Bagaimanakah sistem pemilu di Indonesia?

image

Pemilu menempati tempat yang penting dalam setting negara demokrasi, terlebih untuk ukuran Indonesia yang masih belajar. Pada dasarnya terdapat 3 prinsip yang ada di dalam pemilu,

  1. Sebagai mesin penyeleksi para wakil rakyat dan pemimpin pemerintahan. Harapannya, legitimasi materi maupun kultur pada figur tertentu tidak serta merta menjadikannya layak menduduki kursi “empuk” di parlemen maupun sebagai pemimpin negara. Lebih dari itu pemilu merupakan mekanisme ketat yang akan menyisahkan individu-individu unggul dalam kualitas dan loyalitasnya yang kuat sebagai wakil rakyat dan pemimpin negara.

  2. Pemilu merupakan mekanisme yang dirancang sedemikian rupa sebagai medium pen transfer konflik kepentingan (conflick of interest) dari akar rumput ke parlemen. Sehingga integrasi masyarakat terselamatkan.

  3. Mekanisme penggalang dukungan terhadap pemerintah. Legitimasi rakyat bagaimanapun merupakan syarat pemerintahan berdaulat.

Sebagai negara pemula, secara de facto, dalam demokrasi, konsentrasi masyarakat terhadap pemilu lebih tertuju pada dimensi-dimensi seperti: jujur, adil, terbuka, bebas. Ini tentu masalah penting,
namun seringkali perhatian itu justru menyita sisi lain yang juga tidak kalah pentingnya, bahkan sangat penting, untuk memperoleh perhatian yang fokus. Yaitu menentukan sistem pemilu. Sistem mana yang dipilih, pada gilirannya nanti akan sangat menentukan karakteristik kompetisi para kompetitor dalam kompetisi pemilu. Sebagai salah satu bagian dari mekanisme negara, pemilu merupakan alat yang sangat rawan untuk dimanipulasi sedemikian rupa terutama oleh partai-partai besar. Sistem tertentu akan dapat mempermudah kompetitor tertentu dan secara bersamaan mempersulit kompetitor lain, demikian sebaliknya.

Lebih jauh lagi sistem pemilu juga berpengaruh pada perilaku pemilih. Bukan pada sedikit atau banyaknya, namun lebih pada apakah seorang pemilih menggunakan hak pilih-nya atau tidak. Selanjutnya sistem pemilu juga sangat berpengaruh pada laju perkembangan demokrasi pemerintah
atau pun wakil rakyat produk pemilu. Bagaimana format pemerintahan nantinya serta wakil rakyat di parlemen merupakan bagian dari produk sistem pemilu. Terdapat ragam pilihan dalam sistem pemilu. Secara lebih sederhana dari beragam sistem itu dapat dikelompokan sedikitnya ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: Pluralitas-Mayoritas, Semi-Proporsional, dan Perwakilan Proporsional.

Mempelajari sejarah demokrasi pemilu di Indonesia dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita sekitar perguliran sistem demokrasi. Indonesia termasuk dari salah satu negara yang menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Dengan sejarah beberapa negara besar yang berjaya dengan demokrasi, elite politik serta pendahulu bangsa yang menggagas sistem pemerintahan condong untuk menentukan bahwa demokrasi sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang toleran.

Namun dalam perjalanannya demokrasi pemilu di tanah air mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan dalam pelaksanaan pemilu memang hal yang wajar. Dengan berbagai perubahan sistem demokrasi pemilu di Indonesia, rakyat berharap bahwa dengan perubahan tersebut dapat ditemukan bentuk ideal dari sistem pemilu di tanah air. Aspirasi rakyat seakan tersapu angin ketika sampai pada tataran elite penguasa. Banyak kebijakan yang mengatasnamakan rakyat namun sejatinya memihak pada kepentingan individu dan golongan. Kita mengetahui bagaimana nasib rakyat kecil di era yang semakin ganas ini. Penguasa tidak melirik kepentingan rakyat lagi, adapun hanya sebagian dari penguasa atau pihak pemerintah yang masih jujur dan bernurani bersih.

Asalkan bentuk demokrasi pemilu yang dapat berjalan tanpa manipulasi dan hal-hal lain yang curang maka dapat dikatakan kita semakin dengan pilihan rakyat. Tapi yang perlu diingat oleh kita bahwa biaya pemilu untuk berbagai pemilu langsung setiap daerah menghabiskan anggaran pemerintah.

Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari dua ratus lima puluh lima juta jiwa. Indonesia berhasil mempraktekkan sistem politik demokrasi modern. Demokrastisasi di Indonesia bukanlah sebuah proses yang tiba-tiba. pencapaian demokrasi Indonesia menempuh jalan panjang, mengiringi jatuh bangunnya negeri ini.

Salah satu parameter keberhasilan penegakan demokrasi di Indonesia adalah pelaksanaan pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dalam konteks demokrasi, pemilihan umum merupakan mekanisme politik modern untuk memilih pemimpin berdasarkan keinginan rakyat dan pergeseran kekuasaan secara damai agar terhindar dari konflik dan kekuasaan.

Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia telah beberapa kali menyelenggarakan pemilihan umum.

Dari Pemilu 1999, ke Pemilu 2004 lalu Pemilu 2009, tampak kualitas proses maupun hasilnya menurun. Pilkada 2005-2008 malah menempatkan pemilih sebagai obyek politik uang. Namun jalan demokrasi sudah dipilih, sehingga lebih realistis untuk terus memperbaiki proses penyelenggaraan pemilu daripada menggantikankan pemilu dengan mekanisme lain

- Pemilihan Umum Tahun 1955
Barulah pada awal dekade 1950-an komitmen untuk menyelenggarakan pemilu kembali menguat dengan ditetapkannya undang-undang no 7 tahun 1953 yang menjadi dasar bagi pelaksanaan pemilihan umum tahun 1955. Dengan demikian, pemilu tahun 1955 merupakan pemilu pertama bagi bangsa Indonesia.

Pemilu tahun 1955 diselenggarakan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante yang bertugas membuat konstitusi baru di Indonesia.

Berakhirnya rezim Sukarno yang biasa disebut dengan Orde Lama menandai pergeseran rezim, setelah krisis politik yang merenggut ratusan ribu jiwa dan menumbangkan kekuasaan presiden soekarno. transisi kekuasaan kemudian dimandatkan MPRS kepada Jenderal Soeharto.

Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan Pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.

Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme, yang meminjam istilah Prof. Ismail Sunny- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.

Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.

Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.

Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.

- Periode 1971-1997
Transisi ini kemudian berakhir dengan diselenggarakannya pemilihan umum pada tahun 1971. Kemudian melalui undang-undang no 3 tahun 1975, pemerintah menyederhanakan peserta pemilu. semua partai-partai islam dilebur, demikian pula partai nasionalis dan non-muslim.
Pemungutan suara pada pemilu tahun 1977 dilaksanakan pada 2 mei 1977. Sistem yang digunakan pada saat itu adalah sistem proporsional dengan sistem daftar. dari sekitar 70 juta pemilih, suara yang sah mencapai 90,93%.

5 tahun berikutnya pemilu tahun 1982 dilaksanakan, pemungutan suara dilangsungakan secara serentak pada tanggal 4 mei 1982.

Pada tahun 1987 pemilu ke-5 di republik ini diselenggarakan, pemungutan suara juga dilakukan secara serentak di antero negeri pada tanggal 23 april 1987. Dari sekitar 93 juta pemilih, suara yang sah mencapai 91,32%.

Memasuki dekade 1990-an tren politik mulai sedikit berubah walaupun tidak signifikan. Pemilu tahun 1992 mungkin bisa dijadikan penanda mulainya pergeseran tren politik tersebut.

Pada tahun 1997 pemerintah orde baru kembali menggelar pemilu. pemungutan suara dilaksakanan pada 29 mei 1997. Tak ada yang menyangka, bahwa pemilu 1997 bakal menjadi pemilu yang terakhir di era orde baru.

Krisis ekonomi dan politik yang menyulut krisis kepercayaan terhadap pemerintah orde baru, masyarakat utamanya anak-anak muda dan mahasiswa menggalang demontrasi seantero negeri. Praktis ekonomi dan pemerintahan menjadi lumpuh.

Menghadapi situasi demikian Presiden Soeharto akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kursi kepresidenan di negeri ini. Mundurnya presiden soeharto akhirnya menjadi penanda transisi menuju demokrasi di negeri ini.

- Periode 1999-Sekarang
Presiden Habibie yang meneruskan kepemimpinan Soeharto mengambil langkah signifikan, yaitu mempercepat pemilu untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional. walaupun harus memangkas masa jabatannya sendiri sebagai presiden.

Hanya 13 bulan setelah menjabat sebagai orang nomor 1 di Indonesia, Presiden Habibie berhasil menyelenggarakan pemilu 1999 secara kredibel pada 7 juni 1999. pemilu ini diikuti oleh 48 partai politik dengan tingkat partisipasi yang cukup tinggi, yakni mencapai 93%.

Walaupun sempat ditolak oleh 27 partai politik lainnya, hasil pemilu ini akhirnya ditetapkan Presiden Habibie berdasarkan rekomondasi Panitia Pengawas Pemilu.

Perkembangan demokrasi di Indonesia semakin tertata dengan diselenggarakannya pemilu tahun 2004. Dalam konteks ketatanegaraan dilakukan reorganisasi sistem parlemen dari unicameral menjadi bicameral. Implikasinya, pemilu legislatif tahun 2004 tidak hanya memilih anggota DPR melainkan juga anggota DPD.

Perubahan signifikan juga terjadi pada lembaga kepresidenan. Jika sebelumnya presiden atau wakil dipilih oleh anggota MPRr, maka mulai pemilu tahun 2004 presiden atau wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Oleh karenanya, setidaknya ada 3 kali pemilu pada tahun 2004, yaitu pemilu legislatif yang dilaksanakan pada tanggal 5 april 2004, pemilu presiden putaran pertama yang diselenggarakan 5 juli 2004 dan pemilu presiden putaran kedua yang diselenggarakan pada tanggal 5 hingga 20 september tahun 2004.

Ditetapkannya undang-undang no 32 tahun 2004 menandai babak baru dalam penyempurnaan sistem demokrasi di Indonesia dengan masuknya pemillihan kepala daerah ke dalam sistem pemilu langsung. Dengan disahkannya undang-undang ini maka kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat di wilayah masing-masing, dengan difasilitasi oleh KPU di masing-masing wilayah.

Perkembangan demokrasi di Indonesia semakin mantap dengan pelaksanaan pemilu tahun 2009. Pemilu Legislatif dilaksanakan pada 9 april 2009 dengan menggunakan sistem proposional terbuka. Sementara itu pemillihan presiden dan wakil presiden diselenggarakan pada 8 juli tahun 2009.

Tahun 2014 Indonesia kembali menyelenggarakan pemilu. pemungutan suara untuk memilih anggota dpr, dpd, dan dprd dilaksanakan pada 9 april 2014 dengan diikuti oleh 12 partai nasional, dan 3 partai lokal di provinsi aceh. Kemudian pada 9 juli 2014 dilaksanakan pemungutan suara dalam rangka pemilu presiden dan wakil presiden.

- Tahun 2015: Babak Baru Penyelenggaraan Pemilu
Tahun 2015 menjadi babak baru dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, yakni dimulainya pelaksanaan pilkada serentak di seluruh wilayah Indonesia menuju pilkada serentak nasional pada tahun 2027.

Pilkada serentak tahun 2015 ini sempat memunculkan polemik karena di beberapa wilayah hanya terdapat satu pasang calon kepala daerah, atau calon tunggal. namun mahkamah konstitusi memutuskan untuk memperbolehkan pemilihan kepala daerah bagi daerah yang hanya memiliki calon tunggal.

-Permasalahan pemilu di indonesia
Perdebatan tentang sistem pemilu proporsional antarfraksi di Pansus RUU Pemilu di DPR berkutat soal sistem terbuka atau tertutup. Sistem pemilu proporsional bukan hanya persoalan tertutup, terbuka, atau terbuka terbatas saja.

Di samping sistem pemilu tidak hanya soal terbuka atau tertutup, juga tidak jelas apakah terbuka atau tertutup itu menyangkut pola pencalonan ataukah tata cara penetapan calon terpilih. Hal ini dipertanyakan karena dalam dua UU Pemilu sebelumnya tata cara penetapan calon terpilih tak sejalan dengan pola pencalonan: pola pencalonan menurut daftar partai (menurut nomor urut), tetapi penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Karena perdebatan terfokus pada terbuka atau tertutup, sejumlah unsur sistem pemilu lainnya tidak mendapat perhatian yang mendalam.

Unsur pertama, dan karena itu seharusnya dibahas pertama, adalah alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan (dapil). Besaran dapil menjadi unsur pertama karena pemilu merupakan persaingan antar-peserta pemilu untuk memperebutkan kursi di setiap dapil. Belakangan, unsur ini mulai disentuh dengan rencana penambahan kursi DPR dan DPRD, tetapi dilakukan tanpa kejelasan tentang apa yang hendak dicapai dan apa dasar pertimbangan yang digunakan dalam membagi kursi DPR kepada provinsi.

Yang kelebihan kursi dibiarkan, sedangkan yang dianggap kurang kursi ditambah. Alokasi kursi DPR kepada provinsi dalam 11 kali pemilu di Indonesia belum pernah dilakukan berdasarkan prinsip kesetaraan antarwarga negara, sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Fakta ini sama sekali tidak pernah menjadi pokok pembahasan.

Unsur kedua sistem pemilu adalah peserta pemilu dan pola pencalonan. UUD negara lain tak mengatur siapa yang menjadi peserta pemilu, bahkan banyak negara tak menyebut parpol dalam UUD. Satu- satunya UUD di dunia yang menyatakan secara jelas peran parpol adalah UUD Republik Indonesia (UUD 1945). Peran parpol dalam pemilu presiden (pilpres) adalah mengajukan pasangan calon, tetapi peran parpol terbesar adalah dalam pemilu anggota DPR dan DPRD (pileg) karena menjadi peserta pemilu.

Sebagai peserta pemilu, parpol menentukan daftar calon menurut nomor urut, menetapkan visi, misi, dan program sebagai materi kampanye, melaksanakan kampanye, mencari, mengelola, dan mempertanggungjawabkan dana kampanye, serta mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi jika hendak mempertanyakan keputusan Komisi Pemilihan Umum ( KPU). Ini menjadi kewenangan partai karena kursi yang diperoleh dalam pemilu milik partai, bukan milik calon.

Unsur ketiga, model penyuaraan. Aspek model penyuaraan yang sudah disinggung sedikit adalah penggunaan perangkat elektronik (teknologi informasi/TI) ketika ada fraksi yang mengusulkan persyaratan lain untuk menjadi anggota KPU, yaitu penguasaan TI. Penggunaan TI dalam pemungutan dan penghitungan suara ataupun dalam rekapitulasi hasil penghitungan suara sama sekali belum dibahas. Apa kriteria yang akan digunakan dalam menggunakan TI dalam pemilu: kesiapan infrastruktur, SDM, pemilih, dan partai ataukah memperbaiki dan meningkatkan kualitas pemilu Indonesia?

Unsur keempat, formula/rumus yang digunakan untuk membagi kursi di setiap dapil kepada peserta pemilu (formula pemilihan). Karena parpol sebagai peserta pemilu anggota DPR dan DPRD, formula pemilihan tak bisa lain berupa proporsional. Yang menjadi persoalan adalah tata cara penetapan calon terpilih (lebih tepat: tata cara penentuan pemangku kursi partai). Pemerintah mengajukan metode divisor Sainte-Lague yang dimodifikasi dalam RUU Pemilu. Mengapa meninggalkan metode kuota Hare, mengapa memilih metode divisor, dan apa yang hendak dicapai dengan metode divisor belum jadi pokok bahasan mendalam antarfraksi.

Jawaban atas pertanyaan ini sangat bergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Apabila hendak memperbanyak partai, gunakan metode kuota Hare atau metode divisor Sainte-Lague (metode yang menguntungkan partai kecil). Jika hendak mengurangi parpol, gunakan divisor D’Hondt (metode yang menguntungkan partai besar). Namun, jika besaran dapil yang kecil (small multi-members constituency) digunakan sebagai instrumen menyederhanakan parpol, gunakan Sainte-Lague yang dimodifikasi (metode yang netral)

Referensi :