Bagimana presepsi Van Ness terhadap pandangan paradigma realisme?

realisme hubungan internasional

Bagimana pandangan Van Ness terhadap paradigma realisme?

1 Like

Secara tegas Van Ness menggugat semua pandangan paradigma realisme. Menurut Van Ness, dunia tidak lagi bekerja dalam kerangka pemikiran realis. Karenanya, Van Ness meyakini paradigma realisme sedang mengalami krisis yang disebabkan oleh semakin banyaknya anomali yang dihadapi dunia pada era kekinian: negara-negara kini lebih memilih strategi win–win daripada strategi zerosum dalam menyelesaikan perselisihan; negara-negara juga saat ini telah menunjukkan keharmonisannya karena mereka merasa saling membutuhkan dan tergantung satu sama lain; dan yang paling penting menurut Van Ness adalah kegagalan realisme untuk memberikan penjelasan tentang munculnya pendekatan “Kerjasama Keamanan.”

Untuk yang pertama, Van Ness mengambil contoh kasus senjata nuklir. Hampir semua negara paling kuat di dunia, kecuali Jerman dan Jepang (dua negara yang dikalahkan dalam Perang Dunia Kedua), memiliki senjata nuklir. Menurut Van Ness, perang besar di antara mereka sangat tidak mungkin terjadi dilihat dari alasan atau perspektif rasional manapun. Mengapa demikian? Karena perang nuklir pastinya tidak akan dimenangkan oleh pihak manapun dan perang ini hanya akan menjadi ajang bunuh diri masal di antara mereka.

Fakta ini, Van Ness kembali mengutarakan, telah menyadarkan para pembuat kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan Uni Soviet ketika terjadinya krisis rudal Kuba pada 1962. Padahal waktu itu mereka berada di ambang bencana perang nuklir. Oleh karena itu, kedua negara superpower tersebut kini lebih memilih bekerjasama dalam pengendalian senjata yang dirancang untuk membatasi bahaya senjata nuklir.

Van Ness meyakini bahwa pengalaman krisis rudal Kuba menunjukkan tidak ada definisi yang masuk akal mengenai “kepentingan nasional” dari negara besar pemilik senjata nuklir (AS, Russia, dan China) yang bisa membenarkan sebuah kebijakan untuk saling memerangi satu sama lain. Dengan demikian, tidak mungkin bagi AS dan China berperang untuk kasus Taiwan atau berperang untuk memperebutkan pulau di Laut Cina Selatan dengan menggunakan senjata nuklir.

Selain soal nuklir, Van Ness juga melihat terjadinya krisis paradigma realisme oleh karena adanya saling ketergantungan dalam hubungan antar negara. Sebagai contoh, Anda tidak bisa berhasil dalam membangun perjanjian perdagangan bebas dengan menerapkan strategi zero-sum karena negara-negara lain tentunya tidak akan ikut untuk bergabung.

Rangsangan agar banyak pihak bisa berpartisipasi dalam perdagangan internasional adalah dengan strategi win– win. Contoh lain yang juga menurut Van Ness bisa menggeser paradigma realisme ini terkait dengan adanya masalah pada konsep kemandirian. AS, misalnya, tidak akan bisa menghadapi krisis keuangan 2008 jika berpegang pada kemandirian (self-help). Washington harus mendapatkan banyak bantuan dari rekan-rekannya di OECD, dan meraih kerjasama sebanyak mungkin dengan China, agar bisa menghindari terjadinya depresi global.

Untuk itu, Van Ness menawarkan paradigma alternatif hubungan internasional mengenai “kerjasama keamanan” yang menurutnya bisa menjelaskan perkembangan internasional secara lebih baik daripada paradigma realisme. Paradigma “kerjasama keamanan” ini menurut Van Ness bisa menjelaskan sejumlah anomali dari paradigma realis, seperti perubahan iklim, proliferasi nuklir, pembangunan berkelanjutan, dan manajemen krisis ekonomi global. Pendekatan “kerjasama keamanan” ini lebih menyerukan negara-negara untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan dengan musuh-musuh potensialnya, daripada berinvestasi untuk persiapan-persiapan militer yang akan digunakan untuk memerangi mereka.

Asumsi dasar yang menggarisbawahi pendekatan alternatif ala Van Ness ini adalah persepsi ancaman telah berubah. Jika kaum tradisional berfokus pada ancaman militer, pendekatan di era kekinian lebih cenderung kepada kerjasama keamanan. Dalam hubungannya dengan keamanan ekonomi, misalnya, anarki tidak lagi menjadi pilihan karena saat ini negaranegara telah menjadi tergantung satu sama lain. Van Ness juga menyebut contoh mengenai kesehatan publik–bagaimana sebuah negara secara sendirian dapat melindungi warga negaranya dari penyakit pandemik seperti flu burung H5N1 (atau kini H7N9)? Perlawanan terhadap terorisme juga merupakan contoh lain yang disebutkan Van Ness. Van Ness juga menunjuk pada pencarian kelangsungan energi. Meski pencarian energi bisa menyebabkan persaingan dan mungkin konfrontasi antarnegara, namun dalam banyak kasus, Van Ness meyakini pemerintah negaranegara justru menitikberatkan pada kerjasama yang lebih bermanfaat.

Diakhir bahasannya mengenai kerjasama keamanan, Van Ness juga memberikan contoh lainnya pada pidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Shangri-La Dialogue, 1 Juni 2012. Menurut Van Ness, Presiden SBY telah memberikan contoh bagus tentang apa yang dimaksud dengan Kerjasama Keamanan. Saat itu tema yang diangkat SBY adalah “kerjasama geopolitik”. Dengan membandingkan sejarah masa lalu kesepuluh anggota ASEAN dengan masa kini, SBY mengatakan bahwa:

“There is no war in Southeast Asia and, in contrast with the past, ASEAN states are in charge of regional affairs. Trade barriers between ASEAN states are down, and connectivity is increasing. We have decisively moved on from a region of conflict and division, to a region of peace, progress and cooperation.”

SBY juga menambahkan bahwa “untuk pertama kalinya dalam sejarah, hubungan antara kekuatan-kekuatan besar juga berjalan dengan penuh perdamaian, kestabilan dan saling bekerjasama.”

Untuk itu, SBY kembali mengutarakan bahwa:

“We have the opportunity to build a durable architecture for peace in our region. This architecture can be more durable, and more peaceful, than at any regional order in previous decades or centuries … Both the US and China have an obligation not just to themselves, but to the rest of the region to develop peaceful cooperation … the relations of major powers are not entirely up to them. Middle and smaller powers too can help lock the major powers into this durable architecture.”

Asumsi dasar yang menggarisbawahi paradigma alternatif Van Ness ini adalah pemahaman tentang keamanan negara telah berubah. Bila dulu kaum tradisional realis berfokus pada ancaman keamanan, kini negara-negara lebih tertarik pada kerjasama keamanan.