Pelakunya:
- Sitti Nurbaya dan Samsulbahri (anak muda yang saling mencintai)
- Sutan Mahmud Sjah: ayah Samsulbahri
- Baginda Sulaiman: ayah Sitti Nurbaya
- Datuk Maringgi: saudagar kaya di Padang
- Sutan Hamzah: adik Sutan Mahmud Sjah Bachtiar
- Arifin: teman sekolah Samsulbahri dan Sitti Nurbaya
Cerita ini terjadi di sekitar daerah Padang. Cerita berawal dengan suasana persahabatan antara Sitti Nurbaya yang berumur 15 tahun dengan Samsulbahri yang berumur 18 tahun. Persahabatan ini merupakan pelebaran persahabatan masing-masing orang tuanya, Sutan Mahmud Sjah ayah Samsulbahri dengan Baginda Sulaiman ayah Sitti Nurbaya.
Baginda Sulaiman meskipun bukan dari keluarga bangsawan, akan tetapi dia termasuk seorang saudagar kaya di Padang. Sitti Nurbaya adalah anak tunggalnya, yang selain cantik juga berkesopanan.
Samsulbahri anak tunggal Sutan Mahmud Sjah, seorang bangsawan, yang menjadi penghulu di daerah Padang. Untuk mengongkosi anaknya, yang akan disekolahkan di Jakarta, Sutan Mahmud Sjah meminjam uang kepada Datuk Maringgi sebanyak tiga ribu rupiah. Datuk Maringgi termasuk saudagar kaya di Padang. Akan tetapi, semua kekayaannya itu sebagian besar diperoleh dari jalan yang haram atau tidak halal, hasil pemerasan dan penipuan.
Sutan Mahmud Sjah bersaudara dua orang, ialah Puteri Rabiah Kakaknya, sedangkan adiknya bernama Sutan Hamzah. Puteri Rabiah mencemohkan adiknya (Sutan Mahmud Sjah) karena tidak lagi memperhatikan adat istiadat, telah melupakan kemanakannya, yaitu Rukiah, yang seharusnya diperhatikan dan dibiayai hidupnya. Puteri Rabiah juga mencemoh Sutan Mahmud Sjah karena hanya beristeri satu orang. Tidak seperti saudaranya Sutan Hamzah, hampir tiap-tap kampung ada bekas isterinya, sehingga sebagian besar anaknya tidak dapat dikenalnya lagi, karena banyaknya.
Waktu bertamasya ke Gunung Padang, Samsulbahri dan Sitti Nurbaya dengan kedua teman sekolahnya, Bachtiar dan Arifin, mereka berbincang-bincang tentang keadaan dalam masyarakat. Mereka mengeritik pegawai-pegawai pemerintah yang tak jujur, gila hormat, dan kepincangan-kepincangan dalam masyarakat.
Mereka anak-anak muda itu telah berpikiran modern dan bercita-cita tinggi. Samsulbahri, Bachtiar dan Arifin pun bersama-sama akan bersekolah di Jakarta. Samsulbahri dan Arifin akan meneruskan pelajaran pada sekolah Dokter, sedangkan Bachtiar pada sekolah Opseter (opzichter = penjenang, pengawas usaha, mandor).
Di samping mereka bergembira, Samsulbahri menyatakan perasaan hatinya yang mencemaskan kepada Sitti Nurbaya. Samsulbahri pernah bermimpi menaiki sebuah menara dan Sitti Nurbaya mengikutinya dari belakang. Dalam mimpinya itu tiba-tiba ia melihat Datuk Maringgih, akhirnya Samsulbahri kalah, jatuh terguling-guling bersama-sama dengan Sitti Nurbaya dan masuk ke dalam sebuah lubang yang besar sehingga tidak dapat keluar lagi. Karena mimpinya itulah, maka Samsulbahri selalu mengingat Sitti Nurbaya dan sangat berat akan meninggalkannya.
Sutan Mahmud Sjah yang telah berpikiran modern lebih mementingkan jabatannya sebagai penghulu daripada kebangsawanannya dan adat-istiadat nenek moyangnya. Ia lebih mementingkan kemajuan anaknya sendiri daripada memperhatikan kewajiban memelihara dan membiayai anak-kemanakannyta menurut adat istiadat.
Sebelum Samsulbahri berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan pelajarannya, terlebih dahulu diadakan perpisahan di rumahnya. Banyak teman-temannya yang hadir, di antaranya Bachtiar dan Arifin yang akan bersama-sama berangkat ke Jakarta. Perpisahan itu diselenggarakan secara modern, diadakan dansa dari tari-tarian disertai dengan musik. Sampai larut malam barulah selesai. Sitti Nurbaya diantar pulang ke rumahnya oleh Samsulbahri. Rasa persaudaraan kedua anak muda ini makin intim sehingga terjalinlah suatu benang halus yang berakibat cinta-mencintai.
Datuk Maringgih, yang bergelar datuk bukan karena penghulu adat, akan tetapi hanya sekadar getar saja. Ia bermuka jelek dan berperilaku buruk. Kekayaannya diperoleh dari penipuan, penggelapan, dan pencurian. Dengan bantuan Pendekar Lima dan teman-temannya, Datuk Maringgih dapat menghancurkan saingannya yaitu Baginda Sulaiman ayah Sitti Nurbaya. Dengan cara diam-diam, mereka menghancurkan gedung-gedung, kapal-kapal, toko-toko Baginda Sulaiman.
Karena kemiskinan, Baginda Sulaiman meminjam uang kepada Datuk Meringgi dengan perjanjian bahwa uang itu akan dikembalikan tiga bulan kemudian.
Pada waktu Datuk Meringgi datang menagih utangnya, Baginda Sulaiman tidak dapat menepati janjinya. Ia memberi ancaman, jika ia datang kembali menagih utangnya belum terbayar juga, maka Baginda Sulaiman akan dipenjarakan; kalau tidak ia meminta supaya Sitti Nurbaya menjadi istrinya.
Kemudian ternyata Baginda Sulaiman masih tetap belum dapat membayar utangnya. Ketika akan dibawa ke penjara, diiringkan oleh beberapa orang polisi, tiba-tiba Sitti Nurbaya berlari keluar dari kamarnya dan dengan tidak disadarinya ia berteriak, bahwa lebih baik ia menjadi isteri Datuk Meringgi daripada ayahnya dipenjarakan.
Selama menjadi isteri Datuk Meringgi, pikiran Sitti Nurbaya tidak menentu menyebabkan badannya menjadi kurus seperti orang yang berpenyakit.
Pada waktu libur, Samsulbahri pulang ke Padang. Ia sempat menjenguk ayah Sitti Nurbaya ketika ia sedang sakit keras. Kebetulan Sitti Nurbaya waktu itu sedang menjenguk ayahnya. Pada waktu itulah keduanya dapat bertemu dan saling menceritakan apa yang terjadi pada dirinya masing-masing.
Sedang keduanya bercakap-cakap di bawah sebatang pohon, datanglah Datuk Meringgih, yang berprasangka bahwa mereka berdua telah melakukan hal-hal yang tercelah, sehingga menimbulkan percekcokan antara Samsulbahri dan Datuk Meringgih.
Oleh karena peristiwa yang menggemparkan itu berdatanganlah tetangga ke tempat kejadian itu. Ayah Sitti Nurbaya yang sedang sakit keras, lari ke tempat kejadian itu, karena khawatir kalau anaknya mendapat kecelakaan. Ketika itulah Baginda Sulaiman menemui ajalnya karena terjatuh dari tangga.
Sejak ayahnya meninggal, Sitti Nurbaya menyatakan bebas dari Datu Meringgih, dan sejak itu pula tidak lagi menjadi isteri Datuk Meringgih. Ia hanya menumpang pada familinya yang bernama Alimah.
Tidak puas dengan kejahatan yang telah dilakukannya, dengan kebusukan hatinya, Datuk Meringgih menyuruh meracuni Sitti Nurbaya sampai meninggal, sesudah difitnah melarikan barang-barangnya (fitnah yang tidak beralasan).
Akibat perbuatan Samsulbahri itu yang sangat memalukan ayahnya, menyebabkan ayahnya mengusirnya dari rumahnya. Akhirnya, Samsulbahri melarikan diri ke Jakarta.
Sepuluh tahun kemudian, Samsulbahri yang telah diberitakan telah meninggal, ternyata telah menjadi letnan kompani dengan nama Letnan Mas (kebalikan dari nama yang sebenarnya yaitu Sam). Ia tinggal di Cimahi di daerah Bandung.
Pada suatu waktu, ia mendapat tugas untuk memimpin satuan pasukan untuk memadamkan pemberontakan di Padang. Pada waktu itulah Letnan Mas (Samsulbahri) dapat membalas sakit hatinya, sehingga Datuk Meringgih, musuhnya yang melukai hatinya, menemui ajalnya, tetapi sempat mengatai Letnan Mas sebagai anjing Belanda.
Ketika itu pula Letnan Mas mendapat luka-luka berat, kemudian dirawat di rumah sakit Padang, tidak lama kemudian Samsulbahri juga meninggal. Tiba-tiba Sutan Mahmud Sjah meninggal juga, setelah diketahui bahwa Letnan Mas itu sesungguhnya anaknya, yaitu Samsulbahri.
Pada akhirnya, dua bulan kemudian, dua orang anak muda, yang menadi teman sekolah Samsulbahri dan Sitti Nurbaya dahulu, yaitu Arifin yang telah menjadi dokter dan Bachtiar menjadi opseter, mereka berziarah ke tempat pemakaman keluarga Sitti Nurbaya dan keluarga Samsul Bahri.
Referensi
http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/8/unm-digilib-unm-andifatima-356-1-sejarah-a.pdf