Benarkah kampanye di tengah pandemi menandakan minimnya empati?

Gambarrr|690x300-350

Pilpres 2024 memang belum dimulai. Namun sejumlah politisi sudah mulai “memperkenalkan diri” ke masyarakat melalui baliho yang belakangan ini cukup banyak bertebaran di jalan. Tidak bisa dipungkiri, sebagai negara demokrasi, pilpres merupakan agenda yang penting. Tapi di saat bersamaan, kita masih berjuang dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang tak kunjung selesai.

Menurutmu, benarkah kampanye di tengah pandemi ini menandakan minimnya empati?

2 Likes

Memasang baliho dengan tujuan kampanye memang tidak dilarang, tapi memasangnya pada saat ini menjadi tidak tepat karena masyarakat sedang susah akibat pandemi Covid-19. Harga baliho yang lumayan memakan anggaran bisa dialokasikan untuk membantu masyarakat yang sedang keusahan, politisi seharusnya lebih bijak dalam mengambil keputusan. Para politisi ini sebaiknya fokus terhadap penanganan pandemi, fokus mementingkan kepentingan rakyat bukan memikirkan pemilu yang notabenenya masih beberapa tahun lagi. Memang terlihat sangat egois ketika disekitar kita sedang kalut menghadapi masalah kelaparan,ketimpangan pendidikan dan penanganan pandemi yang tidak ada habisnya tetapi para politisi malah sibuk kampanye, para politisi ini terlihat tidak memiliki empati sama sekali terhadap penderitaan yang rakyat rasakan selama ini.

Saya setuju akan pemasangan baliho oleh calon politisi menandakan minimnya empati dari calon politisi tersebut. Era pandemi seperti ini tidak dapat dipungkiri membuat masyarakat meragukan kinerja pemerintah yang tak kunjung berhasil menyelesaikan masalah pandemi secara efektif. Adanya pemasangan baliho calon politisi yang jauh lebih awal saat ini menunjukkan bahwa menduduki bangku politik dan menarik suara rakyat lebih penting daripada melayani rakyat itu sendiri. Selain itu, tidak ada relevansi antara pemasangan baliho lebih awal dengan situasi yang lebih genting saat ini yaitu penanganan Covid-19. Sebaiknya, berikan kontribusi nyata oleh calon politisi bagi masyarakat yang terdampak pandemi untuk menarik simpati rakyat dan meningkatkan bargaining serta personal branding.

Di tengah pandemi ini, banyak sekali rakyat yang merasakan dampaknya. Bahkan ada beberapa dari mereka yang untuk mendapatkan sesuap nasi saja sangat sulit. Rakyat yang kesulitan sedang menunggu empati dari para penguasa, bukannya baliho dengan janji-janji manis tanpa pembuktian. :frowning_face:

Mengenai beberapa politisi yang sudah memulai kampanye dengan memasang baliho, tentunya hal itu jelas sangat membuktikan bahwa mereka tidak memiliki empati. Padahal jika kita pikirkan, uang anggaran partai untuk menyebarkan baliho tidak berjumlah sedikit. Baliho tersebut hanya digunakan untuk memperkenalkan diri dan visi,misi mereka. Tidak berdampak pada menurunnya kasus Covid-19 dan tidak berdampak pada kemajuan perekonomian Indonesia. Pemasangan banyak baliho di tengah pandemi justru membuat kampanye mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi dan tidak mempedulikan kondisi rakyat.

2

Pendapat saya, lebih baik anggaran para politisi yang melakukan kampanye di tengah pandemi ini di salurkan kepada yang membutuhkan. Kalau urusan untuk mengumpulkan jumlah suara, para politisi tidak perlu khawatir karena masyarakat juga akan mengetahui mana calon pemimpin yang bersungguh-sungguh dapat mensejahterakan rakyatnya dan mana pemimpin yang hanya ingin mendapatkan jabatan.

Kampanye adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.

Pesan-pesan kampanye juga terbuka untuk didiskusikan, bahkan gagasan-gagasan
pokok yang melatarbelakangi diselenggarakannya kampanye juga terbuka untuk dikritisi.Keterbukaan seperti ini dimungkinkan karena gagasan dan tujuan kampanye pada dasarnya mengandung kebaikan untuk publik. Sebagian kampanye bahkan ditujukan sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umum (public interest).

Lalu benarkah kampanye di tengah pandemi menandakan minimnya empati?
Jawabannya adalah tergantung dari bentuk kampanye itu sendiri.

Tujuan dari kampanye itu dilakukan adalah untuk membangun citra positif lembaga di mata public sehingga muncul kepercayaan, penerimaan dan kesediaan public.

Apabila tidak dilakukan kampanye maka masyarakat pun akan tidak begitu mengenal para calon pemimpin yang akan dipilih nanti. Banyak juga masyarakat mengaku lebih mengenal calon pemimpin ( presiden ) lewat baliho di jalan-jalan, dan kehadiran mereka langsung ke rumah-rumah warga. Namun karena adanya pandemi ini disarankan agar kampanye dilakukan secara daring untuk menekan penyebaran virus corona.

Kampanye di tengah pandemi ini dilakukan dengan mengutamakan metode melalui media sosial dan media daring. Terlebih lagi KPU melarang kegiatan kampanye berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik, gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai, dan lain-lain.

Meskipun kampanye ini dilakukan dengan metode daring namun hal tersebut seharusnya tidak mempengaruhi hasil dari pemilihan suara nanti. Karena keberhasilan sebuah kampanye sangat dipengaruhi oleh kemampuan pelaku kampanye dalam merancang program dan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada. Hal ini sepenuhnya sejalan dengan pendapat Robert E. Simons (1990), professor komunikasi dari Universitas Boston-Amerika Serikat, yang menegaskan bahwa keberhasilan mencapai tujuan kampanye banyak ditentukan oleh kemampuan kita dalam merancang, menerapkan dan mengevaluasi program kampanye secara sistematis dan strategis.

Dengan kampanye daring ini menurut saya hal itu akan mengurangi dana yang digunakan dalam proses kampanye. Karena seperti yang kita tahu bahwa dana kampanye bersumber dari semua sumbangan dan sumber pendapatan diperoleh dari pihak publik. Sehingga apabila kampanye dilakukan hanya melalui daring maka pemasangan baliho menurut saya bukan masalah yang besar karena itupun dilakukan untuk memperkenalkan para calon kepada masyarakat yang tidak mengenal teknologi.

Karena apabila kampanye dilakukan full daring tanpa adanya pemasangan baliho dan bahkan kampanye tidak dilakukan sama sekali , menurut saya itu menjadi kurang efektif bagi orang-orang yang tidak memiliki televisi ataupun gadget. Dan bahkan kemungkinan akan terjadi penurunan tingkat partisipasi publik untuk menggunakan hak suaranya.

Apabila para politisi melakukan kampanye berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik, pemasangan baliho berlebihan, pemberian uang , pembagian sovenir untuk mendapat pengaruh yang berlebihan , mungkin kampanye itulah yang layak disebut minimnya empati di tengah pandemi.

Memang betul para politisi juga harus fokus dalam penangan pandemi ini dengan cara mementingkan kesejahteraan rakyat. Namun, hal itu juga tidak berarti bahwa kampanye yang dilakukan para politisi ini menimbulkan anggapan bahwa mereka tidak berempati pada situasi seperti ini. Hal itu harus kita lihat dari bagaimana cara para kandidat tersebut melakukan kampanye. Dengan mempertimbangkan bahwa pendanaan diperoleh publik, maka para kandidat harus memainkan perannya dengan mengacu kepada kepentingan publik dengan mengurangi ruang lingkup kepentingan pribadi seperti pemberian pengaruh yang berlebihan.

Dengan hal itu kita dapat menilai mana politisi yang menggunakan dana berlebihan saat kampanye dan politisi mana yang mengetahui metode kampanye yang tepat di pandemi saat ini.

Apabila terdapat politisi yang melakukan kampanye secara tidak berlebihan dan wajar , serta ia pun juga menunjukkan bahwa ia ikut berkontribusi aktif dalam penangan pandemi ini dengan melalui bantuan yang ia berikan. Itulah yang menjadi poin plus bagi kandidat itu sendiri.

1 Like

Hal yang menjadi permasalahan utama bagi negara kita saat ini adalah pandemi COVID-19. Berbagai pihak terus berjuang dan bekerja untuk menekan angka penyebaran COVID-19 agar negara ini bisa segera terbebas darinya. Di sisi lain, sejumlah politisi tampaknya lebih fokus dalam berburu popularitas melalui pemasangan baliho yang tersebar di daerah-daerah.

Sebenarnya, melakukan kampanye itu wajar-wajar saja, karena itu merupakan salah satu wujud demokrasi di negara ini. Tentunya, masyarakat perlu mengenal calon-calon pemimpin sebelum melakukan pemilihan nanti, meskipun pemasangan baliho ini bukan satu-satunya cara untuk memperkenalkan diri ke masyarakat. Akan tetapi, menurut saya, hal ini menjadi tidak etis karena dilakukan di waktu yang tidak tepat, mengingat kondisi negara kita yang sedang berjuang di tengah pandemi. Alangkah baiknya jika kita bisa saling menunjukkan empati dan bersama-sama bekerja untuk fokus menangani pandemi ini terlebih dahulu.

Kalau menurut saya iya. Mereka alih-alih menyumbangkan dananya untuk membantu meringankan beban para korban yang terkena efek pandemi, mereka justru mengucurkan dananya untuk hal-hal yang sekiranya masih dapat ditunda. Miris sebenarnya saya melihat ini. Coba bayangkan ada berapa banyak dana dari aktivitas berkampanye yang bisa ditukarkan menjadi dana bantuan sosial masyarakat khususnya untuk korban yang dilanda pandemi COVID-19?

Menurut argumentasi saya pertanyaan tersebut benar. Situasi pandemi global Covid-19 ini membuat semua orang merasa khawatir, cemas dan was-was, baik secara fisik, psikis maupun materi. Hal ini membuat orang akhirnya fokus pada keselamatan diri dan bagaimana caranya mempertahankan hidup di tengah pandemic.

Namun sebaliknya, di tengah situasi pandemic yang mengakibatkan sebagian masyarakat sengsara bahkan sekarat kehidupannya, para petinggi politik dengan gampangnya saling bersaing dan berkompetesi merebutkan kekuasaan dalam pemilu yang terhitung masih beberapa tahun lagi. Tidak kah hal itu sangat keji dan tidak manusiawi? Mereka seolah-olah sibuk berpromosi tanpa malu, mereka secara terbuka tampil di ruang publik dengan berbagai pose dan tampilan esentrik demi mengais simpati masyarakat yang sedang sekarat.

Yang seharusnya dilakukan politikus seperti Ketua DPR Puan Maharani, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Ketum PKB Muhaimim Iskandar, dan Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono adalah mengalokasikan dana promosi tersebut untuk memulihkan situasi negara dan membantu masyarakat yang bergulat menyelematkan diri dari pandemic. Dengan tindakan yang mereka lakukan, sangat mencirikan bahwa deretan politikus tersebut memiliki rasa empati yang minim dan tidak berjiwa sosial.

Saat ini memang banyak sekali platform media berita online yang memberitakan dan mengnformasikan mengenai para partai-partai politik yang memasang balihonya, atau berbagai gencatan senjatanya lainnya di tengah Pandemi Covid-19 seperti saat ini, di atas adalah beberapa diantaranya yang rilis pada 1 pekan ini. Ironis memang, apalagi merekalah yang nantinya menjadi calon-calon yang akan atau bahkan sedang menduduki dan mengurusi kursi pemerintahan, dan ratusan juta nyawa manusia. Bagi saya itu sangat berat, bagi saya, mungkin tidak untuk mereka.

Menurut saya, bukan hilangnya rasa empati, Karena Pandemi ini butuh lebih dari sekedar dukungan atau perasaan lainnya seperti empati, kemudian selesai. Menurut saya, pandemi Covid-19 ini adalah darurat negara yang benar-benar butuh aksi bukan lagi hanya tentang empati. Jika di flashback, sudah hampir 2 tahun Indonesia mencoba untuk memulihkan keadaan tapi belum juga usai, jika dengan usaha dan fokus saja masih butuh waktu yang lama, apalagi jika dengan membagi perhatian atau fokus dengan hal yang bahkan masih belum jelas dan jauh terjadinya. Jika begini, kapan pandemi Covid-19 akan berlalu?.

Menurut saya kurang tepat jika disebut minim empati, tetapi lebih ke tidak tahu urgensinya. Saat ini masyarakat sangat membutuhkan kesejahteraan baik secara kesehatan dan ekonomi, bukan baliho untuk pemilu selanjutnya. Masalah yang ada saat ini harus cepat diselesaikan saat ini juga, pemilu masih 3 tahun lagi. Seharusnya partai politik di Indonesia tahu apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat saat ini, bukan malah berusaha untuk branding partai atau anggota partai untuk pemilu yang masih lama. Saya rasa masyarakat pun saat ini tidak begitu peduli dengan pemilu 2024 karena banyaknya permasalahan ekonomi dan kesehatan saat ini.

Saya setuju dengan pendapat Kak Roro Fitri. Pandemi tidak hanya memerlukan rasa empati pemerintah, melainkan juga perlu kebijaksanaan serta dukungan baik secara psikologi maupun secara finansial. Sebenarnya bukan hal yang salah tentang kampanye ditengah pandemi, melainkan bukan waktu yang tepat untuk melaksanakannya saat ini. Terlebih lagi, masih banyak hal yang lebih urgent daripada sebuah kampanye. 2024 masih 3 tahun lagi, dan menurut saya pemasangan baliho kampanye masih terlalu dini untuk dilakukan. Jikalau memang para politisi ingin mengambil hati rakyat mulai sekarang, kampanye dapat dilakukan dengan lebih berfokus pada kebutuhan rakyat. Seperti pemberian bantuan bagi masyarakat kurang mampu, penggiat UMKM, dan sebagainya. Sehingga dana yang ada dapat tersalurkan dengan baik dan bermanfaat untuk orang lain.

Bukankah pengusaha baliho dan pegawainya juga masyarakat ? Dengan adanya pemasangan baliho bukankah berarti memberikan penghasilan bagi mereka di tengan kondisi ekonomi yang serba sulit seperti saat ini. Apalagi di kondisi seperti ini, banyak perusahaan yang mengurangi biaya promosinya dan cenderung memilih media promosi online, membuat pengusaha digital printing kehilangan banyak pendapatan (Sumber berita : https://www.printgraphicmagz.com/2020/04/12/pandemik-covid-19-menjadi-ujian-berat-bagi-pengusaha-bidang-percetakan/).

So empati atau tidak empati jangan dilihat dari sisi pemasangan balihonya, tetapi apa isi balihonya. Kalau isi balihonya ajakan untuk memilih dia sebagai presiden Indonesia 2024, ya jelas aja secara etika menjadi tidak etis, tetapi bagaimana kalau misalnya isi balihonya ajakan untuk menjaga imun ? Misalnya seperti baliho dibawah ini,

image

Beda kalau kasusnya kaya gini, :grinning:

image

Kalau yang ini agak ngga jelas maksudnya di tengah kondisi pandemi seperti saat ini :grinning:,

image

Aku kurang setuju kalau kampanye para politikus di tengah pandemi dengan memasang baliho di berbagai wilayah semata-mata dinilai sebagai bentuk rendahnya rasa empati mereka dengan kondisi pandemi yang sedang berlangsung saat ini. Menurut Direktur Eksekutif The Cyrus Network Hasan Nasbi dalam Paat (2021), kehidupan di luar penanganan pandemi harus terus berjalan, termasuk kehidupan politik. Oleh karenanya, waktu pemasangan baliho politik saat pandemi tidak ada hubungannya dengan empati karena bukan berarti orang yang pasang baliho tidak melakukan tindakan-tindakan kemasyarakatan. Kedua kegiatan tersebut dapat dijalankan secara bersamaan karena pemasangan baliho juga menjadi kebutuhan para politikus untuk meningkatkan elektabilitasnya. Pemasangan baliho juga dipastikan tidak menggunakan uang negara sehingga itu menjadi hak mereka untuk menggunakan uang pribadinya atau uang partai.

Menurut Founder & Chairman Markplus, Hermawan Kartajaya dalam Akarialdo (2021), pemasangan baliho kampanye pada saat ini meskipun pilpres masih dilaksanakan 2024 adalah sah-sah saja selama tidak menyalahi peraturan KPU terkait kampanye dan Peraturan Daerah (Perda) terkait izin dan pajak pemasangan baliho. Bahkan, pemasangan baliho politik dianggap mampu menyelamatkan industri kreatif percetakan. Salah satunya contoh kasus ini ada di Malang, Jawa Timur, dimana mereka hampir saja kolaps dihantam pandemi Covid-19. Hal tersebut juga selaras dengan kasus Pilkada tahun 2020 kemarin yang diperhitungkan pemerintah menyebabkan perputaran uang senilai Rp 35 triliun. Uang sebesar itu pastinya juga berdampak positif bagi masyarakat di tengah terpaan pandemi, seperti bagi katering, event organizer, tukang sound system , percetakan, konveksi, tukang spanduk baliho, dan masih banyak lagi.

Oleh karena itu, aku kurang setuju jika suatu fenomena yang ada itu dicap secara mutlak berdampak negatif. Pasti selalu ada sisi positif yang bisa dirasakan oleh orang banyak, sama halnya dengan kampanye politik di tengah pandemi ini.

Sumber

Akarialdo, M. K. (2021, 9 Agustus). Sering Dianggap Negatif, Ternyata Pemasangan Baliho Punya Dampak Positif. Diakses pada 19 Agustus 2021, dari https://www.kompasiana.com/aldonobinkriboo/61111e1b6e7f0136a853aff2/sering-dianggap-negatif-ternyata-pemasangan-baliho-punya-dampak-positif?page=all

Paat, Y. (2021, 4 Agustus). Kritik Pemasangan Baliho Politik Hanya Menjadi Nyinyiran Tak Berujung. Diakses pada 19 Agustus 2021, dari https://www.beritasatu.com/megapolitan/809771/kritik-pemasangan-baliho-politik-hanya-menjadi-nyinyiran-tak-berujung.

1 Like

I couldn’t agree less with this statement. I mean, justru pemasangan baliho itu juga merupakan salah satu usaha membantu masyarakat yang berkecimpung di dunia indsutri kreatif percetakan yang jelas-jelas juga terdampak pandemi. Lagi pula pemasangan baliho ngga ada hubungannya sama krisis empati, pasang baliho (atau orang-orang menyebutnya kampanye, meskipun saya juga tidak setuju akan hal ini) dan empati merupakan dua sisi koin yang berbeda. Orang pasang baliho, tidak serta merta dikatakan mereka rendah empati. Kita kan cuma tau satu sisi aja ya, yang keliatan aja, namun sayangnya tidak semua masyarakat dapat menerima.

Analoginya tuh gini, ketika masa pandemi trend bersepeda juga merajalela. Tak sedikit orang yang membeli sepeda baru di tengah pandemi. Misalnya kalau kita butuh sepeda baru kamu beli sepeda ngga ? Atau kalau lagi ngga butuh tapi pengen beli sepeda baru, tetep beli kan? Terus kalau ada orang yang tiba tiba nyinyir kenapa harus beli sepeda baru sih di antara banyak orang kelaparan? Kenapa uangnya ngga kamu disumbangkan kepada orang yang membutuhkan?. See, kalau kita ikuti pendirian-pendirian kayak gini, akhirnya kita akan sampai pada nyinyir tak berujung, merembet kemana-mana, tiap ada orang happy di tengah pandemi,langsung dijudge nggapunya empati.

Pemasangan baliho ditengah pandemi ini bukan menandakan rendahnya empati. Kehidupan politik itu juga harus terus berjalan, agar negara ini seimbang. Pemasangan baliho ini akan SALAH, jika… jika pemasangannya ditempat yang tidak diizinkan dan tidak membayar pajak

1 Like

Betul sekali ka bahwa meskipun adanya pandemi seperti ini kehidupan politik tetaplah harus berjalan. Apabila kampanye tidak dilakukan karena adanya pandemi maka jika hal tersebut dibiarkan malah akan menimbulkan masyarakat yang apatis terhadap politik. Apabila masyarakat menjadi apatis masyarakat dapat tak percaya partai politik, politisi, menteri-menteri, DPR, dan bahkan presiden.

Karena sedang pandemi seperti ini maka cara yang dapat ditempuh politisi dalam berkampanye tentunya melalui baliho dan juga media sosial yang lain. Para politisi pastinya ingin sekali bertemu langsung dengan masayrakat untuk memperkenalkan diri , namun hal itu tidak bisa dilakukan karena ada pandemi. Dengan adanya baliho , masyarakat dapat mengenai wajah-wajah dari para calon yang ada. Pemasangan baliho dianggap sebagai media yang paling efektif untuk menarik perhatian publik.

Pemasangan baliho sebagai kampanye di tengah pandemi ini sah-sah saja dilakukan asalkan dalam memasangan baliho prinsipnya harus mentaati aturan dan memperhatikan aspek lingkungan, etika dan estetika. Pemasangan baliho juga berguna agar informasi itu bisa lebih dekat dengan masyarakat, juga terbilang cukup aman dan terjauh dari tangan-tangan perusak yang disengaja ataupun tidak.

Kampanye adalah sebuah tindakan dan usaha yang bertujuan mendapatkan pencapaian dukungan. Kampanye ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti penyluhan, orasi, dan pemasangan baliho tersebut.

Ini tergantung dari persepsi masing-masing. Pemilu harus tetap dilaksanakan walaupun pandemi, tidak mungkin negara kita tidak ada pergantian struktur. Kampanye ini merupakan salah satu rangkaian atau budaya dari Pemiluu, tidak mungkin dihilangkan.

Mungkin yang dimaksud kurang empati di sini adalah bagaimana wujud kampanyenya. Jika kampanyenya menyangkut COVID-19, tergantung juga bagaimana persepsi masyarakat. Misalnya beliau kampanye dengan membagi-bagi sembako gratis. Hal ini merupakan hal yang baik sehingga dapat mendukung PPKM dan ekonomi warga, tetapi terlihat seperti “aji mumpung” dalam era pandemi ini.

Kegiatan tersebut akan terlihat seperti tidak punya empati dan terkesan memanfaatkan keadaan. Lalu, ada juga pemasangan baliho. Menurut saya, pemasangan baliho lebih baik tidak terlalu berlebihan, karena uangnya bisa dialokasikan ke hal lain. Paling tepat sekarang adalah kampanye secara online, walaupun ada pertimbangan bahwa kampanye online tidak efektif dan menjangkau masyarakat.

Kesimpulannya, ini kembali ke perspektif masyarakat itu sendiri. Maksud dan intensi tertentu dari pelaksanaan kampanye ini tentunya memiliki pandangan yang bervariasi. Kembali lagi ke kita apakah bisa memilih yang benar demi kemajuan bangsa.

Menurut saya, budaya pemilu ini bukan hanya sekedar bersaing memperebutkan kekuasaan, namun juga memperbaiki yang sedang rusak. Siapatau, mereka berkampanye, ingin menjadi yang terpilih karena ingin membawa perubahan di kondisi seperti ini.

Namun saya juga setuju untuk masalah tampil dengan gaya dan hal-hal yang berbau hedonisasi sepertinya tidak perlu, yang diperlukan masyarakat saat ini adalah pemerintahan yang jelas dan mendukung pemulihan negri. Jelas ini kurang empati, lebih baik dialokasikan untuk kampanye yang berhubungan dengan pandemi. Walaupun terlihat aji mumpung, setidaknya membawa manfaat bagi masyarakat.

Ya, saya setuju dengan pertanyaan tersebut. Karena pada dasarnya, pemasangan baliho-baliho itu merupakan suatu simbol yang menunjukkan bahwa elite partai sedang berkontestasi menyusun kekuatan untuk meningkatkan elektabilitas alih-alih bagian dari tindakan rasional untuk mendukung pengentasan wabah pandemi secara teknis medis dan ekonomi, sisi relasi kuasa politik berpadu dengan usaha teknis-medis ekonomi dalam mempengaruhi perspektif masyarakat. Padahal, saat ini ruang publik yang dicitrakan dan dikonsepsikan ialah ruang publik yang menuntut kesetaraan akan kesehatan dan ekonomi yang pro pada masyarakat menengah ke bawah, dan bukan pada aspek pencitraan semu yang dikamuflase oleh kekuasaan dan kerja rasional seolah-olah menuntut masyarakat agar tetap berpikir rasional dan menerima beragam baliho itu sebagai hal yang logis yang dilakukan oleh elite politik.

Jika dikaji menggunakan aspek interaksi atau paradigma komunikasi sebagai perspektif dari Habermas, menjamurnya baliho elit politik di tengah pandemi menandakan adanya sebuah krisis sosial. Dalam artian para elite politik kurang bisa membaur secara sosial dengan kehidupan masyarakat yang terdampak pandemi, terlebih kurang melakukan upaya dialogis secara kekerabatan, dan kekeluargaan. Karena apabila upaya komunikatif dilakukan secara optimal yang dilakukan, para elite akan lebih sadar bahwa yang dibutuhkan masyarakat di ruang publik bukanlah baliho melainkan implementasi nyata penanganan dampak Covid-19 secara komprehensif dan terpadu, yang dengan sendirinya mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan mengurangi aspek sinis masyarakat kepada wakil rakyat.