Bagaimanakah Realitas, Fakta, dan Data dalam Penelitian Antropologi Sastra?


Realitas, fakta, dan data masih sering dipahami secara simpang siur.

Lalu bagaimanakah ketiga hal tersebut dalam penelitian antropologi sastra?

Penelitian antropologi sastra akan berhadapan dengan tiga hal tentang pembuktian hasil penelitian. Pembuktian yang dimaksud tidak seperti penelitian ilmu eksata, melainkan lebih cenderung pada aspek klarifikasi. Ketiga hal itu sering dinamakan realitas, fakta, dan data. Ketiga hal ini sering digunakan secara campur aduk dalam penelitian sastra. Apa yang dimaksud dengan realitas atau kenyataan?

Secara sederhana kenyataan dapat didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang dianggap ada”. Konsep “ada” juga termasuk segala sesuatu yang “diadakan.” Konsep “dianggap” menandai sebuah dunia mungkin yang dibayangkan, diargumentasikan, dan diimajinasikan oleh peneliti sastra. Kata dianggap di sini menduduki posisi penting sebab kata tersebut mencerminkan relativitas. Asumsi (anggapan) sering muncul dari proses imajinasi, apalagi sastra adalah dunia imajinasi yang sarat dengan anggapan-anggapan sehingga relativitas selalu ada. Relativitas itu ada karena asumsi tentang segala sesuatu. Sastra banyak memuncul ribuan anggapan, terlebih kalau berdampingan dengan budaya.

Realitas itu dunia mungkin yang kadang-kadang bersifat subjektif. Artinya, apa yang “ada” bagi seseorang belum tentu “ada” bagi yang lain karena masing-masing memiliki pandangan yang berbeda tentang suatu hal. Dalam sastra, seringkali dijumpai seseorang menolak bandingan orang lain karena memiliki argumen realitas yang berbeda. “Ada” di sini tidak harus bersifat empiris atau dapat diketahui lewat pancaindra sebab banyak hal yang kita anggap ada tanpa kita pernah mengalaminya secara empiris.

Ada juga yang sering dialami orang, tetapi belum tentu diketahui, misalkan kelahiran bayi. Banyak orang tahu kelahiran dari orang lain, bukan dari dirinya sendiri. Oleh karena “ada” juga menyangkut hal ihwal metafisika, amat mungkin terjadi silang pendapat terhadap cakrawala bandingan. “Ada” di sini juga bisa berarti ada di dunia, di jagat raya ini, baik secara empiris maupun dalam pikiran kita. Sastra adalah ekspresi pemikiran, keinginan, dan perasaan yang sering memunculkan pemikiran tentang realitas pula.

Yang unik, dalam penelitian sastra sering ada yang berpendapat bahwa realitas itu sama halnya dengan fakta. Fakta seringkali disamakan dengan kenyataan. Akan tetapi, kalau kita melakukan ini, timbul pertanyaan, “Mengapa kita harus menggunakan dua kata yang berbeda untuk mengatakan hal yang sama?” Atas dasar hal ini tentu kedua hal itu memiliki implikasi yang berlainan. Jika ada dua kata yang berbeda, keduanya harus menunjuk dua hal yang berbeda. Bahkan, apa yang kita sebut sinonim pada dasarnya tidak dapat menunjuk kepada dua hal yang persis sama.

Ada pengertian-pengertian tertentu yang terdapat pada satu kata, tetapi tidak kita temukan pada sinonimnya. Jadi, fakta harus kita bedakan dengan “realitas” atau kenyataan. Fakta belum tentu realitas sebab dalam sastra, pengarang semakin bebas mengemukakan realitas. Ungkapan pengarang itu sudah amat imajinatif dari realitas. Realitas tersebut mungkin merupakan kamuflase dari fakta-fakta. Jadi, ada tumpukan fakta, disusun menjadi realitas, dan kelak akan menjadi sebuah data.

Fakta di sini kita definisikan sebagai pernyataan tentang realitas, tentang kenyataan. Seseorang yang menceriterakan suatu kejadian pada dasarnya adalah orang yang sedang mengemukakan fakta-fakta, mengemukakan pernyataan-pernyataan tentang suatu kenyataan. Biarpun kejadian itu dalam bentuk fiksi dan puisi, itulah fakta. Oleh karena itu, suatu fakta selalu bersifat “subjektif”, dalam arti bahwa fakta tersebut selalu dihasilkan lewat sudut pandang orang tertentu. Pengarang yang telah terjun ke dunia absurditas seperti Danarto, Jayus Pete, Sutardji Calzoum Bachri, Seno Gumira Ajidarma, Krishna Miharja, Suwardi Endraswara, Andy Casiyem Sudin, Triyanto Triwikromo tentu memiliki wawasan berbeda ketika menyimak realitas kemiskinan dan korupsi di negeri ini.

Maka dari itu, suatu kenyataan yang sama dapat saja dikemukakan dengan cara-cara yang berbeda. Ini terlihat jelas dalam berbagai macam berita mengenai suatu kejadian yang dimuat oleh berbagai surat kabar yang berbeda. Ketika gempa bumi melanda Yogyakarta, Aceh, Tasikmalaya, tiap pengarang boleh menanggapinya berbeda. Walaupun peristiwanya sama, berita mengenai peristiwa ini tidak akan pernah persis bisa sama. Faktanya ada gempa, tetapi realitasnya berbeda dalam menghadapinya. Fakta cenderung dimaknai sebagai kejadian atau peristiwa yang mungkin dapat dikisahkan.

Di pihak lain, suatu fakta juga dapat dikatakan “objektif” karena selalu didasarkan pada suatu kenyataan. Pernyataan yang tidak didasarkan pada suatu kenyataan tidak dapat dikatakan sebagai fakta. Dia lebih tepat disebut sebagai “karangan” atau hasil dari sebuah khayalan, hasil imajinasi. Kini, sastra akan berhadapan dengan “dua dunia”, yaitu dunia fakta objektif karena melukiskan kenyataan dan dunia imajinatif yang mungkin jauh dari kenyataan. Sampai di sini, akan muncul fakta imajinatif. Fakta cerita biasanya merupakan hasil kamuflase dari realitas. Fakta-fakta imajinatif yang merupakan pancaran realitas itu baru akan berubah statusnya menjadi “objektif” ketika menjadi sebuah data.

Dalam penelitian antropologi sastra, fakta dapat menjadi data, tetapi tidak semua fakta adalah data. Penelitian antropologi sastra jelas akan berhadapan dengan data yang merupakan potret dari fakta-fakta dan realitas. Data di sini dikatakan sebagai fakta yang relevan, yang berkaitan secara logis dengan (a) masalah yang ingin dijawab atau masalah penelitian dan dengan (b) kerangka teori atau paradigma yang digunakan untuk menjawab masalah tersebut.

Jadi, data adalah fakta yang telah dipilih, diseleksi berdasarkan atas relevansinya. Untuk itu peneliti akan membuat rumusan, kategori, klasifikasi, pemaknaan, dan akhirnya membandingkan data-data. Data-data yang ditemukan diangkat, dipahami, dan dibandingkan satu sama lain hingga menemukan simpulan. Itulah kerja ilmiah sastra.

Data yang dibutuhkan dalam suatu penelitian sastra bisa berupa data kualitatif atau data kuantitatif, atau kedua-duanya, dan sebuah penelitian bisa saja memerlukan dan memanfaatkan dua jenis data ini untuk menjawab masalah-masalahnya. Hanya saja, sejauh pengalaman saya, hampir seluruh data sastra cenderung berupa data kualitatif. Data dapat berupa potongan teks atau teks utuh.

Data yang terseleksi akan diproses, disesuaikan dengan permasalahan yang hendak dirunut. Jika data kuantitatif cenderung berupa angka-angka, data kualitatif tidak berupa angka, tetapi pernyataan-pernyataan yang memberikan keterangan, informasi, mengenai isi, sifat, ciri, keadaan dari sesuatu atau hubungan-hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf