya tergantung, kata hati mungkin bisa salah. Oleh karenanya perlu juga dipertimbangkan dengan akal dan logika untuk lebih tepatnya. Silahkan dikoreksi, terima kasih …

3 Likes

Nah, bagian tergantung itu yang saya pertanyakan kak. Saya percaya ada pertimbangan yang tidak bisa sekedar mengandalkan logika. Tapi, kata hati seperti apa yang patut diikuti dan tidak diikuti? Maksud saya, tidak ada inditor konkrit mengenai kata hati yang salah dan benar. Jadi bagaimana kita bisa tau?

4 Likes

Saya mengerti mungkin kata hati dibutuhkan. tiap tiap kata hati pasti perlu di saring jika seperti ini. Nah tika kata hati itu bertolak belakang dengan pemikiran kita itu sendiri, itulah langkahnya memilih - untuk mengikuti kata hati atau logika

Kita tidak tau benarnya/salahnya kata hati. Nah makanya saya sebutkan tadi :

Dan dari ketidakpastian inilah kita memakai logika sebagai acuan lain dari pemikiran kita.

4 Likes

Menurut saya itu sangat benar. Apabila mau disadari di masyarakat kita terdapat program yang membuat manusia seakan-akan selalu bertindak menggunakan otak saja. Sedari kecil kita diajarkan untuk berpikir menggunakan otak. Bahkan hingga kini ketika berbuat salah kita sering dikira tidak berpikir pakai otak. Padahal sebenarnya otak, akal, pikiran, bukan bagian satu-satunya untuk kita bereaksi dan berperilaku atas reaksi tersebut. Bahkan sebenarnya akal adalah bagian kedua yang harus kita gunakan saat ingin memutuskan melakukan sesuatu. Hati adalah bagian terpenting yang harus kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.

2 Likes

Pendapat @veronikasianturii menunjukan bahwa memang dibutuhkan berbagai aspek dalam berpikir terutama pada pengambilan keputusan, sebab pada ujung pemikiran adalah pengambilan keputusan.

Salah satu fungsi berpikir adalah menetapkan keputusan. Rakhmat (2007)

Saya menilik pada topik Apa yang dimaksud dengan logika dalam berpikir logis? dan yang seya temukan bahwa berpikir menggunakan logika dapat menghasilkan keputusan yang objektif. Ketika berpikir menggunakan hati, hasil keputusan lebih subjektif. Namun hal tersebut bukan berarti hal negatif karena bahkan dalam teori pengambilan keputusan (decision making) dijelaskan bahwa terdapat dasar-dasar pengambilan keputusan seperti: Intuisi, pengalaman, fakta, wewenang, dan rasional.

Kesimpulannya, tidak ada benar atau salah dalam mengikuti kata hati. Sebab tidak ada tolak ukur bagaimana sebuah keputusan dianggap benar atau salah yang bisa terlihat adalah dampaknya baik atau buruk. Kalau dampak pengambilan keputusan lebih cenderung pada ketimpangan atau ketidaksesuaian mungkin kita saja yang keliru…

Referensi

Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosdakarya

1 Like

menurut pendapat saya, pendapat hati dan pendapat logika kita harus selalu sejalan dalam menghadapi atau memutuskan suatu hal, dan benar menurut pendapat anda bahwa jika kita hanya mengikuti pendapat hati saja itu agak ambigu, karena kita tidak memikirkan pendapat rasional dalam diri kita, tetapi bukan tidak boleh mengikuti kata hati, karena dalam keadaan-keadaan tertentu yang berkaitan dengan perasaan ataupun hal lain hati dan perasaan pun bisa menjadi jawaban atas masalah atau keputusan kita

1 Like

Menurut saya, hati adalah kompas moral yang paling jujur. Apabila kebimbangan yang dirasakan menyoal pada nilai, maka kata hati adalah suara dominan yang sangat penting untuk didengarkan.

Tapi lain halnya jika masalah yang dihadapi berkaitan dengan masalah lain yang faktor pertimbangannya mengacu pada rasio dan logika. Justru dalam masalah ini perasaan tidak seharusnya dijadikan hakim yang mengambil keputusan karena dalam banyak kasus perasaan malah menjadikan pandangan semakin bias.

Berdasarkan apa yang saya ketahui, bahwasannya mengikuti kata hati adalah ketika kita melakukan suatu hal tersebut akan membuat hati kita tenang dan damai. Pada hakikatnya, hati nurani manusia akan selalu mengarah pada hal yang baik. Jadi, apabila kita melakukan suatu hal yang buruk dan kita tidak tenang dengan itu, maka hal tersebut memang normal adanya. Karena nurani manusia memang mengembalikan diri manusia sebagaimana fitrahnya.

Contoh lain, ketika kamu ingin memilih jurusan kuliah. Orangtuamu mempunyai pilihan sendiri untukmu tetapi kamu tidak interest disana, dan kamu juga sudah punya pilihan sendiri berdasarkan potensi yang telah kamu miliki dan ketertarikan untuk mempelajari di bidang tersebut. Maka apabila kamu merasa tidak tenang ketika mengikuti keinginan orang tua, maka lebih baik kamu diskusikan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Pentingnya diskusi dan menyampaikan pendapat, agar hatimu lebih tenang tanpa ada peasaan yang terpendam.

Namun jangan disalahartikan, mengikuti kata hati yaitu dengan megikuti “perasaan” tanpa mempertimbangkan logika dan akal. Karena perasaan itu akan menjadi subjektif dan cenderung berasal dari hawa nafsu manusia. Tetaplah bersikap objektif dan ikuti kata hatimu yang menuntunmu pada sebuah kebenaran dan ketenangan.

1 Like

Sepakat dengan pendapat @Ariana_Belle kita memang boleh sekali mengikuti kata hati, karena terkadang salah satu jawaban terbaik menurut Allah biasanya diketahui dari perasaan diri sendiri. Namun yang perlu diperhatikan dan digaris bawahi adalah logika dan akal tetaplah digunakan, jangan sampai mengikuti kata hati secara gegabah tanpa berfikis logis. Hal tersebut malah akan berdampak kurang baik untuk dirik kita sendiri.

Saat kita mengikuti kata hati, perlu adanya memertimbangkan hal-hal yang ada untuk mengantisipasi kecerobohan kita dalam sebuah pemilihan. Pahamilah kebaikan, kekurangannya maupun dampaknya ketika mengikuti kata hati. Jangan sampai ada penyesalan yang nantinya berdampak pada orang lain.

Misalnya ketika memilih pasangan yang nantinya akan hidup bersama dalam jangka waktu yang cukup panjang, kita tidak boleh hanya mengandalkan untuk mengikuti kata hati. Rasional logika dan akal harus digunakan juga, kira-kira nantinya apakah kita sanggup menerima kurang lebihnya dll. Cocok atau tidak ia dengan kepribadiaan kita, selain hati nyaman otak juga harus digunakan tidak hanya hati dan perasaan saja.

1 Like

Saya sendiri termasuk cukup sering mengikuti “kata hati” dalam pengambilan keputusan, termasuk keputusan mengambil pekerjaan saya yang sekarang ini. Namun, perlu ditekankan bahwa “mengikuti kata hati” ini selalu jadi proses akhir atau final untuk mengambil keputusan tersebut, yang jelas proses sebelumnya adalah pertimbangan berdasarkan logika. Sering kali, pilihan-pilihan yang tersaji dirasa seimbang ketika diperhitungkan berdasarkan logika, baik dari kebaikan maupun risikonya. Nah, ketika dirasa seimbang inilah maka keputusan terakhir ditentukan berdasarkan “kata hati”.

Bagi saya, jika untuk kepentingan pribadi, kata hati adalah tuntunan paling ‘aman’ ketika sedang berada dalam dilema. Mengikuti kata hati sejauh ini menurut saya bisa menghindarkan diri dari “penyesalan” di kemudian hari. Namun, perlu diingat bahwa logika juga harus selalu diikutsertakan agar keputusan mengikuti kata hati tidak berbuah jadi sebuah “kegegabahan”.

Akan tetapi, jika keputusan yang akan diambil adalah kepentingan bersama atau akan berdampak pada orang banyak, saya pikir lebih baik mengedepankan mana pilihan paling baik berdasarkan logika (misalnya yang paling minim risikonya), sekalipun harus bertentangan dengan kata hati sendiri.

1 Like

Menurut saya mengambil keputusan sesuai kata hati memang diperlukan agar kita bisa mempertanggung jawabkan keputusan itu terhadap diri kita sendiri. Terlebih kemungkinan mengikuti kata hati akan mebuat kita lebih bahagia dan enjoy dalam menjalani keputusan yang diambil. Tetapi tidak semua kondisi kita dapat mengandalkan kata hati, terkadang kita juga harus mengandalkan logika dan pertimbangan lainnya agar tidak salah mengambil tindakan.

Apalagi jika keputusan yang kita ambil tersebut juga berdampak bagi orang lain terutama orang-orang terkasih kita. Maka tentu saja kita harus mempertimbangkan pendapat mereka agar keputusan tersebut tidak merugikan.

Mengikuti kata hati adalah suatu konsep yang kompleks dan dapat diinterpretasikan berbeda oleh setiap individu. Beberapa orang meyakini bahwa mengikuti kata hati adalah kunci untuk menemukan kebahagiaan dan makna hidup, sementara yang lain mungkin berpendapat bahwa keputusan yang lebih rasional dan terencana lebih penting. Untuk menjelaskan mengapa kita harus mengikuti kata hati, mari kita telaah beberapa argumen yang mendukung pandangan ini.

Pertama, mengikuti kata hati dianggap sebagai cara untuk hidup secara autentik. Ketika kita mendengarkan dan menghargai apa yang benar-benar kita rasakan di dalam, kita cenderung hidup sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan pribadi. Ini dapat menciptakan rasa kepuasan dan keberhasilan yang lebih besar daripada mencoba memenuhi harapan orang lain atau mengikuti arahan yang mungkin tidak sesuai dengan diri kita.

Kedua, kata hati sering kali dianggap sebagai panduan internal yang dapat membimbing kita melalui keputusan-keputusan sulit. Dalam situasi di mana logika dan emosi bertentangan, mengikuti kata hati dapat membantu menciptakan keseimbangan yang memadai. Ini tidak berarti mengabaikan pertimbangan rasional, tetapi lebih kepada menghormati intuisi dan perasaan batin yang seringkali memberikan wawasan yang berharga.

Selain itu, mengikuti kata hati dapat memberikan keberanian untuk mengejar impian dan tujuan hidup yang mungkin terasa sulit atau tidak realistis. Keberanian untuk mengejar passion dan keinginan pribadi sering kali merupakan kunci untuk mencapai kehidupan yang bermakna. Ini dapat menciptakan rasa kepuasan yang dalam dan kebahagiaan yang berkelanjutan.

Namun, penting juga untuk diingat bahwa mengikuti kata hati bukanlah alasan untuk bertindak tanpa pertimbangan atau tanggung jawab. Keputusan yang dilandaskan pada kata hati juga harus sejalan dengan nilai-nilai moral dan etika. Kesadaran akan dampak keputusan kita terhadap diri sendiri dan orang lain tetap penting.

Dalam beberapa kasus, mengikuti kata hati dapat menghadirkan tantangan dan risiko. Terkadang, keputusan yang didasarkan pada emosi dapat membutuhkan kematangan diri dan kemampuan untuk menerima konsekuensi yang mungkin timbul. Oleh karena itu, proses mengikuti kata hati juga melibatkan keterampilan dalam mengelola dan memahami emosi secara sehat.

Dalam kesimpulannya, mengikuti kata hati dapat menjadi landasan untuk hidup yang autentik, memandu kita melalui keputusan-keputusan sulit, memberikan keberanian untuk mengejar impian, dan menciptakan kebahagiaan yang lebih dalam. Meskipun bukan satu-satunya faktor yang perlu dipertimbangkan dalam membuat keputusan, memahami dan menghormati kata hati kita dapat membawa kita pada perjalanan kehidupan yang lebih memuaskan dan bermakna.

Mengikuti kata hati sering kali dianggap sebagai pendekatan yang didasarkan pada intuisi ketimbang logika.

Pendapat @AlphaCygni menyoroti dilema antara mengandalkan intuisi versus logika dalam pengambilan keputusan, yang merupakan topik yang telah lama dibahas dalam berbagai disiplin ilmu, dari psikologi hingga filsafat.

Kedua pendekatan ini memiliki perannya masing-masing dalam proses pengambilan keputusan, dan menggabungkannya dapat memberikan hasil yang lebih seimbang.

Intuisi dan Logika

Intuisi, atau yang sering disebut sebagai “mengikuti kata hati,” adalah proses pengambilan keputusan yang cepat dan tidak sepenuhnya sadar, yang didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan yang telah terakumulasi. Intuisi sering kali muncul dalam bentuk “perasaan” atau “gut feeling” tentang suatu keputusan. Di sisi lain, logika adalah proses pengambilan keputusan yang lebih terstruktur dan analitis, yang melibatkan evaluasi fakta dan bukti secara rasional.

Kelebihan dan Kekurangan Intuisi

Kelebihan utama dari intuisi adalah kecepatan dan kemudahannya. Intuisi memungkinkan kita untuk membuat keputusan dengan cepat, terutama dalam situasi yang memerlukan respons segera atau ketika data yang tersedia terbatas. Ini juga dapat menjadi sumber inovasi dan kreativitas. Namun, kekurangannya, seperti yang Anda sebutkan, adalah intuisi dapat menjadi inkonsisten dan dipengaruhi oleh bias subjektif atau emosi.

Kelebihan dan Kekurangan Logika

Sebaliknya, keputusan yang diambil melalui proses logika sering kali lebih konsisten dan dapat dijelaskan. Proses ini memungkinkan untuk evaluasi mendalam dari semua pilihan dan konsekuensinya, mengurangi risiko keputusan yang tergesa-gesa. Namun, kelemahannya adalah proses logika bisa menjadi lambat dan memakan waktu, terkadang menyebabkan kehilangan peluang penting atau ketidakmampuan untuk bertindak dalam situasi yang memerlukan keputusan cepat.

Menggabungkan Intuisi dan Logika

Menggabungkan intuisi dan logika dalam pengambilan keputusan mungkin memberikan pendekatan yang lebih seimbang. Dalam banyak situasi, logika dapat digunakan untuk menganalisis informasi dan opsi yang tersedia, sementara intuisi dapat membantu dalam memutuskan di antara opsi yang secara logis tampak sama atau ketika waktu adalah esensi.

Daniel Kahneman, pemenang Hadiah Nobel dalam Ekonomi, dalam bukunya “Thinking, Fast and Slow,” menjelaskan dua sistem pemikiran yang bekerja dalam proses pengambilan keputusan: Sistem 1, yang cepat, instingtif, dan emosional (mirip dengan intuisi); dan Sistem 2, yang lebih lambat, lebih deliberatif, dan lebih logis.

Kahneman menyarankan bahwa meskipun kedua sistem ini memiliki peran mereka masing-masing, penggunaan yang sadar dan kritis dari kedua sistem ini dalam pengambilan keputusan dapat membantu mengurangi kesalahan dan meningkatkan hasil.

Mengikuti kata hati tidak harus berarti menolak logika sepenuhnya. Sebaliknya, itu bisa berarti memperhatikan dan menghargai peran intuisi sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan yang lebih besar. Mengakui nilai kedua pendekatan ini dan belajar kapan harus menerapkan satu atau yang lain—atau keduanya secara bersamaan—dapat meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan dan membantu mencapai keputusan yang lebih baik dan lebih seimbang. Karena itu, meskipun ada kekhawatiran tentang inkonsistensi dan ambiguitas intuisi, mengikuti kata hati—dengan pemahaman yang mendalam tentang kekuatan dan keterbatasannya—masih menjadi nasihat yang berharga dalam banyak situasi.

Belajar dari Pengalaman


Terdapat banyak cerita nyata yang menggambarkan keberhasilan dan kegagalan dari pengambilan keputusan berdasarkan intuisi versus logika. Berikut ini adalah beberapa contoh dari dunia bisnis dan penemuan ilmiah:

Keberhasilan Berdasarkan Intuisi

Steve Jobs dan Apple

Steve Jobs sering kali mengutip intuisinya sebagai panduan dalam membuat keputusan bisnis dan produk. Salah satu contoh terkenal adalah peluncuran iPod. Di saat banyak yang meragukan keberhasilan produk musik digital, Jobs mengandalkan intuisinya bahwa orang akan menghargai desain yang sederhana, penggunaan yang mudah, dan kemampuan untuk membawa ribuan lagu dalam genggaman. Keputusan ini, yang lebih didasarkan pada intuisi daripada analisis pasar tradisional, membantu Apple menjadi pemimpin pasar dan mengubah industri musik.

Kegagalan Berdasarkan Intuisi

Decca Records Menolak The Beatles

Pada tahun 1962, label rekaman Decca Records membuat keputusan untuk tidak menandatangani kontrak dengan The Beatles, sebuah keputusan yang sebagian besar didasarkan pada intuisi eksekutif bahwa band tersebut tidak memiliki masa depan dalam musik. Keputusan ini menjadi salah satu keputusan bisnis paling terkenal yang gagal, mengingat The Beatles kemudian menjadi salah satu band paling sukses dalam sejarah musik.

Keberhasilan Berdasarkan Logika

Netflix Beralih ke Streaming

Netflix, di bawah kepemimpinan CEO Reed Hastings, membuat keputusan berbasis logika untuk beralih dari model bisnis penyewaan DVD melalui pos menjadi streaming video online. Keputusan ini didasarkan pada analisis data pelanggan dan tren teknologi, mengantisipasi pergeseran pasar ke arah konsumsi digital. Keputusan ini, yang pada awalnya dipandang berisiko, akhirnya menempatkan Netflix sebagai pemimpin di industri hiburan digital.

Kegagalan Berdasarkan Logika

New Coke
Pada tahun 1985, Coca-Cola mengganti formula Coke klasik dengan “New Coke” sebagai respons terhadap persaingan pasar dan hasil tes rasa yang menunjukkan preferensi konsumen terhadap rasa yang lebih manis. Keputusan ini didasarkan pada analisis data yang luas dan logika pemasaran yang solid. Namun, reaksi publik terhadap perubahan tersebut sangat negatif, mengakibatkan kerugian besar bagi perusahaan dan memaksa mereka untuk kembali ke formula asli. Kejadian ini menunjukkan bahwa bahkan keputusan yang didasarkan pada analisis logis yang cermat bisa gagal jika tidak mempertimbangkan faktor emosional dan psikologis konsumen.

Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa baik intuisi maupun logika memiliki tempatnya dalam pengambilan keputusan. Keberhasilan atau kegagalan keputusan sering kali tergantung pada banyak faktor, termasuk konteks situasi, informasi yang tersedia, dan kemampuan untuk menilai kapan harus mengandalkan satu pendekatan daripada yang lain.

Dari setiap cerita, kita belajar bahwa keseimbangan antara mendengarkan intuisi dan menerapkan logika analitis dapat membantu dalam membuat keputusan yang lebih informasi dan efektif.