Bagaimanakah Sejarah Agama Islam Masuk ke Nusantara?

Proses menyebarnya agama Islam di bumi Nusantara sungguh unik, mengingat masyarakat yang awalnya beragama Hindu-Budha, dengan serta merta dapat menerima ajaran agama Islam. Agama Islam menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk bumi Nusantara saat ini. Bagaimanakah sejarah Agama Islam masuk ke Nusantara ?

Terdapat empat teori utama terkait bagaimana ajaran Agama Islam menyebar di Nusantara, terutama Indonesia. Nusantara sendiri mempunyai wilayah yang lebih luas dibandingkan wilayah Indonesia saat ini.

Nusantara digunakan untuk menyebut wilayah yang sekarang disebut Kepulauan yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Brunei Darussalam.

Teori Arab


Beberapa tokoh yang mengusung teori ini adalah Crawfurd (1820), keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861) dan Veth (1878). Sedangkan Tokoh dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang mendukung teori ini diantranya adalah Hamka, A. Hasymi, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.

Pada acara Seminar ”Sejarah Masuk masuknya Islam di Indonesia” pada tahun 1962, Hamka menyebutkan bahwa kehadiran Islam di Indonesia telah terjadi sejak Abad Ke -7 dan berasal dari Arab. Pendapat ini di dasarkan pada berita Cina yang menyebutkan bahwa pada Abad ke- 7 terdapat sekelompok orang yang di sebut Ta-shih yang bermukim di kanton (Cina) dan Fo-lo-an (termasuk daerah Sriwijaya) serta adanya utusan Raja Ta-shih kepada Ratu Sima di Kalingga Jawa ( 654/655 M) . sebagian ahli menafsirkan Ta-shih sebagai orang Arab.

Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab. Sedangkan Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab Syafi’i, sama seperti yang di anut kaum Muslimin Nusantara umumnya.

Teori ini juga di pegang oleh Neiman dan De Holander, tetapi dengan menyebut bahwa Islam datang ke Nusantara dari Hadramaut, bukan Mesir, sebab Muslim Hadramaut adalah pengikut Mazhab Syafi’i seperti juga kaum muslimin Nusantara. Sedangkan Veth hanya Orang-orang Arab, tanpa menunjuk asal di Timur-Tengah maupun kaitannya dengan Hadramaut, Mesir atau India.

Teori India


Teori India merupakan teori yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara dari India. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel pada 1872. Berdasarkan terjemahan perancis tentang catatan perjalanan Sulaeman, Marcopolo, dan Ibnu battuta, Ia menyimpulkan bahwa Islam di Asia Tenggara di sebarkan oleh orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India. Oleh karena itu Nusantara, menurut teori ini menerima Islam dari India.

Kenyataan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India menurut teori ini tidak menunjukan secara menyakinkan dilihat dari segi pembawanya. Namun Pijnapel mengemukakan bahwa Islam di Nusantara bersal dari orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar. Pijnapel sebenarnya memandang bahwa Islam di Nusantara di sebarkan oleh orang-orang Arab. Pandangan ini cukup memberikan pengertian bahwa pada hakikatnya penyebar Islam di Nusantara adalah orang-orang Arab yang telah bermukim di India.

Pendukung lain dari teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia berpendapat bahwa ketika Islam telah mengalami perkembangan dan cukup kuat di beberapa kota pelabuhan di anak benua India, sebagian kaum Muslim Deccan tinggal disana sebagai pedagang, perantara dalam perdagangan timur tengah dengan Nusantara.

Orang-orang Deccan inilah kata Hourgronje datang ke dunia Melayu – Indonesia sebagai penyebar Islam pertama. Orang-orang Arab menyusul kemudian pada masa-masa selanjutnya.62 Mengenai waktu kedatangannya, Hourgronje tidak menyebutkan secara pasti. Ia juga tidak menyebutkan secara pasti wilayah mana di India yang yang di pandang sebagi tempat asal datangnya Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan prediksi waktu, yakni abad ke 12 sebagai periode yang paling mungkin sebagi awal penyebaran Islam di Nusantara

Dukungan yang cukup Argumentatif atas teori India di sampaikan oleh W.F. Stutterheim. Ia dengan jelas menyebutkan bahwa Gujarat sebagai Negeri asal Islam masuk ke Nusantara. Pendapatnya di dasarkan pada argument bahwa Islam disebarkan melalui jalur dagang antara Nusantara – Camabay (Gujarat) – Timur Tengah – Erofa.

Argumentasi ini di perkuat dengan pengamatannya terhadap nisan-nisan makam Nusantara yang di perbandingkan dengan nisannisan makam di Wilayah Gujarat. Relief nisan Sultan pertama dari kerajaan Samudera (pasai), Al –Malik al- Saleh (wafat 1297) menurut pengamatan Stutterheim bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapatdi Gujarat. Kenyataan ini cukup memberikan keyakinan pada dirinya bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat.

Teori yang di kemukakan Stutterheim mendapat dukungan dari Moquette, sarjana asal Belanda. Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan membawanya pada kesimpulan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat.

Moquette menjelaskan bahwa bentuk batu nisan, khususnya di Pasai mirip dengan batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (wafat 822 H/ 1419 M) di Gresik Jawa Timur. Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah itu sama dengan batu nisan yang terdapat di Camabay (Gujarat). Kesamaan bentuk pada nisan-nisan tersebut menyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu diimpor dari India. Dengan demikian Islam di Indonesia, menurutnya, bersal dari India, yaitu Gujarat. Teori ini di kenal dengan “teori batu nisan”

Teori Benggali


Teori Benggali merupakan teori yang menyatakan bahawa Islam datang dari Benggali (Kini Bangladesh). Teori ini dikembangkan oleh S.Q Fatimi dan dikemukakan pula oleh Tome Pires. Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini berkeyakinan demikian. Tome pires berpendapat bahwa kebanyakan orang-orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka.

Pendapat ini dikembangkan oleh Fatimi. bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Melayu yakni dari arah timur pantai bukan dari barat Malaka, melalui Kanton, Pharang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurutnya terjadi pada abad ke-11 M.

Masa ini di buktikan dengan ditemukannya batu nisan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H. atau 1082 M di Leran Gresik.

Berkenaan dengan teori batu nisan dari Stutterheim dan Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India. Fatimi menentang keras pendapat itu, menurutnya bahwa menghubung-hubungkan seluruh batu nisan di Pasai dengan batu nisan dari Gujarat adalah suatu tindakan yang keliru.

Berdasarkan hasil pengamatannya, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya batu niasan Al-Malik Al- Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujrat. Ia berpendapat bentuk dan gaya batu nisan itu mirip dengan batu nisan yang ada di Benggal. Oleh karena itu, batu nisan tersebut pasti di datangkan dari Benggal bukan dari Gujarat.

Analisis ini di pergunakan Fatimi untuk membangun teorinya yang menyatakan bahwa Islam di nusantara berasal dari Benggal. Tetapi terdapat kelemahan substansial pada pendapat Fatimi, bahwa perbedaan Mazhab Fiqih yang dianut Muslim Nusantara yaitu Mazhab Syafi’i yang berbeda dengan yang ada di Benggali, yaitu Mazhab Hanafi. Perbedaan mazhab Fiqih ini menjadikan teori Fatimi lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.

Teori Tionghoa


Teori ini mengutip teori Emanuel Godinho de Eradie seorang ilmuan Spanyol yang menulis pada 1613 M terkait dengan penyebaran ajaran Agama ISlam.

“ Sesungguhnya Aqidah Muhammad telah di terima di Pattani dan Pam di pantai Timur kemudian di terima dan di kembangkan Paramesywara pada 1411 M."

Sementara itu ekspedisi Laksamana Cheng-Ho yang memasuki Nusantara menimbulkan dugaan bahwa Islam bisa dimungkinkan datang melalui Cina. A. Dahana, Guru besar studi Cina, Universitas Indonesia (UI) Depok, berpendapat perkiraan bahwa Cheng-Ho juga menyebarkan Islam dalam Ekspedisinya tidak mengada-ada. Fakta ini bisa di telusuri dari faktor Tionghoa dalam Islamisasi Asia Tenggara. Selama ini katanya arus Islamisasi yang di kenal hanya berasal dari dua tempat yaitu Gujarat dan Timur Tengah.

“Munculnya teori tentang peran warga Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara merupakan proses pengayaan khazanah kesejarahan kita.”

Prof. Hembing Wijayakusama dalam kata pengantar buku Laksamana Cheng-Ho menyatakan bahwa Cheng-Ho berjasa besar dalam penyebaran agama Islam, pembauran dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang perdagangan, dan pertanian bagi daerah yang dikunjunginya. Cheng-Ho memiliki peran besar dalam membentuk Masyarakat Muslim Tionghoa dan membangun hubungan Diplomatik dan persahabatan antara Negara Tiongkok dan masyarakat Indonesia serta dengan masyarakat dunia lainnya.

Slamet Mulyana, ahli sejarah, seperti yang di kutip Azyumardi Azra, juga menyinggung kemungkinan Islam di Nusantara “bersal dari Cina.” Hubungan antara Nusantara dan Cina lanjut Azra sudah terjalin sejak masa pra- Islam, sehingga meninggalkan berbagai jejak historis penting. Sumber-sumber Cina bahkan memberi informasi-informasi yang cukup penting tentang Nusantara, termasuk pada masa-masa awal kedatangan Islam di Nusantara.

Riwayat perjalanan pendeta pengembara terkenal I-Tsing yang singgah di pelabuhan Sribuzza (Sriwijaya) pada 671 telah mencatat kehadiran orang-orang Arab dan Persia disana. Riwayat pengembara Chau Ju Kua juga memberitakan tentang adanya koloni Arab di Pesisir Barat Sumatera, yang paling mungkin di Barus.

Sumber-sumber Cina ini sangat penting, tetapi masalahnya adalah sulitnya mengidentifikasi nama-nama (orang dan tempat) yang mereka sebutkan dengan nama-nama yang di kenal dalam Sejarah Nusantara.

Referensi :

  • Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan kebudayaan Melayu, Bandung ; Mizan, 1997
  • Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Depdikbud,1975
  • Alwi bin Thahrir Al- Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Lentera, 2001.
  • Azra, Jaringan Ulama Timur- Tengah dan Nusantara
  • A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: AlMa’arif, 1993.
  • Didin Saepudin, Proses Islamisasi Penduduk Indonesia dalam Perspektif Sejarah,
  • Prof. Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng-Ho,Misteri perjalanan Muhibah di Nusantara, Jakarta : Pustaka Popular Obor, 2005
  • Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta: Gramedia. 2002

Ada yang berpendapat bahwa ajaran Agama Islam masuk ke Indonesia melalui Persia. Pencetus teori ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat, yang berpendapat bahwa agama Islam yang masuk dan berkembang di Nusantara berasal dari Persia, singgah ke Gujarat, itu terjadi sekitar abad ke-13.

  • Pandangan dalam teori ini berbeda dengan teori Gujarat dan Mekkah. Dalam teori ini lebih memusatkan kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam di Indonesia, dan disinyalir memiliki persamaan dengan Persia. Di antaranya adalah:

  • Peringatan Asyura atau 10 Muharram sebagai peringatan Syi’ah atas Syahidnya Husein.

  • Kesamaan antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran al-Hallaj, meskipun al-Hallaj telah meninggal pada 310 H atau 922 M, akan tetapi ajarannya terus berkembang dalam bentuk puisi.

  • Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja atau membaca huruf Arab.

  • Nisan pada makam Malik Saleh pada tahun 1297 dan makam Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik dipesan dari Gujarat.

  • Pengakuan umat Islam di Nusantara terhadap Madzhab Syafi’i sebagai madzhab utama di wilayah malabar.

A post was merged into an existing topic: Bagaimana sejarah agama Islam masuk ke pulau Maluku?

A post was merged into an existing topic: Bagaimana sejarah masuknya Islam di Jawa Barat?

A post was merged into an existing topic: Bagaimana sejarah agama Islam masuk ke Papua?

Dahulu kala kesultanan Turki Ottoman sangat berjaya di Eropa dan menguasai pemerintahan Islam. lalu sultan Turki pada tahun 1404 M, yaitu sultan Muhammad I, membentuk team, yang terdiri dari ulama-ulama atau mubaligh untuk misi penyebaran Islam ke Indonesia, khususnya pulau Jawa pada waktu itu. Dibawah pimpinan Maulana Malik Ibrohim, team mubaligh itu terdiri dari 9 orang, yang kemudian dikenal sebagai wali songo, yang terdiri dari :

  1. Maulana Malik Ibrahim (Turki)
  2. Maulana Ishaq (Samarkhan/Rusia Selatan)
  3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Mesir)
  4. Maulana Muhammad Al Maghrobi (Maroko)
  5. Maulana Malik Isro’il (Turki)
  6. Maulana Muhammad Ali Akbar (Iran)
  7. Maulana Hasanudin (Palestina)
  8. Maulana Aliyudin (Palestina)
  9. Syeh Subakir (Iran)

Dari ke-9 mubaligh itu mereka memiliki keahlian dan keterampilan masing-masing. Adapun Syeh Subakir adalah satu-satunya yang disebut dengan sebutan syeh. Dia adalah ahli urusan keruhanian dan ilmu kebatinan, ahli ilmu tasawuf.

Sebagai ahli ilmu kebatinan, urusan yang diemban Syeh Subakir adalah urusan yang “tidak nampak mata”, yaitu membuat perjanjian tak tertulis dengan danyang/makhluk halus penguasa tanah Jawa, agar Jawa bisa di-Islam-kan secara damai, tanpa pertumpahan darah dan kekacauan.

Misi wali songo generasi pertama ini terbilang gagal/belum membuahkan hasil, karena terganjal oleh penguasa Majapahit. Tidak hendak berganti agama lama.

Walau masih gagal, namun Syeh Subakir sudah meletakkan batu pertama/landasan bagi misi-misi selanjutnya. Dengan menumbali tanah Jawa dan memberinya pasak kegaiban di ke-4 penjurunya.

Setelah gagal, wali songo diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya. Sampai suatu ketika para wali memutuskan untuk melanggar syariat Islam karena sebab keadaan (darurat), yaitu mengawinkan putri Campa, saudara sepupu Maulana Malik Ibrahim yang muslim, dengan Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V, yang masih Hindu.

Dengan harapan, putri Campa bisa meng-Islam-kan Brawijaya, minimal adalah janji dari Brawijaya untuk mengijinkan dan melindungi penyebaran agama Islam di tanah Jawa, sebagai “mas kawin”/syarat untuk mendapatkan putri Campa.

Disinilah Islam bisa berkembang dengan baik, dengan meng-akulturasi-kan atau memadukan dengan budaya lokal/Jawa.

Dibawah tokoh sentral ulama muda anggota wali songo yang merupakan penduduk asli jawa, yaitu sunan Kalijogo. Dialah yang menggantikan kedudukan Syeh Subakir yang kembali ke negara asalnya.

Sejak dahulu perjanjian tak tertulis kuno jaman Syeh Subakir yaitu bisa meng-Islam-kan Jawa namun tidak boleh mengkhianati budaya Jawa. Agama boleh berganti, namun budaya tak bileh berganti, maka karena itulah sunan Kalijogo tidak mau memakai jubah dan sorban, tetapi paka blangkon.

Jikalau memaksakan buday berganti, yaitu memaksakan budaya Arab di tanah Jawa, maka tanah Jawa akan banjir darah.

Mengapa ada perjanjian terkait budaya Jawa?

Anda mungkin mesti lebih jauh mengkaji sejarah, Islam dan budaya Arab itu beda, sebab aslinya budaya Arab itu budaya jahiliyah, lalu dibuang sisi jahiliyahnya itu dengan ajaran Islam…

Islam itu tak pernah lahir di Arab ataupun manapun, Islam itu adanya yah dalam hati kita sendiri-sendiri…

Nah kalau dahulu jaman Nabi SAW, budaya Arab jahiliyah dibuang sisi jahiliyahnya, begitu juga di Indonesia ini, mestinya bukan dengan menyingkirkan budaya lokal kita, wong kita punya budaya sendiri. Tapi dengan membuang sisi jahiliyahnya dari budaya Jawa.

Nah disebabkan penyebaran Islam dari Arab sana awalnya, maka dikira budaya Arab = budaya Islami, padahal tidak ada urusannya antara budaya Arab dan Islam.

Malah Islam itulah yang membuang sisi jahiliyahnya dari budaya Arab. Nah Islam jugalah yang mestinya membuang sisi jahiliyahnya dari budaya Jawa.

Tidak harus kita pakai sorban bergaya ke Arab-araban, saya lebih baik yah pakai blankon saja, lebih ganteng heuheuheu. tengok saja macam masjid sunan Kudus itu, coraknya kan corak Hindu, susunan bata-batanya, yah gak apa-apa, gak harus, fanatisme membabi buta, bahwa masjid harus beberntuk ala Timur Tengah. Di Surabaya, masjid Chengho malah mirip klenteng, malah unik dan memiliki estetika tinggi.