Bagaimanakah review film Filosofi Kopi (2015)?

Film Filosofi Kopi

Film Filosofi Kopi bercerita tentang pencarian jiwa dan perjalanan berdamai dengan masa lalu melalui kopi. Ben dan Jody adalah sahabat yang membangun kedai “Filosofi Kopi”, sebuah kedai kopi terkemuka di Jakarta yang hanya menyediakan kopi terbaik Indonesia.

Diadaptasi dari novel “Filosofi Kopi” oleh Dewi Lestari. Film ini tidak serumit dan susah dipahami seperti karya-karyanya yang lain. Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara telah menyederhanakan dengan apik sehingga sebagai penonton yang bukan pecinta kopi sekalipun dapat menikmati dan menerima ‘rasa’ yang ingin disampaikan oleh film ini. 9.5/10
Film yang diangkat dari kumpulan cerpen Dewi Lestari (@deelestari) ini berkisah tentang Ben dan Jody, dua teman baik sejak kecil yang membuka sebuah kedai kopi di bilangan Melawai bernama Filosofi Kopi. Ben yang sejak kecil sudah mengenal dan akrab dengan kopi (karena sang ayah adalah petani kopi) menjadi barista di kedai kopi ini. Yang membuat beda kedai kopi ini adalah tentang filosofi yang dibuat Ben untuk setiap jenis kopinya.

Sedangkan Jody adalah partner yang lebih menekankan pada laporan dan keuangan kedai kopi. Permasalahan mengenai hutang yang melilit mereka (yang dapat membawa kedai kopi ini jatuh) membuat Ben menerima tantangan seorang pengusaha untuk menemukan kopi yang sempurna untuk disuguhkan ke calon partner kerjanya yang benar-benar keliling dunia hanya untuk secangkir kopi terbaik. Bahkan Ben meningkatkan tantangan 100juta menjadi 1M karena dia yakin akan memenangkannya dan mampu menyelesaikan semua masalah kedai kopi itu sekaligus.

Tak lama kemudian Ben sibuk membuat racikan kopi terbaik dengan biji kopi pilihannya (yang “terpaksa” direlakan Jody dengan merogoh kocek lebih dalam) dan dia berhasil menemukan Ben’s Perfecto. Hadirlah El, seorang penikmat kopi sejak kecil dan sedang dalam proses membuat buku mengenai kopi (melanjutkan penelitian ayahnya soal kopi). Kehadiran El yang membuat Jody terpesona ternyata membawa Ben ketar-ketir. Karena menurutnya Ben’s Perfecto bukanlah kopi terbaik.

Film ini merupakan film yang saya tunggu bersama teman saya, yang sama-sama penggila Filosofi Kopi sejak pertama kali membacanya. Dia bahkan sudah mendengungkan saat pertama kali cerita ini akan diangkat ke layar lebar dan banyak bercerita soal bagaimana Chicco Jerikho dan Rio Dewanto berlatih meracik kopi di Pasar Santa dan lainnya.

Filosofi Kopi sendiri menarik perhatian saya karena kisahnya adalah kisah perjalanan hidup tentang cinta dan obsesi akan kopi dan ternyata film ini berhasil membuatnya dengan apik. Karena itulah saya memberi judul Review Film Filosofi Kopi ini dengan Kopi, Kenangan, Cinta dan Obsesi. Akan saya coba jelaskan nanti di akhir tulisan ini.

Akting para pemeran dalam film ini sudah sangat tidak diragukan. Persiapan yang dilakukan oleh masing-masing pemeran film ini sangat keren. Mereka benar-benar belajar meracik secangkir kopi dan menikmati filosofi di balik secangkir kopi itu. Adakah yang saya sayangkan secara peran dalam film ini? Tidak ada. Sepanjang film saya menikmati semuanya yang berjalan dengan mulus. Ben sang barista ditonjolkan dengan baik oleh Chicco, si orang keuangan Jody juga diperankan dengan apik oleh Rio, si peneliti yang hanya menyuarakan versi dia juga diperankan dengan baik oleh Julie. Ini ada video di mana Chicco melakukan penelitian soal kopi untuk film ini.