Belajar Bijak dari Hal yang Paling Kecil

Sore itu, antrian di supermarket terbilang cukup panjang, tiga kasir berjejeran pada mejanya masing-masing dan tampak sibuk menghadapi barisan pembeli yang menenteng belanjaan. Seorang anak perempuan berpita merah berusia sekitar sepuluh tahunan berdiri pada barisan paling pinggir, dekat dengan pintu keluar, sebatang pensil dan penggaris merah muda terlihat di genggaman tangan kanannya. Dia terlihat sabar, menanti antriannya yang akan segera tiba, satu orang lagi di depannya sedang menghitung uang kembalian, dan mencoba untuk memeriksa struk belanjaannya sebelum meninggalkan tempat tersebut. Menanyakan sesuatu kepada kasir, dan masih tetap berdiri di sana sambil memeriksa kembali struk belanja dan uang kembaliannya.

Kasir terlihat menghela napas panjang, menatap antrian yang semakin panjang ke belakang. Kasir ini memang dikhususkan bagi pembeli yang hanya berbelanja sedikit / beberapa barang saja, sehingga proses pembayaran di sana jauh lebih cepat dan lancar, jika dibandingkan dengan dua meja kasir lainnya. Namun hal ini justru membuat antrian di sini selalu lebih panjang dari meja kasir lainnya, sebab semua orang selalu ingin dilayani dengan cepat, terutama mereka yang hanya berbelanja beberapa barang saja.

Belum sempat anak berpita merah ini maju ke depan dan mendekati meja kasir, tiba-tiba saja barisan di belakangnya riuh, dan dengan terburu-buru seorang ibu berusia lima puluhan berjalan di sisi antrian yang sempit dan berusaha untuk mendekati meja kasir. Namun yang lain enggan menepi, atau bahkan memudahkan langkahnya menuju ke depan. Tak sedikit yang mengomel, bahkan mengumpat kelakuan ibu tersebut.

“Antri dong, memangnya warung sayur sebelah rumah, ga ada aturan,” umpat seorang pembeli yang sedang antri di belakang.

“Ya elah, kita udah antri dari tadi, ini orang malah main serobot aja,” ujar yang lainnya.

Ibu tersebut tetap maju ke depan, hingga akhirnya berdiri bersisian dengan anak berpita merah. Wajahnya tampak lelah dan sedikit pucat, mungkin sedikit malu karena menjadi bahan ejekan banyak orang di sana. Kasir hanya diam, tanpa melakukan apa-apa, sementara orang di depannya berlalu sambil tersenyum kecut, penuh ejekan.

“Maaf semua, saya sangat terburu-buru dan harus segera tiba di rumah kembali. Tolong, saya mau bayar ini, Mbak,” ucap ibu tersebut dengan terbata-bata.

“Yang benar aja, Mbak, masa orang nyerobot begitu diladeni duluan?” protes seorang pembeli yang lagi antri.

“Wah, Mbak ini harus training lagi nih kalau sikapnya kayak gini,” yang lainnya menimpali dengan ketus.

“Maaf, Ibu harus antri seperti yang lainnya,” ujar kasir sambil mempersilahkan anak berpita merah maju ke depan.

“Tapi saya hanya membeli sekotak susu formula ini saja, cucu saya yang masih bayi menangis kehausan di rumah, tolonglah,” pintanya pelan. Namun kasir tetap diam dan tidak menanggapi sama sekali, sementara yang antri di belakang tetap sibuk dengan komentar masing-masing.

“Nenek boleh bayar sekarang, biar cepat pulang. Aku bisa antri lagi dari belakang, cuma sebentar,” ucap anak berpita merah sambil tersenyum dan mempersilahkan ibu tersebut ke meja kasir, seraya berlalu menuju antrian paling terakhir.

Kasir terpaku sesaat, sebelum akhirnya mempersilahkan ibu yang berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada anak tersebut. Pembeli sepanjang antrian menjadi hening, dan tiba-tiba saja mereka sibuk dengan pikiran dan rasa malu masing-masing.

Apa pendapat Anda?

Sumber:
http://www.sipolos.com/belajar-bijak-dari-hal-yang-paling-kecil/

Kisah ini mengajarkan kita untuk mulai belajar dari hal - hal kecil. Seperti dalam kisah tersebut, si anak berpita merah mendahulukan sang nenek yang sedang terburu-buru untuk memberikan susu untuk cucunya yang masih bayi. Bahkan anak kecil saja bersedia untuk antri. Namun pelanggan lain merasa tidak terima. Kita tidak boleh seperti itu.