Setiap orang memiliki kesehatan mental yang berbeda-beda, baik illness ataupun wellness. Kesehatan mental ini merupakan hal yang tak dapat dipisahkan dari emotional, psychological dan social well-being. Kesehatan mental juga secara etimologi merupakan ilmu kesehatan yang mempelajari tentang kesehatan jiwa.
Ketika mendengar kata kesehatan jiwa, pasti yang terlintas dalam pikiran kita yaitu stress, depresi, kesepian, bahkan gila. Namun faktanya, kesehatan mental ini sangat berpengaruh pada kehidupan tiap orang. Bukan hanya orang gila saja. Stigma ini lah yang harus digaris bawahi dan diluruskan, kesehatan mental itu berbeda dengan gangguan mental. Kesehatan mental mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengelolaan kualitas hidup. Sehat fisik, tetapi lemah mental? It’s toxic. Pasalnya seperti pada kutipan “The only journey is the journey within.” - Rainer Maria Rilka. Kutipan ini sangat jelas, everyone harus memiliki kesehatan mental yang baik. Namun, beda halnya dengan bipolar yaa…
Pencanangan kesehatan mental yang baik telah tersebar diseluruh penjuru dunia. Namun, pada kenyataanya masih sangat banyak jumlah gangguan mental yang terjadi di dunia bahkan di Indonesia. Terdengar miris bukan? Faktanya pada tahun 1990, gangguan mental dan neurologis berkontribusi sebesar 10% dari total disability adjust life years, kemudian pada tahun 2000 menjadi sebesar 12% dan diperkirakan akan terus meningkat sebesar 15% pada tahun 2020. (World Health Organization, 2001)
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) menunjukan prevalensi gangguan jiwa berat nasional sebesar 1,7 permil, yang artinya 1-2 orang dari 1.000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,2013) Prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional secara nasional pada tahun 2013 sebesar enam persen (37.728 orang dari subjek yang dianalisis). Angka bunuh diri di Indonesia juga terus meningkat hingga mencapai 1,6-1,8 tiap 100.000 penduduk. Adapun kejadian bunuh diri tertinggi berada pada kelompok usia remaja dan dewasa muda (15-24). Fenomena bunuh diri di Indonesia meningkat pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap sumber tekanan psikososial yaitu pengungsi, remaja, dan masyarakat sosial ekonomi rendah. (World Health Organization,2012)
Kasus-kasus yang terjadi Indonesia melibatkan adanya layanan kesehatan mental yang kurang memadai dengan jumlah psikologi, psikiater, dan rumah sakit jiwa yang terbilang sedikit serta hanya tersebar dikota-kota besar saja. Bahkan hanya berpusat dipulau jawa. “Dokter ahli jiwa masih sangat minim sekali. Data terakhir 987 dokter. Saat ini kami sedang memperbarui data mungkin sudah sekitar 1.000 dokter. Artinya, 1 dokter melayani 250 ribu orang,” kata Sekretaris PDSKJI di Kementerian Kesehatan dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia pada tanggal 10 Oktober 2019. Berdasarkan standar dari World Health Organization (WHO), idealnya seorang dokter melayani 30 ribu penduduk. Bukan hanya jumlah yang kurang, sebaran dokter jiwa di Indonesia pun tidak merata. Para psikiater ini terpusat di pulau Jawa dan menumpuk di Jakarta. Di Pulau Jawa, jumlah dokter ahli jiwa mencapai 676 atau 68 persen dari total keseluruhan. Sebanyak 228 dokter jiwa ada di Jakarta. Di Sumatera terdapat 108 dokter jiwa, Kalimantan 44 dokter jiwa, dan Sulawesi 62 dokter jiwa. Gabungan Bali, NTB, dan NTT memiliki 94 dokter jiwa. Sementara, Papua hanya 3 dokter jiwa saja. Perlu diingat juga, bahwa layanan kesehatan mental ini juga tak dapat dipisahkan dari pentingnya menjaga dan tindakan preventif dalam hal kesehatan mental yang baik. (CNN Indonesia, 2019)
Pada tahun 2020 ini, tak kunjung habis kasus gangguan mental. Seperti yang diprediksi World Health Organization bahwa gangguan mental diperkirakan akan terus meningkat sebesar 15% pada tahun 2020. Benar nyatanya, dunia digemparkan dengan adanya pandemi Covid-19 yang mengakibatkan banyak kerugian seperti devisa negara menipis, pasokan APD dan sembako terbilang miris, jutaan rakyat kelaparan, angka mortality meningkat serta dengan ditambahnya berita-berita yang meresahkan masyarakat menyebabkan tingkat kepanikan, stressfull, emotional symptoms meningkat bahkan tak banyak yang bunuh diri.
Hal ini, apakah 100% disebabkan oleh efek negatif adanya pandemi Covid-19? Tidak! tidak sama sekali. Selain adanya efek negatif adanya pandemi Covid-19 ini, kesehatan mental yang baik juga merupakan faktor utama dari terciptanya kehidupan yang bahagia dan aman walaupun masih terkait Covid-19. Tak sedikit, orang terinfeksi Covid-19 dapat sembuh karena self-healing.
Beralih dari pandemi Covid-19, dan kembali pada kesehatan mental. Lalu, apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental ini? Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental ini, yaitu:
-
Faktor Internal. Faktor ini terkait dengan diri sendiri seperti cara berpikir, harapan, semangat yang dimiliki, perjalanan atau proses yang ditempuh. Terdengar klise, namun memang benar adanya tiap orang memiliki caranya masing-masing untuk dapat menempuh kerasnya hidup. “seperti pisau yang semakin diasah akan semakin tajam” - pepatah lama. Begitupula dengan manusia, semakin berat tantangan yang ia hadapi dan bisa melewatinya, semakin kuat pula kesehatan mental yang ia miliki. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan lewat quotesnya Emery Lord “ My dark days made me strong. Or maybe I already was strong, and they made me prove it”. Tak lupa tentang harapan yang juga berpengaruh pada kesehatan mental wellness yang berkelanjutan. “Hope is a powerfull thing. Some say it’s a different breed of magic altogether.”-Stephanie Garber
-
Faktor Eksternal. Faktor ini datang dari keluarga, kerabat, tema, dan lingkungan sekitar. Tak dapat dipungkiri bahwa faktor-faktor ini juga menjadi penentu kesehatan mental. Misalnya, pada keluarga broken home, korban body shaming, bullying, dan sejenisnya memiliki angka gangguan mental yang lebih tinggi. Namun, harus digaris bawahi bahwa tidak semua yang seperti ini akan mengalami gangguan mental yang berkepanjangan.
Setelah mengetahui, faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kesehatan mental. Tindakan yang dapat kita lakukan dalam hal promotif, preventif dan kuratif yaitu:
-
Pertama, semakin mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa. Hal ini merupakan metode paling ampuh. Faktanya, semua orang yang lebih memahami agamanya dengan baik dan benar akan menjalankan hidup denngan tenang dan damai. Seperti yang dilontarkan oleh Albus Dumbledore yakni happiness can be found even in the darkest of times, if only remember to turn on light. Dalam hal ini, yang berperan sebagai light ialah Tuhan Yang Maha Esa yang membawa kesehatan mental kita menjadi wellness.
-
Kedua, yakin pada diri sendiri bahwa bisa memiliki kesehatan mental yang baik. Hilangkan stigma yang menjerumuskan dirimu kearah negatif apalagi sampai bunuh diri.
-
Ketiga, konsolidasi dengan mencari pertolongan seperti keluarga, teman dekat, atau siapapun yang dapat berkomunikasi dengan baik terhadap mu kearah yang lebih baik tentunya. Akan tetapi, mengingat adanya pandemi Covid-19 ini. Saat ini harus tetap menerapkan physical distancing dengan cara berkomunikasi secara virtual.
-
Keempat, perbanyaklah membaca dan menulis. Seperti yang telah disediakan oleh website dictio.id ini dapat merefresh pikiranmu untuk mendapatkan kesehatan mental yang baik. Sejatinya, membaca merupakan input terhadap diri sendiri untuk mendapatkan hal yang mendunia. Oleh sebab itu, pepatah mengatakan “membaca adalah jembatan ilmu”. Sedangkan menulis merupakan output yang digunakan untuk merelaxasi diri, karena telah mendapatkan apa yang seharusnya, kemudian dituangkan dalam secarik kertas dan goresan pena. Menulis perihal yang dirasakan hari inipun, dapat menjadi output penenang yang dapat meningkatkan kesehatan mental yang baik.
-
Dan yang terakhir, pergilah ke psikolog dan psikiater untuk mendapatkan data yang akurat. Hindari self-diagnose. Self-diagnose sangat berbahaya untuk dilakukan. Apalagi sampai me-labelling diri sendiri. Karena hal tersebut belum tentu kebenarannya. Akibatnya, kita salah dalam melakukan terapi atau pengobatan. Hal ini sejalan dengan “Mental health needs a great deal of attention. It’s the final taboo and it need to be faced and dealth with.” – Adam Ant. Kalimat ini menunjukan bahwa jika kita sudah tahu terdapat kejanggalan dengan kesehatan mental kita sendiri. Hal ini perlu dihadapi dan ditangani kepada ahlinya agar tak salah langkah.
Referensi
- Novianty,Anita dan M. Noor Rochman Hadjam. 2017. Jurnal Psikologi : Literasi Kesehatan Mental dan Sikap Komunitas Sebagai Prediktor Pencarian Pertolongan Formal. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada press
- Faizah, Fista dan Zaujatul Amna. 2017. Jurnal Kesehatan : Bullying dan Kesehatan Mental Pada Remaja Sekolah Menengah Atas di Banda Aceh.
- World Health Organization. 2020. Menthal health and psychosocial considerations during the Covid-19 Outbreak : https://www.who.int/ . Diakses pada tanggal 25 April 2020
- Juma, Norbert. 2019. 65 Mental Health Quotes for Happiness and Succes : https://everydaypower.com/mental-health-quotes/ . Diakses pada tanggal 25 April 2020.
- Tim CNN Indonesia. 2019. Dokter Jiwa Di Indonesia Masih Minim : Dokter Jiwa di Indonesia Masih Minim . Diakses pada tanggal 26 April 2020