Bagaimanakah tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap kasus Basuki Tjahja Purnama?

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

1 tahun penjara dgn masa percobaan 2 tahun. Artinya bila selama 2 tahun Basuki Tjahja Purnama tidak melakukan tindak pidana maka dia bebas tidak dipenjara. Tetapi bila dalam masa 2 tahun Basuki Tjahja Purnama melakukan tidak pidana maka barulah dihukum 1 tahun

Berikut catatan kecil dari DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH., Ahli Hukum Dewan Pimpinan MUI, terkait dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap kasus Basuki Tjahja Purnama, kasus penistaan agama.

Pasal 156
Barang siapa di rnuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.


Hukum Pidana Indonesia memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana (model dualistis), jadi tidak menyatukan keduanya (model monoistis).

Pada pertanggungjawaban pidana sangat terkait erat dengan unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus/opzet).

Pada Pasal 156a huruf a KUHP dituliskan secara expressive verbis dengan kata-kata “dengan sengaja”. Sebaliknya pada Pasal 156 KUHP tidak disebutkan unsur kesengajaan secara eksplisit. Namun semua ahli hukum berpendapat, jika tidak disebutkan, maka dianggap ada kesengajaan itu dan dianggap terbukti jika semua unsur yang disebutkan terbukti.

Dengan demikian, kesengajaan pada Pasal 156 KUHP mengandung ketiga corak kesengajaan. Ketiga kesengajaan tersebut bisa sengaja dengan maksud (opzet als oogmerk), sengaja dengan kepastian (dolus directus) atau sengaja dengan kemungkinan (dolus eventualis).

Pasal 156a huruf a juga membuka kemungkinan masuknya salah satu corak kesengajaan tersebut. Adapun pada Pasal 156a huruf b hanya kesengajaan dengan maksud, secara a contrario, tertutup masuknya kesengajaan dengan kepastian maupun kesengajaan dengan kemungkinan. Dapat dipahami pada Pasal 156a terkandung dua bentuk kejahatan. Huruf a bersifat formil adapun huruf b bersifat materil.

Permasalahannya mengapa JPU tdk merumuskan sikap batin (mens rea) terdakwa berupa unsur kesalahan (schuld) dalam wujud kesengajaan itu?

Kesengajaan sangat penting dan strategis guna memintakan pertanggungjawaban pidana kepada terdakwa. Jika hal ini tidak terbukti, maka Majelis Hakim akan memutuskan “lepas dari segala tuntutan hukum”.

Padahal kalau kita cermati pada pada kasus aquo (in casu Basuki T. Purnama alias Ahok), pada Pasal 156 itu ada kesengajaan kemungkinan. Disini, terdakwa harus dianggap memenuhi unsur penghinaan terhadap salah satu golongan penduduk yang berdasarkan agama. Kata-kata “…jadi jangan percaya sama orang…” dan “…dibodohin gitu…”, walaupun tidak dimaksudkan untuk menghina Ulama dan/atau umat Islam, hanya dimaksudkan kepada lawan-lawan politiknya, namun timbulnya akibat yang tidak dikehendaki - penghinaan terhadap Ulama dan/atau umat Islam - merupakan suatu bentuk dari kesengajaan dengan kemungkinan (dolus eventualis). Terdakwa harus bertanggungjawab pada kejadian ini.

Contoh menarik yang dapat menjadi rujukan, dapat dilihat pada kasus kue taart beracun kota Hoorn.

Kemudian, perlu dicatat bahwa karena dakwaan JPU disusun dalam bentuk alternatif, maka haruslah ada keterhubungan sistemik antara Pasal 156a huruf a dengan Pasal 156 KUHP.

Pasal 156 apabila dihubungkan ke Pasal 156a huruf a ada kesengajaan kepastian (dolus directus). Disini, terlihat terdakwa telah memenuhi unsur Pasal 156 KUHP, namun juga timbul akibat yang tidak dikehendaki, yakni penodaan terhadap Surah Al-Maidah : 51, sebagaimana dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang dalam Pasal 156a huruf a KUHP.

Contoh kasus “Thomas van Bremerhaven” sangat relevan untuk digunakan sebagai acuan pada perkara ini. Timbulnya akibat yang tidak dikehendaki dan sekaligus tidak dapat dihindari dipandang sebagai wujud kesengajaan kepastian atau keniscayaan.

Dengan kata-kata “…jadi jangan percaya sama orang…” dan " … perasaan gak bisa pilih niihhh, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu…" adalah jelas memposisikan Ulama dan/atau umat Islam yang menyampaikan makna kandungan Surah Al-Maidah ayat 51 sebagai pembohong dengan menggunakan Al-Maidah ayat 51 secara tidak benar alias salah. Al-Maidah ayat 51 adalah benar, sepanjang dimaknai atau ditafsirkan sesuai dengan pendapatnya. Dengan lain perkataan, “sepanjang diartikan lain, maka itu adalah suatu kebohongan.” Pada buku terdakwa “Merubah Indonesia” halaman 40, paragraf ke-4, ungkapan perasaan tersebut telah disampaikan.

Terdakwa, telah menggunakan Al - Maidah ayat 51 sebagi “alat kebohongan” dan termasuk bentuk kesengajaan dengan kepastian. Kata “pake”, yang sempat menjadi polemik, menurutnya penulis justru menjustikasi hal tersebut.

Lebih lanjut kesengajaan dengan maksud (opzet als oogmerk) pada Pasal 156a huruf a KUHP diwujudkan dengan menjadikan Al - Maidah ayat 51 sebagai “sumber kebohongan”. Disini terdakwa memang menghendaki dan sekaligus mengetahui baik perkataan maupun akibat dari perkataannya tersebut. Terlihat jelas terdakwa memang memiliki niat jahat (dolus malus) untuk menghina Surah Al-Maidah ayat 51. Niat jahat tersebut terkait erat dengan motif yakni kekesalannya terhadap Surah Al-Maidah yang menyebabkan kekalahannya pada Pilkada Babel tahun 2007 yang lalu.

Dalam menghadapi Pilkada Jakarta tahun 2017, ia sudah mempersiapkan rencana untuk mendapatkan dukungan umat Islam, yakni dengan upaya agar umat Islam tidak mempercayai perintah “wajib memilih Gubernur Muslim.” Niat itu sudah terekam dalam buku “Merubah Indonesia”, tepatnya pada halaman 40, yang ditulisnya pada tahun 2008.

Perlu dicatat, perihal niat dalam ilmu hukum pidana dimasukkan dalam konteks “percobaan” (pogging), bukan pada delik yang sudah selesai.

Niat memang tidak sama dengan kesengajaan. Akan tetapi, apabila niat sudah ditunaikan dalam bentuk perbuatan dengan sengaja, maka sudah pasti didalam kesengajaan itu terkandung niat. Oleh karenanya, niat tidak perlu dibuktikan, cukup kesengajaannya saja.

Hampir semua tulisan ini telah saya jelaskan secara terang benderang ketika saya memberikan keterangan dipersidangan sebagai Ahli Hukum Pidana ‘yang memberatkan’ terdakwa.

Namun, hari ini saya sangat kecewa mendengar substansi Surat Tuntutan JPU yang tidak mengkonstruksikan kesengajaan ini.

Tidak berhenti disini, kekecewaan masyarakat dan termasuk diri penulis mendengar tuntutan yang didasarkan pada Pasal 156 KUHP, adalah tidak logis dan sangat aneh. Apalagi tuntutan pidana selama 1 (satu) tahun dengan masa percobaan selama 2 (dua) tahun, telah mencederai rasa keadilan masyarakat.

Otista, Jakarta Timur.
20 April 2017.


Bagaimana pendapat anda terkait dengan tuntutan JPU terhadap kasus Basuki Tjahja Purnama pada kasus Penistaan Agama tersebut ?

Kalau melihat dari kasus Basuki Tjahja Purnama tersebut, faktor kesengajaan yang mungkin paling sesuai adalah Kesengajaan dengan Kemungkinan (voorwaardelick opzet atau dolus eventualis).

Mengapa demikian ?

Karena Ciri dari Kesengajaan dengan Kemungkinan adalah Kondisi jiwa pelaku tidak menghendaki akibat itu terjadi, tapi semestinya ia menyadari bahwa jika itu dilakukan, kemungkinan besar akibat yang tidak dikehendakinya itu akan terjadi.

Ahok kemungkinan besar, karena kita tidak tahu niat sesungguhnya, tidak menghendaki akibat pidatonya akan melukai hati umat Islam, tetapi ada kemungkinan Ahok menyadari bahwa apa yang disampaikan tersebut mungkin akan terjadi kontroversi di masyarakat.

Kemungkinan apakah Ahok menyadari atau tidak, seharusnya dibuktikan di pengadilan.

Agama adalah hal yang paling sensitif, apalagi disampaikan di muka umum. Karena agama lebih menyangkut masalah keimanan.

Kalau melihat pasal 156 KUHP, maka kesengajaan dengan kemungkinan itu terletak pada hal penghinaan terhadap beberapa golongan rakyat Indonesia, yaitu umat Islam.

Ada pun penghinaan yang dimaksud adalah kalimat Ahok berikut ini :

“Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya ya kan? dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak bapak-ibu ya. Jadi kalau bapak-ibu perasaan enggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu ya, enggak apa-apa. Karena ini panggilan bapak ibu. Program ini jalan saja. Jadi, bapak ibu enggak usah merasa enak, karena nuraninya enggak bisa pilih Ahok. Kalau kerasa enggak enak, bapak ibu bisa mati pelan-pelan lho kena stroke” (sumber : detik)

Sehingga sepakat dengan JPU, bahwa Ahok dituntut dengan menggunakan pasal tersebut.

Pertanyaannya adalah, mengapa JPU menuntut agar hakim Menjatuhkan pidana 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun, meminta agar hakim menahan beberapa bukti dan menyerahkan bukti sebagian kepada terdakwa. Dan juga menuntut Ahok untuk membayar biaya perkara sebesar Rp10ribu ?

Hal tersebutlah yang mungkin “menyakiti” beberapa umat Islam, mengingat kasus tersebut benar-benar menyita perhatian Nasional, dengan 212-nya.

Dalam menuntut di persidangan, harus melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu, yang biasa disebut unsur yang meringankan dan unsur yang memberatkan.

Unsur yang meringankan adalah

  • Ahok sudah mengikuti persidangan dengan baik.
  • JPU juga menaruh peran Buni Yani sebagai salah satu tindakan yang memengaruhi kondisi di masyarakat, sehingga dipertimbangan sebagai unsur meringankan.
  • Terdakwa juga telah membantu untuk membangun Jakarta.
  • Terdakwa bersikap lebih humanis," paparnya.

Sedangkan unsur yang memberatkan adalah apa yang dilakukan Ahok menyebabkan keresahan di masyarakat dan membuat kesalahpahaman di masyarakat.

Itulah mengapa Ahok dituntut 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun, bukannya dituntut 4 tahun sebagai hukuman maksimal pasal 156 KUHP.

Berikut adalah tuntutan lengkap JPU pada kasus Ahok,

“Kami penuntut umum, menuntut Majelis Hakim memeriksa dan yang mengadili. Satu, menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana di muka umum. Menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap satu golongan sebagaimana diatur Pasal 156 KHUP. Dua menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama satu tahun dengan masa percobaan dua tahun,” ucap Ali.

Pada akhir sidang, Ali menolak merinci pertimbangan jaksa mengambil tuntutan ini. “Kami punya pertimbangan sendiri, independen,” katanya. Ia menyanggah ada intervensi pihak lain dalam pengambilan keputusan jaksa. dikutip dari tempo.

Jadi kalau jaksa sendiri tidak mau merinci pertimbangannya mengapa menuntut 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun, dengan alasan ke-independen-an jaksa, maka agak susah “menduga-duga” mengapa jaksa penuntut umum menuntut seperti itu.

Pakar hukum pidana Romli Atmasasmita mengatakan, baru kali ini terdakwa kasus dugaan penistaan agama dituntut hukuman begitu ringan.“Tidak memenuhi rasa keadilan itu. Beberapa kasus penistaan agama itu minimal dua tahun,” kata Romli saat dihubungi SINDOnews, Kamis (20/4/2017).

Menurut Romli, sejumlah terdakwa kasus dugaan penistaan agama seperti Ahamd Mosadek, Arswendo, hingga Andi Muluk tidak dikenakan hukuman masa percobaan.

“Dengan tuntutan seperti itu, dia (Ahok) tidak dipenjara. Ini tidak adil. Minimal dua tahun,” ucap Romli.

Hukuman percobaan (voorwaardelijke) adalah hukuman bersyarat atau hukuman dengan perjanjian. Arti hukuman percobaan adalah meskipun terdakwa dinyatakan bersalah dan dihukum dengan hukuman penjara, ia tidak perlu dimasukkan penjara atau lembaga pemasyarakatan asalkan selama masa percobaan ia dapat memperbaiki kelakukannya. Artinya ia tidak melakukan kejahatan lagi atau tidak melanggar perjanjian, dengan harapan apabila berhasil maka ia tidak perlu menjalani hukuman selamanya. (Sahlan Said: 2006).

Aturan tersebut berdasarkan Pasal 14a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:

(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.

Kalau mengacu pada pasal tersebut, maka hukuman masa percobaan, dimana tidak perlu dilakukan pemenjaraan, hanya berlaku apabila hukuman pidana-nya tidak lebih dari 1 tahun.

Mengukur Bobot Penghinaan Islam antara Ahok dan Arswendo. Cukupkah 1 tahun bagi Ahok?

Oleh Ari Wibowo (Arbo)
Co-Founder Narasi Institute
Presidium Sekber Aktivis UI

Pagi ini Kamis (20/4) Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan penistaan agama oleh ahok yaitu satu tahun hukuman penjara dan dua tahun masa percobaan. Hampir 27 tahun yang lalu Arswendo Atmowiloto dituntut 5 tahun penjara dengan tuduhan sama penistaan agama. Bagaimana bobot penghinaan keduanya terhadap islam. Sudah pantaslah tuntutan jaksa terhadap Ahok?

Kasus Ahok dan Arswendo

Kasus penistaan ahok bermula dari pernyataan Ahok selaku Pejabat Gubernur Jakarta saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016 yang menyitir Surat Al-Maidah ayat 51.

Ahok menghina Quran dan Ulama dengan mulutnya sendiri sebagai buah dari pemikirannya dan ilmunya. Dalam hal ini Ahok secara sadar melakukannya dan bermaksud agar dirinya dapat dipilih menjadi Gubernur oleh pendengar muslimnya meski ia beragama Kristen.

Beda dengan Arswendo, dia tidak punya jabatan, dia hanya budayawan yang memimpin tabloid monitor dengan oplah tidak besar. Dia menempatkan Nabi Muhammad di urutan 11 dan menempatkan Soeharto sebagai urutan pertama sebagai tokoh yang paling diidolakan di Indonesia.

Pengumuman tabloid Monitor pada 15 Oktober 1990 bukan atas pemikirannya sendiri tapi atas hasil survey mengenai siapa tokoh yang paling diidolakan oleh masyarakat Indonesia.

Meski dia adalah penanggungjawab tabloid, suara terbanyak Soeharto diperoleh dari jawaban masyarakat yang disampaikan melalui kartu Pos. Tercatat monitor menerima hingga sebanyak 33.963 kartu pos dan terdapat sejumlah 667 nama yang diajukan para pembaca. Hasil dari survey itu adalah menempatkan antara lain Presiden kala itu, Soeharto, di urutan pertama, sedangkan Nabi Muhammad berada di urutan kesebelas.

Dia akhirnya divonis penjara LIMA Tahun dan pada saat banding di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, Arswendo akhirnya dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara.

Arswendo diadili saat Soeharto dan pemerintahan Orde Baru kuat. Pemerintah orde baru memberikan keadilan dengan vonis yang berat tersebut.

Arswendo mengakui, metodologi yang dipakainya kurang kuat karena hanya mengandalkan kepada kartu pos dari para pembaca Monitor sehingga setiap warga dapat mengirimkan pendapat mereka masing-masing.

Dalam bahasa lugas, penghinaan Arswendo berasal dari Hasil Survey para 33,963 responden. Bobot penghinaannya karena salah metodologi dan harus menjalani hukuman penjara 4 tahun 6 bulan.

Namun Ahok, bobot penghinaan terhadap islam lebih besar daripada Arswendo. Pertama, dia tokoh publik yaitu Gubernur DKI Jakarta yang perkataannya diliput banyak media. Kedua penghinaannya itu berasal dari pemikiran dan isi kepalanya sendiri bukan hasil Survey orang lain. Ketiga dia menghinakan Quran dan Para Ulama sekaligus.

Kenapa Ahok ringan dan Arswendo lebih berat tuntutannya?

Arswendo dikenakan tuntutan yang lebih berat daripada Ahok karena Jaksa Agung adalah kader Nasdem yang sejak awal berpihak pada Ahok. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat ini adalah hasil kompromi antara Jaksa Agung sebagai bos JPU dan independensi JPU. Hasilnya adalah carut marut sistem hukum negeri ini. Hukum adalah barang transaksi bukan lagi objektivitas yang harusnya dijunjung tinggi. Jaksa Agung Prasetyo berkali-kali diminta Nasdem dan Surya Paloh untuk membebaskan Ahok namun dukungan masif dari masyarakat akan peradilan yang benar dan adil membuat posisi Prasetyo jadi sulit. Akhirnya ini kompromi yang dinilai terbaik yaitu meringankan tuntutan JPU menjadi 1 tahun nanti majelis hakim akan memutuskan sama atau lebih rendah dari tuntutan JPU.

Derasnya tekanan terhadap Majelis Hakim akan menyebabkan Hakim akan memvonis setidaknya 6 bulan penjara kepada Ahok. Dan ini adalah hasil kompromi jahat dalam peradilan Indonesia.

Mau dibawa kemana negeri ini, ketika hukum dipermainkan oleh penguasa. Jaksa agung adalah kader Nasdem yang mendukum Ahok di Pilkada DKI dan makin terlihat dari penundaan pembacaan tuntutan JPU yang tidak masuk akal, belum selesai ketik.

Pesan untuk Jokowi

Pemerintah Jokowi dan Jaksa Agung jangan koyol melindungi penista agama diatas keadilan dan kebenaran. Belajarlah dari Pemerintahan sebelumnya. Ketika hukum terhadap penista agama dipermainkan maka distabilitas dan disintegrasi bangsa terjadi dan secara jangka panjang akan merugikan bangsa Indonesia semua. Bercerminlah Presiden Jokowi dengan cermin masa depan. (akw)

sebagai orang awam yang gak paham-paham banget soal hukum, gak pernah baca pasal-pasal juga. saya cuma berharap Jika Ahok telah di adili sedemikian panjang dan akhirnya di jatuhi vonis. walaupun Vonisnya masih belum memuaskan banyak pihak, dan aku gak tahu Hukuman apa yang seharunya menurut mereka “adil”.

maka penista-penista Agama lain pun di negeri ini harus di adili, mereka yang membakar Vihara, mereka yang membakar gereja, mereka yang merusak mesjid dan mereka-mereka yang suka mengutip ayat-ayat agama lain lalu ditertawakan.

Sudahkah kita berlaku Adil sejak dalam pikiran??

Pertanyaan diatas yang harusnya menjadi dasar pemikiran kita semua dalam menentukan sebuah keputusan, terutama untuk kasus ini, adalah dikhususkan untuk aparat penegak hukum.

Bukankah segala kasus hukum harus diselesaikan di pengadilan ? Dimana kata dasarnya adalah kata ADIL. Bahkan kalau kita tarik lebih jauh lagi, bukankah cita-cita bangsa Indonesia adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Menurut Purnadi Purbacaraka, adil dalam hukum, atau biasa disebut keadilan, adalah keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum.

Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum (di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum).

Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya lebih berdimensi yuridis. Otto mendefinisikan kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu :

  • Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara;
  • Instansi-instansi penguasa(pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
  • Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
  • Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan;
  • Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Menurut Satjipto Rahardjo, kepastian hukum adalah “sicherkeit des Rechts selbst” (kepastian tentang hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu :

  • Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht).
  • Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, ”kesopanan”.
  • Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan.
  • Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.

Sedangkan arti kesebandingan hukum adalah suatu keselarasan hubungan antara manusia dalam masyarakat, dan antara manusia dengan masyarakatnya yang sesuai dengan moral yang berlaku didalam masyarakat tersebut.

Peran kunci dalam pengadilan di Indonesia adalah Hakim, dimana hakimlah yang memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak dan menetapkan hukumnya. Karena hakim adalah manusia biasa, dengan segala keterbatasannya, maka putusan hakim hanya berdasarkan dari fakta-fakta persidangan saja.

Sehingga terkait dengan tuntutan JPU, hanya bisa dinilai dengan fakta-fakta persidangan yang ada.

[details=Referensi ]* Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Jakarta, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010

  • Jan Michiel Otto terjemahan Tristam Moeliono dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung, PT REVIKA ADITAMA, 2006
  • Satjipto Rahardjo,Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta, UKI Press, 2006[/details]