Bagaimanakah Tradisi Lisan dalam Sastra Diaspora?


Sastra lisan akan terus tumbuh berkembang di masyarakat,

Bagaimanakah tradisi lisan dalam sastra diaspora?

Tradisi Lisan dalam Sastra Diaspora

Tradisi lisan adalah induk munculnya sastra lisan. Di wilayah diaspora, marginal, sastra lisan dianggap lebih bebas bergerak untuk menyuarakan hati nurani. Biasanya, para pendukung sastra lisan merasa tertekan menghadapi kekuasaan. Yang diperjuangan secara estetis adalah persoalan identitas budaya yang tertindas. Dalam konteks ini, antropologi sastra berusaha memasuki wilayah ketegangan identitas budaya itu secara proporsional.

Mercer (Barker, 2005:206) berpendapat bahwa identitas begitu hangat diperdebatkan ketika ia sedang mengalami krisis. Kondisi semacam ini menantang peneliti antropologi sastra untuk melacak krisis identitas budaya. Identitas lokal yang unik biasanya selalu ditindas oleh budaya kekuasaan. Apabila lebih kritis, budaya lokal tersebut sering dibungkam. Begitu pula ketika menyentuh aspek-aspek religi tertentu, identitas lokal sering dihujat dan dianggap sesat. Akibatnya, sastra lisan yang menyuarakan kemurnian identitas itu patah semangat, bahkan sangat mungkin perdebatan identitas itu sampai berurusan dengan hukum.

Menurut Pieterse (Barker, 2005:206), di dalam kehidupan memang sering muncul sekat-sekat budaya. Paling tidak, ada dua sekat yang membatasi identitas budaya, yaitu (1) budaya yang terikat tempat dan terlalu berorientasi ke dalam, terbelakang dan (2) budaya yang menuju “translokal” yang berorientasi ke luar, lebih mengemuka. Tradisi lisan sering tidak berdiri sendiri. Kedua sekat budaya itu selalu tarik-menarik ingin mewujudkan identitas budaya yang beragam. Tugas antropologi sastra adalah membaca aktivitas mereka dalam mempertahankan identitas. Identitas budaya unik akan muncul sebagai sebuah diaspora; di satu pihak ingin berkarakter lokal, di lain pihak hendak melakukan transglobal.

Banyak tradisi lisan yang diresepsi oleh penyair modern. Hutomo (1992:144) mencontohkan bahwa pantun sebagai sastra lisan sering diresepsi oleh penyair modern. Dalam karya Krisna Mustajab, misalnya, terdapat sajak berjudul Lagu Gadis Bali yang memanfaatkan pantun untuk memberikan nilai tradisional dalam karyanya. Hal ini menjadi tanggung jawab antropologi sastra untuk mengungkap seberapa besar peran tradisi budaya lama terhadap tradisi kepenyairan modern.

Di Jawa cukup banyak pula cerita pendek yang memanfaatkan tradisi budaya lisan. Begitu juga dalam geguritan, banyak penyair yang menggunakan tembang sebagai pemanis sajaknya. Karya-karya Turiyo Ragilputro, Krishna Miharja, Jayus Pete, Suwardi Endraswara, dan lain-lain banyak memanfaatkan keanekaragaman budaya lisan untuk memberikan muatan lokalitas puisinya. Konteks ketradisionalan tersebut ternyata memiliki nilai plus untuk menggairahkan identitas lokal sebuah puisi.

Hal itu juga terjadi di dalam karya-karya lokal di wilayah Indian dan Karibia. Menurut Ratna (2004:209), di Indian berkembang teori rasa, dhvani, dan alankara yang dapat dimanfaatkan untuk membahas kebudayaan Indian, bahkan juga ada tradisi negritude untuk menghayati sastra kulit hitam. Berbagai ragam teori tersebut sebenarnya berpusar pada upaya pemahaman budaya dalam sastra. Sastra yang menjadi medium budaya perlu dipelajari dari aspek-aspek kulturalnya.

Karibia adalah wilayah yang warganya banyak berbahasa Inggris. Mereka juga fasih berbahasa lokal untuk menghasilkan karya impresif prosa dan puisi. Karya mereka umumnya melukiskan sebuah daerah dan komunitas sastra yang hidup dan beberapa penulis telah melahirkan sastra berskala internasional. Ini lingkaran sastra yang secara historis dikaitkan dengan kehidupan artistik “metropolitan” pusat sastra Inggris seperti London atau New York. Penulis Indian Barat belum menyadari posisi ironis mereka. Dengan kata lain, ada kecenderungan untuk melihat pembicaraan yang orang-orang memberikan kata-kata aspirasi kolonial (Benson, 1993:77). Jadi, kesadaran penulis poskolonial yang tergolong diaspora cukup penting diperhatikan oleh peneliti antropologi sastra. Apakah para penulis sastra masih percaya diri atau takluk pada warisan kolonial Inggris?

Memang, menurut Brown (Benson, 1993), negarawan yang menguasai sastra India Barat, terutama puisi, telah “dicap” untuk mengubah kehampaan dari masa lalu ke dalam sumber kesadaran dirinya, tetapi seniman memiliki pandangan seperti halnya seorang penulis dalam lingkungan kolonial. Mereka telah mengetahui bahwa hasil cipta sastra elite banyak diapresiasi oleh pembaca metropolitan di lingkungan kolonial. Sampai tahun 1960, sebagian besar dialog yang melibatkan bagian-bagian karakter “rakyat” tertanam dalam narasi, ditulis dalam bahasa Inggris standar.

Penyair dan dramawan pada jarak tertentu sering memperdebatkan manfaat novel sebagai lengkap dalam bahasa. Seperti pilihan terhadap implikasi politik serta estetika yang akan menjadi pernyataan solidaritas, seniman memutuskan bahwa pendukung kolonial merasa mereka memiliki pesan politik untuk disampaikan kepada audiens. Akan tetapi, tentu saja mereka tidak bisa menyampaikan pesan itu kepada yang paling membutuhkan agar memiliki kesadaran yang meningkat. Mereka menggunakan bahasa penulis dan karenanya terasing.

Pidato nonelite Indian Barat sangat beragam sebagai hasil dari interaksi yang kompleks dari situasi sejarah. Untuk satu hal, kolonis Inggris itu sendiri banyak campuran sehingga tidak ada standar tunggal dari “Raja Inggris” untuk didengar. Keragaman ini ditekankan di tempat-tempat seperti Barbados, tempat orang-orang Irlandia didominasi kalangan penjajah, dan Jamaika yang kebanyakan pemukim kulit putihnya awalnya berasal dari Skotlandia.

Pada saat yang sama, para budak yang diambil dari berbagai bagian Afrika dan berbagai latar belakang linguistik bersatu. Perdagangan budak bergerak secara bertahap ke arah timur sepanjang pantai Afrika Barat selama masa penjajahan sehingga pulau-pulau yang dihuni sejak dini seperti Jamaika menerima banyak orang Ashanti yang berbahasa budak, sementara pulau-pulau terjajah kemudian didominasi oleh orang-orang dari Dahomey dan kemudian Yoruba yang berbahasa daerah.

Orang Inggris dari berbagai wilayah selanjutnya dipengaruhi oleh orang Eropa lainnya yang kebetulan menonjol di daerah Jamaika, daerah kantong berbahasa Inggris di Greater Antilles, dikelilingi oleh pulau berbahasa Spanyol, sementara Kepulauan Lesser Antilles lebih dalam kontaknya dengan Guyana Perancis dan dengan Belanda.

Untuk melengkapi campuran, wilayah tertentu (terutama Trinidad dan Guyana) sangat dipengaruhi oleh tenaga kerja perkebunan yang diimpor dari India menyusul perbudakan. Masih ada wilayah lainnya, seperti Windwards Inggris, yang relatif terlambat dalam membasmi populasi asli mereka dan begitu dipengaruhi oleh bahasa Amerindian (Amerika–Indian-pen.) juga.

Meskipun warisan linguistik campuran, ada beberapa bahasa Char yang berbeda dari sisi fonologi, tata bahasa, leksikon, intonasi, dan tepuk yang khas dari semua varietas India Barat Inggris. Secara keseluruhan, bahasa Inggris India Barat jelas berbeda dari bahasa Inggris dari Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada. Misalnya, Indian Barat Inggris cenderung menggunakan suku kata lebih terbuka, vokal nasal kurang daripada standar bahasa Inggris, dan relatif lebih mudah diucapkan dibandingkan standar bahasa Inggris. West Indian English cenderung menghilangkan bagian ujung untuk jamak dan lampau. Ada godaan untuk mengurangi perbedaan, seolah-olah hanya kebiasaan berbicara dan varian dialektis yang tidak signifikan pada standar bahasa Inggris. Akan tetapi, maksud dari pendukung bahasa nasional adalah untuk menunjukkan bahwa bahasa Inggris Indian Barat cukup berbeda dari standar bahasa Inggris sehingga merupakan suatu cara pengodean yang bereaksi terhadap dunia.

Dalam masyarakat diaspora, sastra lisan sering dijadikan wahana jeritan budaya. Banyak rakyat yang tertindas kekuasaan lalu menjerit lewat sastra lisan. Itulah sebabnya antropologi sastra perlu memasuki relung-relung hidup masyarakat yang penuh jeritan itu. Jeritan ataupun tangisan adalah potret budaya setempat. Terlebih lagi, jika dibumbui oleh segala tuntutan hidup, tentu budaya diaspora itu menyuburkan sastra lisan. Aneka gerakan estetis tersebut biasanya dipicu oleh tokoh-tokoh lokal yang kurang mendapat perhatian penguasa. Akibatnya, pertunjukan sastra lisan berubah menjadi semacam kritik pedas arus diaspora kepada kekuasaan di tingkat sentral budaya.

Perlu diketahui bahwa menurut Sedyawati (2008:7–8), tradisi lisan dapat menjadi corong keanekaragaman budaya. Di dalam tradisi lisan terdapat sastra lisan, ada yang tergolong murni dan ada yang telah berubah. Keberadaan tradisi lisan itu umumnya semakin dipengaruhi oleh tuntutan praktis-pragmatis untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Oleh karena itu, antropologi sastra perlu menggali aspek-aspek perubahan sastra lisan terkait dengan makna dan fungsinya di masyarakat. Bahkan, ketika peneliti mampu menemukan sebab-sebab perubahan, jelas lebih bermanfaat.

Ada beberapa kategori tradisi lisan yang memikul beban sastra lisan, yaitu:

  1. Tradisi lisan murni yang digelar tanpa bumbu-bumbu, misalkan macapatan, tetapi sekarang macapatan sudah semakin berubah ke kolaborasi macapat dan gending;
  2. Tradisi lisan yang disertai gerak tari sebagai pertunjukan, misalkan dalam sebuah ritual;
  3. Tradisi lisan yang diiringi instrumen, biasanya bernuansa religius, misalkan kentrung dan laras madya. Segala aktivitas yang menampilkan sastra lisan tersebut patut diduga akan memikul pesan budaya yang beraneka ragam.
Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf