Bagimana Sejarah Semar?

semar
Tokoh pewayangan Jawa ada yang dikenal dengan tokoh punakawan. Salah satunya adalah Semar. Bagimana Sejarah Semar?

Sejarah Semar


Semar adalah nama tokoh punakawan paling utama dalam pewayangan Jawa, bahkan juga pada pewayangan di daerah Sunda dan Bali. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para satria dalam pementasan kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana. Pertama kali penokohan Semar ditemukan dalam karya sastra zaman kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Semar dikisahkan sebagai seorang abdi dari tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa dengan Posisi sebagai punakawan itu, Semar tidak hanya menjadi seorang abdi namun juga sebagai seorang penebar humor, candaan, dan pemecah ketegangan di dalam suatu cerita.

Semar merupakan titisan Sang Hyang Ismaya yang melakukan jalan kematian, suatu ketika Semar mendapat titah untuk turun kedunia oleh Sang Hyang Tunggal. Oleh karena itu Sang Hyang Ismaya yang semula berwajah tampan dan bertubuh apik berubah menjadi buruk rupa, akan tetapi, sebelum turun ke dunia Semar meminta kawan.

Menurut serat Paramayoga dalam buku Rupa dan Karakter Wayang Purwa yang di tulis oleh Heru S Sudjaruto, Sumari, Udang Wiyono dikisahkan bahwa :

Sang Hyang Ismaya adalah salah seorang dari tiga putra Hyang Tunggal. Ibunya adalah Dewi Rakti. Tetapi dalam pewayangan umumnya, terutama Wayang Purwa ibu Sang Hyang Ismaya adalah Dewi Rekatawati. Istri Sang Hyang Ismaya menurut Paramayoga ialah Dewi Senggani sedangkan dalam pedalangan adalah Dewi Kanastri atau Kanastren. Sang Hyang Ismaya lahir bersamaan dengan kedua saudaranya, Sang Hyang Manikmaya dan Sang Hyang Antaga. Mulanya mereka lahir dalam wujud cahaya yang kemudian berubah wujud menjadi sebutir telur. Oleh Sang Hyang Tunggal, telur itu dipuja menjadi tiga orang putra. Kulit telurnya menjadi Sang Hyang Antaga, putih telurnya menjadi Sang Hyang Ismaya, sedangkan kuning telurnya menjadi Sang Hyang Manikmaya. Ketiga anak ini semua merasa dirinya paling sakti dan paling pantas menjadi pewaris kedudukan Sang Hyang Tunggal sebagai penguasa alam kahyangan. Karena tidak satupun diantara mereka yang mau mengalah. Sang Hyang Tunggal memberi persyaratan : ”siapa diantara yang sanggup menelan gunung Mahameru dan memuntahkannya kembali dialah yang berhak atas singgah sana Kahyangan.”

Sang Hyang Antaga mendapat kesempatan pertama untuk menunjukkan kesaktiannya. Dia berusaha keras menelan gunung itu tetapi sampai mulutnya robek, gunung itu tidak juga tertelan. Giliran kedua, Sang Hyang Ismaya dengan kesaktian yang dimilikinya, dia berhasil menelan Mahameru, tetapi tidak sanggup memuntahkan kembali. Dicobanya mengeluarkan gunung itu lewat dubur juga tidak berhasil. Gunung berhenti didalam perut Ismaya. Karena gunung tertelan, Sang Hyang Manikmaya tidak mendapat kesempatan membuktikan kesaktiannya. Sehingga Sang Hyang Manikmaya yang ditetapkan Sang Hyang Tunggal sebagai pewaris takhta kahyangan. Sang Hyang Ismaya diperinth oleh ayahnya untuk turun kedunia dan bertindak sebagai pamong bagi manusia yang berbudi baik. Sebagi pamong Ismaya menggunakanan nama Semar, Samarasanta, Semarsanta, Janabadra dan Badranaya. Tutrunnya Batara Ismaya ke Marcapada (Bumi) sebagai Semar bersamaan waktu dengan kelahiran Bambang Manunumasa, Putra Bambang Parikenan. Manumansa adalah manusia pertama yang menjadi momongan (asuhan) Semar.

Begitu juga dalam buku lain diceritakan bahwa Langit dan bumi pada zaman purwa carita dikuasai oleh Sang Hyang Wenang, yang mempunyai anak bernama Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal kemudian beristri Dewi Rekatawati, putri kepiting raksaasa bernama Rekatama.

Pada suatu hari Dewi Rekatawati bertelur dan seketika itu telur terbang kelangit menuju kehadapan Sang Hyang wenang. Telur itu menetes sendiri, kemudian muncul tiga makhluk yang berasal dari kulit telur, putih telur dan kuning telur. Makhluk yang berasal dari kulit telur dinamai Tejamantri, dari putih telur adalah Ismaya, dan yang dari kuning telur bernama Manikmaya. Dalam riwayat lain, telur tersebut menetes menjadi langit, bumi dan cahaya atau teja. Pada suatu hari mereka terlibat pertengkaran karena mempermasalahkan siapa yang akan menggantikan kedudukan ayahnya kelak sebagai pnguasa. Manikmaya menyarankan agar diadakan pertandingan menelan gunung dan memuntahkannya kembali. Tejamantri melakukannya terlebih dahulu, tetapi gagal. Kemudian Ismaya dapat menelannya, tetapi tidak berhasil memuntahkannya kembali. Kejadian ini menyebabkan terjadinya gara-gara atau bencana. Gara-gara ini menyebabkan Sang Hyang Wenang turun tangan dan megambil keputusan bahwa pada waktunya, Manikmaya akan menadi raja para dewa, pengusaha kahiyangan dan akan mempunyai keturunan yang akan menjadi penduduk bumi. Sementara Tejamantri dan Ismaya harus turun ke bumi untuk memelihara keturunan manikmaya. Keduanya boleh menghadap Sang Hyang Wenang jika manikmaya bertindak tidak adil. Sejak saat itu nama mereka diganti. Tejamantri menjadi Togog, Ismaya dinamakan Semar, dan Manikmaya menjadi Batara Guru. Karena sebuah gunung pernah ditelannya, bentuk tubuh Semar menjadi besar, gemuk dan bundar.

Disamping itu menurut Dr. G.A.J. Haezu dalam buku Ardian Kresna menyatakan bahwa Semar bukan berasal dari India, tetapi asli dari Jawa. Baik nama, cara mempertunjukannya, maupun bentuknya menunjukan bahwa Semar dan anak-anaknya (Gareng, Petruk dan Bagong) berasal dari Jawa. Alasannya banyolan atau lawakan telah sering kali disebut-sebut didalam tulisan-tilisan naskah kuno sebagai bagian pertunjukan tersendiri. Sebagai contoh adalah juru banyaol, baringgit abanyol, banabanwal, atau pukana ringgit. Semar adalah nama dari seorang leluhur masyarakat Jawa yang bayangannya sudah dipertunjukan didalam permainan bayangan atau wayang yang sifatnya dianggap religious (keagamaan). Semar adalah nenek moyang Jawa dan merupakan tohoh yang menjadi kesayangan dari mitilogi religi asli masyarakat Jawa.