Adakah yang disebut Angkatan 66 dalam periode sastra Indonesia? Adakah angkatan yang lahir sesudah angkatan 45? Kalau ada siapakah yang berpendapat seperti itu? Adakah pendukungnya?
Masalah Penamaan Angkatan 66
H. B. Jassin berpendapat bahwa seperti juga Angkatan Pujangga Baru dan Angkatan 45, pun Angkatan 66 tidak sekaligus diterima kehadirannya oleh semua golongan. Meskipun diakui adanya Angkatan 66 dalam masyarakat, sebagian orang meragukan adanya dalam kesusastraan, sebab apakah kriterium kesusastraan yang dapat dipakaikan kepadanya?
Maka ramailah polemik dan kontra apakah tulisan H. B. Jassin dalam majalah Horison bulan Agustus 1966, memproklamasikan bangkitnya suatu generasi baru dalam kesusastraan.
Akan tetapi, setuju atau tidak setuju orang telah mempermasalahkannya dan pengarang-pengarang angkatan baru ini terus membuktikan adanya dengan karya-karyanya. Tulisan mereka memenuhi majalah-majalah baru Horison, Sastra (lanjutan), Cerpen, Gelanggang Budaya Jaya, dan surat-surat kabar. Pun telah ada karya mereka yang terbit sebagai buku, distensil atau dicetak. Sebuah antologi khusus Angkatan 66 Prosa dan Puisi memperkenalkan hasil-hasil mereka, seperti sekadar riwayat hidup dan keterangan mengenai kegiatannya di lapangan penciptaan.
Pujangga Angkatan 66 antara lain: Taufiq Ismail, Bur Rosmanto, dan Mansur Samin.
TAUFIQ ISMAIL
Di bawah ini dicantumkan puisi Taufiq Ismail, yang berjudul Buku Tamu Musium Perjuangan
BUKU TAMU MUSIUM PERJUANGAN
Pada tahun keenam
Setelah di kota kami didirikan
Sebuah musium perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah baya
Berkunjung dari luar kota
Pada sore bulan November berhujan
Dan menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam, halaman seratus delapan
“ Bertahun-tahun aku rindu
Untuk berkunjung ke mari
Dari tempatku yang jauh sekali
Bukan sekadar mengenang kembali
Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
Di daerah itu
Bukan sekadar menatap lukisan-lukisan
Dan potret para pahlawan
Mengusap-usap karaban tua
Baby mortir buatan sendiri
Atau menghitung-hitung satyalencana
Dan selalu mempercakapkannya
Alangkah sukarnya begitu
Dari tempatku kini, yang begitu jauh
Untuk datang seperti ini
Dengan jasad berbasah-basah
Dalam gerimis bulan November
Datang sore ini, menghayati musim yang lengang
Sendiri
Menghidupkan diri kembali
Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
Di waktu kebebasan adalah impian keabadian
Dan belum terpikir oleh kita masalah kebendaan
Penggelapan dan salah guna pengatas namaan
Begitulah aku berjalan pelan-pelan
Dalam musim ini yang lengang
Dan lemari kaca tempat naskah-naskah berharga
Ke sangkutan ikat kepala, sangkar-sangkar berbendera
Maket pertempuran dan penyergapan
Kuraba mitraliur Jepang dari baja hitam
Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt
PENGOEMOEMAN REPUBLIK yang mulai berdebu
Gambar laskar yang kurus-kurus
dan kuberi tabik khidmat dan diam
Pada gambar Pak Dirman
Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali
Jendela musim dipukul angin dan hujan
Kain pintu dan tingkap bergetaran
Di pucuk-pucuk cemara halaman
Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan
Di depan tugu dalam musim ini
Menjelang pintu keluar di tingkat bawah
Aku berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping aluminia
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku di sana…
GUGUR DALAM PENCEGATAN TAHUN EMPAT PULUH DELAPAN
Demikianlah cerita kakek penjaga
Tentang pengunjung lelaki separuh baya
Berkemeja drill lusuh, dari luar kota
Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya
Datang ke musium perjuangan
Pada suatu sore yang sepi
Ketika hujan rindi tetes di jendela
Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara
Lelaki itu menulis kesannya di buku tamu
Buku tahunan keenam, halaman seratus delapan
Dan sebelum dia pergi
Dengan tangannya yang dingin dan aneh
Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh
Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan
Ke tengah gerimis di pekarangan
Tetapi sebelum pagar halaman lelaki itu tiba-tiba menghilang
(1964)
Taufiq Ismail hanya menggunakan kata sehari-hari dalam sajaknya tersebut di atas. Ia lebih mengutamakan ungkapan makna daripada komponen sajak lainnya seperti dalam sajak-sajak sebelumnya. Hal ini memungkinkan sajak itu dapat dipahami isinya tanpa mengerutkan kening.
IBRAHIM SATTAH
Bandingkan sajak Taufiq Ismail yang telah dikemukakan dengan sajak Ismail Satta yang berjudul Duka di bawah ini.
DUKA
Duka ‘tu
anu
duka ‘tu
aku
aku ‘tu
kau
kau ‘tu
duka
duka ‘bunga
duka daun duka du
ri duka hari
dukaku duka siapa dukamu duka siapa
duka bika
duka apa
duka di mana duka dunia
duka duuuuuuu
kidukhku
duka kau
duka
diri
dua duri
dari
sepi
(Ibrahim: 1980)
Tentang keadaan puisi Ibrahim Satta (1982 : 30) di atas, Mursal Esten berpendapat bahwa ada kata yang hadir tanpa maknanya. Namun, mereka masih tetap ingin mendapatkan suasana dari “kata” yang ditampilkan yaitu suasana mistis. Pada pusis-puisi dari penyair sebelumnya, kata dan maknanya, ada sesuatu yang amat penting .