Bagaimanakah Tantangan Poskolonial?

image
Sebagai salah satu kajian dalam sastra, poskolonial juga memiliki tantangan tersendiri.

Bagaimanakah tantangan poskolonial?

Tantangan Poskolonialisme

Berbicara tentang penjajah—terjajah seringkali tidak mudah dikategorikan. Australia kulit putih meskipun bagian dari jajahan Inggris, posisinya tidak sama dengan kaum Aborigin. Kanada yang kulit putih akan mempunyai posisi yang berbeda dengan India yang kulit berwarna, berbeda dengan penulis-penulis kulit putih Afrika Selatan (sebuah kelompok kecil di tengah mayoritas bangsa kulit hitam), juga dengan Singapura meskipun negara-negara tersebut sama-sama jajahan Inggris. Posisi yang sangat khusus dialami oleh Amerika Serikat, negara bekas jajahan Inggris yang kini menjadi negara adidaya. Amerika bukan lagi sebagai bangsa terjajah tetapi malah sebagai bangsa “penjajah kesiangan”. Bahkan bagi Eropa, pengaruh Amerika yang sering dinamai dengan gejala McDonalisasi dan Coca-colanisasi, adalah sebuah hegemoni yang perlu dinegosiasi.

Bagi Indonesia, bentuk penjajahan baru tidak hanya dilakukan oleh negara seperti Amerika dan negara kaya lainnya dalam membentuk blok perdagangan bebas yang lebih dikenal dengan globalisasi, tetapi juga oleh negara tetangga kecil seperti Singapura, atau lebih tepatnya malah oleh perusahaan-perusahaan transnasional seperti Microsoft, Exxon Mobile atau Temasek. Dalam kasus Temasek, perusahaan asal Singapura yang menguasai saham Indosat dan Telkomsel sekaligus ini telah melanggar praktik monopoli dalam dunia persaingan usaha telekomunikasi Indonesia. Marwan Batubara menuturkan analisisnya dalam Republika (via Suara Muslim online, 22/11/07) sebagai berikut.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada Senin 19 November 2007 membacakan putusan tentang pelanggaran UU No 5 Tahun 1999, yang berkaitan dengan kepemilikan silang yang dilakukan oleh kelompok usaha Temasek (Temasek) dan praktik monopoli Telkomsel. Putusan tersebut antara lain menyatakan bahwa Temasek terbukti melanggar Pasal 17 ayat (1) huruf b dan Pasal 27 huruf a UU No 5/1999.

Atas pelanggaran tersebut Temasek antara lain diperintahkan untuk melepas kepemilikan sahamnya di salah satu perusahaan, Indosat atau Telkomsel, membayar denda Rp 250 miliar dan menghentikan praktik pengenaan tarif tinggi dengan menurunkan tarif layanan seluler sekurangkurangnya 15 persen.

Karena praktik monopoli yang dilakukan oleh Temasek, Majelis KPPU menghitung bahwa selama periode 2003-2006, konsumen layanan seluler di Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp 14,76 triliun hingga Rp 30,80 triliun. Hal ini terjadi antara lain karena adanya kemampuan pengendalian yang dilakukan oleh Temasek terhadap Telkomsel dan Indosat yang menyebabkan melambatnya perkembangan Indosat sehingga tidak efektif bersaing dengan Telkomsel, yang berujung pada tidak kompetitifnya pasar industri seluler di Indonesia.

Dalam era globalisasi sekarang ini, bentuk-bentuk eksploitasi itu tidak lagi dikuasai oleh negara asing sebagai state, tetapi seringkali oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang kepemilikan sahamnya diperjualbelikan di pusat-pusat saham dunia, kantor pusatnya mungkin di New York, pemimpin direksinya mungkin saja orang Jerman, karyawannya bisa berasal dari negara mana saja, dan lahan kerjanya bisa di negeri seperti Indonesia. Bentuk-bentuk koorporat semacam inilah yang kini menjelma menjadi penjajah baru bagi negara-negara tertentu, seperti Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam dan mentalitas para birokratnya jeblok, mudah disuap. Koorporat semacam inilah yang mampu membayar pusat-pusat kajian (lewat dana beasiswa untuk riset dan sebagainya) guna melegitimasi kiprahnya.

Begitulah, kajian poskolonial tidak hanya sebatas permasalahan sastra, tetapi terkait dengan konteks jaringan kekuasaan seperti penguasaan aset-aset negara bahkan ke tingkat yang paling serius seperti proliferasi senjata nuklir. Logika bagi Amerika bahwa kepemilikan senjata nuklir hanya bagi kulit putih dan terlarang bagi Iran untuk memilikinya adalah jelas-jelas pandangan poskolonial. Lewat proliferasi nuklir Amerika mendefinisikan keamanan nuklir bagi sekutunya dan bahaya nuklir bagi negara atau pihak lawan. Sayangnya Amerika kini memandang musuh utamanya adalah Islam (baca: teroris). Bagaimana Amerika melarang negara lain untuk memiliki senjata nuklir dan setengah mati melarang Iran atau Korea Utara untuk memproduksinya. Amerika memfasilitasi pengurangan senjata nuklir. Ironisnya pemilik nuklir terbesar ada di Amerika. Persepsi tentang nuklir dan siapa saja yang memilikinya adalah permasalahan yang sangat pelik. Bukan karena dominasi Amerika dalam menentukan siapa yang boleh memiliki dan siapa yang tidak bleh memilikinya, tetapi karena ledakan nuklir bisa menghancurkan dunia.

Arundhati Roy mengupas permasalah nuklir ini dari perspektif poskolonial dengan tajam manakala India memasuki abad nuklir bersaing dengan tetangga serumpun sekaligus rivalnya, Pakistan yang sama-sama berlomba menguasai senjata nuklir. Menurut Arundhati Roy yang sekaligus juga mengkritisi kepemilikan senjata nuklir bagi negara ketiga sebagaimana dikutip Maya Jairam, bahwa hal itu menunjukkan sikap ambivalensi poskolonial.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/132236129/penelitian/POSKOLONIAL+SEBUAH+PEMBAHASAN.pdf