Bagaimanakah Ringkasan Cerita Tenggelamnya Kapal van der Wijck Karya Hamka?


Pengalaman Hamka terhadap masyarakat Bugis Makassar ketika pindah ke Makassar menimbulkan ilham untuk lahirnya romannya yang kedua yang bernama Tenggelamnya Kapal van der Wijck.

Bagaimanakah ringkasan cerita dari karya popular Hamka tersebut?

TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK

Pelakunya:

  • Zainuddin

  • Hayati

  • Aziz

  • Chadija (adik Aziz)

Ringkasan Ceritanya

Zainuddin dilahirkan di Makassar. Ayahnya bernama Sutan Sati berasal dari Minangkabau dibuang oleh pemerintah Belanda ke Makassar karena membunuh kemanakannya sendiri. Sutan Sati menikah dengan seorang putri Makassar yang bernama Daeng Habibah. Dari pernikahan itu lahirlah Zainuddin. Orang tuanya meninggal sewaktu Zainuddin masih kecil; kemudian dia diasuh oleh Mak Base. Setelah besar, dia ingin mengunjungi pihak keluarga ayahnya di Padang.

Selanjutnya, Zainuddin berangkat ke Padang dengan menumpang kapal laut. Dari Padang dia terus ke desa Batipuh; di sanalah dia tinggal pada mak bakonya yang bernama Mande Djamilah.

Setelah beberapa bulan Zainuddin tinggal di Batipuh, ia berkenalan dengan seorang gadis, yang sangat cantik di desanya. Dari akibat perkenalan antara Hayati dan Zainuddin tumbuh perasaan cinta-mencintai, yang melahirkan kesepakatan untuk sehidup-semati. Akan tetapi kesepakatan itu tidak disetujui oleh keluarga Hajati. Zainuddin diusir oleh keluarga Hajati, sehingga ia berangkat ke Padang Panjang. Namun antara Padang Panjang dan Datipuh selalu ada hubungan surat.

Pada suatu ketika, di Padang Panjang, ada pacuan kuda. Hayati berangkat ke sana untuk menyaksikannya. Dia menginap di rumah kenalannya yang bernama Chadiyah. Temannya ini mempunyai abang yang bernama Aziz. Aziz juga jatuh cinta kepada Hayati dan Zainuddin mulai renggang. Dalam keadaan demikian, Aziz melamar Hayati pada mamaknya. Bersamaan dengan itu lamaran Zainuddin datang juga. Berdasarkan adat Minangkabau, Lamaran Zainuddin (sebagai anak pisang) ditolak berdasarkan pertimbangan adat juga, lamaran Aziz diterima karena ia lebih kaya, orang berbangsa dan berketurunan. Tidak berapa lama berselang, Aziz kawin dengan Hayati.

Zainuddin jatuh sakit setelah dia mendengar berita bahwa Aziz sudah kawin dengan Hayati. Ia diasuh oleh Muluk (pengasuhnya). Setelah sembuh, ia berangkat ke Jawa dan menetap di Surabaya. Di sanalah Zainuddin hidup sebagai pengarang; ia melukiskan berbagai macam pengalamannya dan menulis cerita-cerita sandiwara. Namanya diganti menjadi Z atau Shabir. Dengan aktivitasnya itu, cepat namanya terkenal.

Cerita selanjutnya, Aziz sebagai pegawai pemerintah Belanda, minta pindah ke Surabaya. Permintaannya dikabulkan dan dengan bersama istrinya Hayati mereka pindah ke Surabaya. Di sanalah mereka bertemu dengan Zainuddin yang terkenal dengan karangan-karangannya dan sandiwara-sandiwaranya.

Adapun suasana rumah tangga Aziz makin hari makin tegang. Utangnya makin bertambah. Untuk pembayar utang, rumahnya disita. Hayati dan Aziz yang tanpa rumah, dengan kebaikan hati Zainuddin diterima tinggal di rumahnya. Aziz makin lama makin susah, lalu dia pergi ke Banyuwangi, di sanalah dia bunuh diri.

Adapun Hayati masih tinggal di rumah Zainuddin. Ia menyatakan penyesalannya atas perbuatannya yang teleh lalu dan sekarang ia ingin kembali kepada Zainuddin. Akan tetapi Zainuddin menolaknya, bahkan dia menyuruh Hayati pulang saja ke Padang. Zainuddin berangkat ke Malang. Hayati dengan diantar oleh Muluk (pengasuh Zainuddin), masuk ke kamar kerja Zainuddin, tempat ia melihat lukisannya sendiri. Oleh Muluk diceritakan bagaimana sesungguhnya cinta Zainuddin kepada Hayati tidak pernah padam. Akan tetapi karena keputusan sudah dijatuhkan oleh Zainuddin bahwa Hayati harus pulang, maka dengan menumpang kapal van der Wijck diapun meninggalkan Surabaya.

Zainuddin, setelah menyesali tindakannya menyuruh Hayati pulang ke Padang, ingin segera menyusulnya ke Jakarta. Akan tetapi dia membaca di surat kabar bahwa kapal van der Wijck tenggelam. Cepat-cepat dia dengan Muluk menyusul ke Lamongan tempat Hayati mendapat pertolongan pada rumah sakit Lamongan. Di sana didapati Hayati sedang sakit parah. Pertemuannya tidak lama karena Hayati segera menutup mata untuk selama-lamanya.

Mayat Hayati di bawa ke Surabaya untuk dikuburkan. Tidak lama kemudian Zainuddin menyusul Hayati ke alam baka. Dia dikuburkan berdekatan dengan Hayati.

Prof. Dr. Teeuw mengatakan bahwa karangan yang dipandang Hamka sendiri/buah tangannya yang terbaik ialah Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang asalnya diterbitkan sebagai fevilleton, lantas dibukukan (1939), dan sehabis perang diulang cetak lagi (yang terakhir dalam tahun 1951). Pendapat pengarang itu memang dapat dibenarkan dari satu sudut mata: bahasanya dan lukisannya terhadap masyarakat Minangkabau, tentang adat dan keistimewaan suku bangsa itu memang menarik dan dapat disebut indah. Akan tetapi, isi pokok buku ini kurang segar dan kurang hidup daripada yang didapati dalam karangannya yang lain.

Sebuah buku yang menurut isinya tidak dapat berbeda dengan beberapa karangan lain tetapi yang bentuk dan lukisan dan bahasanya memang patut dihargakan.

Dalam roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Hamka mengecam adat, juga membeberkan bagaimana sesungguhnya adat itu. Bagaimana susunan masyarakat Minangkabau, yang berkuasa pihak mamak (saudara ibu yang laki-laki).

Percakapan antara Hayati dengan mamaknya yang dikutip di bawah ini menjelaskan yang dikatakan di atas.

“Bagaimana tidak akan bisa jadi, bukankah Zainuddin manusia?

"Bukankah dia keturunan Minangkabau juga?”

“Hai upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-belitnya’ Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu”.

Referensi

http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/8/unm-digilib-unm-andifatima-356-1-sejarah-a.pdf