Pandangan Islam tentang karakteristik kesehatan mental (dan juga tentang ketidaksehatan mental) terkait dengan pandangan Islam tentang kedudukan manusia sebagai hamba Allah dan pandangan mengenai unsur konsitutif manusia. Cara pandang ini sesuai dengan paradigma Islam yaitu tidak mengucilkan Tuhan dan tidak pula mengucilkan manusia.
Dalam psikologi Islami, prinsip tidak mengucilkan Tuhan tersebut adalah kristalisasi konkritnya diwujudkan dalam bentuk pengabdian kepada-Nya. Allah berfirman:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. QS. Adz-Dzariyat [51] : 56
Dalam konsep Islam, hubungan pengabdian manusia kepada Tuhan itu justru mengajarkan pembebasan, bukan pengekangan. Karena itu, dalam pandangan psikologi Islami aktualisasi diri manusia hanya dapat terwujud dengan sempurnadalam pengabdian kepada penciptanya, inilah pembebasan yang otentik dan sejati.
Itulah sebabnya sebagai makhluk, manusia hanya dibolehkan mempunyai hubungan pengabdian kepada Tuhan, kepada sang Khalik. ( Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, Jakarta: Teraju, 2004)
Secara operasional, inilah hakekat transendensi dalam psikologi Islami, yang dalam logoterapi (terapi makna) dari Victor E. Franki ekuivalen dengan konsep the will to meaning. Menurut Roger Garaudy dalam bukunya yang berjudul, “Mencari Agama pada Abad XX: Wasiat Filsafat Roger Garaudy”, terj. M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), transendensi mempunyai tiga unsur, yaitu :
- Pertama, pengakuan tentang ketergantungan manusia kepada Tuhan.
- Kedua, ada perbedaan yang mutlak antara Tuhan dan manusia.
- Ketiga, pengakuan terhadap adanya norma-norma mutlak dari Tuhan yang tidak berasal dari manusia.
Dalam konteks transendensi ini, menurut M. ‘Ustman Najati, dalam al-Qur’an ditemukan tiga pola kepribadian, yaitu pola kepribadian yang beriman, pola kepribadian yang munafik, dan pola kepribadian yang kafir. Diantara tiga pola kepribadian tersebut, satu diantaranya yang sehat mentalnya menurut tinjauan psikologi Islami adalah pola kepribadian yang beriman. Sementara itu, dua pola lainnya adalah kepribadian yang mentalnya tidak sehat.
Penting ditegaskan bahwa dalam pandangan psikologi Islami terbentuk kepribadian dengan mental yang sehat tersebut bukanlah sesuatu yang taken for granted, kondisi itu harus diraih melalui usaha dan perjuangan sadar. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa unsur konstitutif manusia terdiri dari tanah dan ruh (ciptaan) Tuhan. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat As-Sajadah [32] : 7-9:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah (7) Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (8) Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur (9)
Secara simbolis kedua unsur kostitutif manusia itu melambangkan kutub-kutub yang berlawanan dalam ke-diri-an manusia. Tanah adalah unsur yang bersifat fisik, statis, mati dan cenderung kepada kerendahan. Sedangkan ruh Ilahi bersifat metafisik, dinamis, menghidupkan, dan cenderung kepada keluhuran. Itu berarti dalam diri manusia terdapat dua kekuatan tarik-menarik yang saling bertolak belakang, yaitu kekuatan yang menarik kepada kerendahan dan kehinaan dan kekuatan yang menarik kepada keluhuran dan kesucian.
Dalam bahasan al-Qur’an hal ini diungkapkan dengan kata-kata seperti dalam surat Asy-Syam [91] : 8,
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya
Selanjutnya surat Asy-Syam yang dirujuk di atas menjelaskan, di satu pihak pendekatan ini untuk membangun kehidupan mental yang sehat, dan di pihak lain terdapat perilaku-perilaku yang membawa ketidaksehatan mental. Allah SWT berfirman dalam surat Asy-Syams [91] : 9-10:
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (9) Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (10)
Menurut Hamdani Bakran Adz-Dzaky, dalam bukunya yang berjudul, “Konseling dan Psikologi Islam: Penerapan Metode Sufistik”, pendekatan untuk mewujudkan kehidupan mental yang sehat dengan cara mengaktualisasikan di dalam diri potensi-potensi nur ilahiyah, ruh ilahiyah, nafsu ilahiyah, qalbu ilahiyah, akal ilahiyah, dan indrawi ilahiyah.
Ketika seseorang gagal mengaktualisasikan potensi-potensi ini dalam dirinya terlebih lagi bila seseorang tersebut mengotori jiwanya, baik secara sadar maupun tidak, maka nur ilahiyah yang menghidupkan kecerdasan hakiki dari dalam dirinya sebagai hamba (bisa disebut kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan makrifat) menjadi pudar atau bahkan padam.
Indikasinya apabila terjadi ketidak-sehatan jiwa dalam diri manusia terlihat pada lima hal,
- Pertama, jiwanya kehilangan kemampuan untuk mendorong melakukan perjuangan menegakkan sikap, perilaku, potensi mutmainnah, radhiah, dan mardhiah.
- Kedua, akalnya kehilangan kemampuan untuk merenungkan dan menganalisis ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat qauliyah maupun ayat-ayat kauniyah.
- Ketiga, kalbunya kehilangan kemampuan untuk menangkap dan menerima hidayah, irsyad, dan ilham ilahiyah.
- Keempat, inderawinya kehilangan kemampuan menangkap objek dari hakikat lahiriyah ayat-ayat Allah serta hakikat fenomena dan peristiwa yang terjadi dilingkungannya.
- Kelima, jasadnya kehilangan kemampuan untuk berdiri kokoh dalam mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, sebaliknya justru sangat kokoh dalam mengaplikasikan nilai-nilai keburukan dan kemungkaran.