Benarkah Hustler Culture Merupakan Jalan Menuju Kesuksesan?

Hustler Culture merupakan suatu gambaran yang ditujukan kepada seseorang yang harus selalu bekerja untuk sukses, dan seringkali mengorbankan waktu istirahat maupun makan.

salah satu penyebab orang-orang banyak yang menganut hustler culture ini karena banyak orang sukses di dunia yang melakukan glorifikasi kerja keras (overwork). Salah satunya adalah unggahan Twitter dari Elon Musk di tahun 2018 yang mencuitkan tentang

There are way easier places to work, but nobody ever changed the world on 40 hours a week

dan masih banyak lagi orang yang saat ini telah sukses menyatakan hal sejenis mengenai jam kerja. Padahal menurut saya pribadi jam kerja yang panjang bukan menandakan bahwa pekerjaan itu baik, terutama jika terlalu memaksakan diri ketika tubuh sudah merasa lelah.

lantas apakah hustler culture ini merupakan kunci kesuksesan? sehingga untuk sukses kita harus memaksakan diri untuk bekerja keras melebihi kemampuan diri?

Referensi

LINE TODAY
Berita Lifestyle Selebriti, Zodiak, dan Relationship | Fimela.com
https://kumparan.com/tinaa0011/hustle-culture-tuntutan-gila-kerja-demi-kesuksesan-finansial-1ufNbbOdnvz/3

Sukses ditentukan oleh apa? uang? jabatan? status sosial? menjadi tetap sehat, dan meraih kesuksekan lebih penting. Jika disini hustle diaplikasikan pada lingkungan kerja sebagai karyawan, ingatlah jika karyawan sakit, kantor hanya perlu membuka rekrutmen lagi. Jika karyawan sakit, keluargalah yang terdampak. Jadi, hustle culture tidak ada hubungan nya dengan kesuksesan apalagi jika ini diaplikasikan pada setting usaha.

Kalau saya sendiri tipikal orang yang santai dalam bekerja tetapi dapat melakukan overwork tanpa beban jika pekerjaan tersebut menyenangkan atau dapat dinikmati (tidak jarang lupa istirahat dan makan).

Saya cukup setuju dengan hustler work dapat merupakan salah satu kunci kesuksesan karena saya yakin hasil tidak akan menghianati usaha. Akan tetapi jika dilakukan tanpa kebahagiaan dan nikmati tentunya malah akan seakan-akan menjadi torture atau siksaan bagi yang menjalaninya.

Menurut saya pribadi, hal tersebut tidak sepenuhnya salah karena kita perlu bekerja dengan keras untuk bisa mencapai kesuksesan. Namun, bukan berarti kalau kita juga harus memaksakan diri sendiri untuk melewati batas, seperti mengobarkan waktu istirahat untuk bekerja. Karena perusahaan akan dengan mudah mencari pekerja baru, sedangkan kita bisa digantikan dengan mudah. Intinya, bekerja lah sesuai dengan jam yang ada di kontrak pekerjaan. Jikapun perlu lembur, ingat untuk tidak terlalu memaksakan diri sampai-sampai mengorbankan kesehatan diri sendiri.

Hustle Culture menurut saya bukanlah cara yang tepat bagi kita untuk mendapatkan kesuksesan. Okei, saya setuju jika untuk mendapatkan kesuksesan, kita perlu melakukan usaha yang ekstra dan tanpa kenal lelah, tapi Hustle culture juga bukanlah solusi yang tepat untuk mewujudkan kesuksesan tersebut. Menurut beberapa sumber yang saya dapatkan dari Internet, Hustle Culture sendiri ternyata dipandang sebagai sebuah bentuk toxic positivity, karena memang sifatnya tadi yang seperti sudah disampaikan di deksripsi, terlalu menglorifikasikan budaya overwork atau kerja berlebihan. Kira - kira penggambaran yang tepat untuk Hustle Culture ini sendiri dapat dilihat dari deskripsi yang ditulis oleh headversity berikut ini :

Your alarm rings, and you wake up. First thing? Check your phone. You go to the bathroom, then recheck your phone. Then, you eat breakfast while bolting out the door and simultaneously scrolling through emails. When you finally make it to work, you scarf down meals in between meetings. When you finally “finish” work, it still follows you home. You continue to check and respond to emails while watching Netflix and talking to your family. Finally, fall asleep, despite all the blue light—the next day: repeat .

(Terjemahan : alarm kamu berbunyi, dan kamu bangun. Hal pertama yang kamu lakukan adalah ngecek ponsel. Kamu kemudian mandi dan setelahnya kembali mengecek ponsel kamu. Lalu kamu berjalan dengan tergesa- gesa keluar dari rumah sembari memakan sarapanmu dan di saat yang bersamaan mengecek inbox email kamu. Ketika kamu sampai di tempat kerja, kamu makan dengan cepat di antara meeting - meeting yang harus kamu jalani. Ketika kamu " menyelesaikan " pekerjaanmu hari ini, pada kenyataannya, pekerjaan kamu akan terus mengikutimu ke rumah. Kamu kemudian melanjutkan untuk mengecek dan merespon email (yang berhubungan dengan pekerjaan) sambil nonton netflix dan ngobrol dengan keluargamu, kemudian jatuh tertidur dengan monitormu yang masih menyala. Hari berikutnya : ulangi rutinitias yang sama.

Jika melihat fenomena di atas, rasanya cukup miris jika melihat kenyataan jika banyak sekali kaum pekerja yang terutama berasal dari kaum milenial dan Gen Z saat ini berpikir jika mereka bekerja tanpa henti seperti itu, mereka akan mendapatkan kesuksesan dengan mengorbankan waktu istirahat dan waktu tidur. sebuah mindset toxic yang selalu digaung - gaungkan oleh banyak motivator saat ini dengan prinsip the more you hustle, the more you success. Padahal banyak penelitian yang menjunjukan jika hustle culture ini sendiri dapat meningkatkan stress dan mengurangi produktivitas. Justru untuk menambah produktivitas, seorang pekerja membutuhkan personal satisfaction dan conscetiousness daripada menambah beban kerja mereka. Selain itu hustle culture juga dapat meningkatkan resiko detrimental seperti penyakit jantung, penurunan daya ingat, kecemasan, dan depresi.

Jadi dengan kata lain, menempatkan diri kita dalam stress yang sama secara berulang - ulang dalam hal pekerjaan justru malah akan menurunkan produktifitas kamu. Selain itu, hustle culture juga nyatanya tidak membuat kamu mendapatkan apa yang disebut " well-being " untuk kehidupanmu.

Cara yang paling tepat adalah dengan melakukan budaya " work hard, rest hard ", yang mengedepankan keseimbangan antara kerja keras dan mengistirahatkan tubuh kita. Itu merupakan solusi yang lebih baik ketimbang Hustle Culture. Kerja Keras itu penting, tapi kesehatan fisik dan mentan juga sama pentingnya. Jadi dua hal tersebut harus seimbang dalam kehidupan karier seseorang. Selain itu, kamu pun juga memiliki kehidupanmu sendiri yang seharusnya kamu jalani ketimbang dengan terus menerus berkutat dengan pekerjaanmu.

1 Like