Bagaimanakah Pandangan Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi?

static1.squarespace.com

Manusia merupakan mahluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna, yang membedakan kesempurnaan manusia dengan mahluk-mahluk lainnya adalah akal, Allah SWT membekali akal bagi manusia untuk keberlangsungan hidupnya, agar tercipta suasana yang kondusif, sehingga sesuai dengan tujuan diciptakannya manusia yaitu sebagai Khalifah fil-ard ( wakil Tuhan di bumi), yang membawa misi Rahmatan lil’alamin (kasih sayang bagi seluruh alam).

Dengan akal pikirang yang telah diberikan oleh Allah SWT, manusia dituntut untuk mengembangkannya, yaitu dengan jalan mencari ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang terdapat dalam sabda-sabda RasulNya, yaitu Muhammad SAW, yang megumandangkan kewajiban mencari ilmu bagi umat Muslim. Rasulullah SWA memprioritaskan umatnya untuk mencari ilmu syar’i, yaitu demi pembentukan sikap dan prilaku yang mengandung unsur Akhlakul Karimah.

Dewasa ini banyak perkembangan-perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, semisal dalam bidang elektronika ada televisi, radio, komputer. Bidang otomotif ada mobil, pesawat terbang, kapal. Bidang kedokteran ada bayi tabung, cangkok ginjal, cloning, dan lain sebagainya. Yang semakin lama semakin berkembang.

Berkenaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut, maka umat Islam yang notabennya memprioritaskan pendidikannya dalam lingkup syar’i akan jauh ketinggalan dibandingkan dengan orang-orang barat yang mayoritas nonMuslim.

Dengan pendalaman ilmu-ilmu syar’i saja, umut Muslim akan terpuruk, dan selalu di jajah dengan adanya kebutuhan-kubutuhan yang harus dipenuhi dari hasil ciptaan dan karya orang-orang barat. Maka dari itu, kita akan mencoba mengkaji pandangan Islam tentang ilmu pengetahuan dan teknologi demi meningkatkan pemahaman Islam yang secara totalitas dan tidak parsial, dan juga demi kemajuan umat Islam dalam segala bidang ilmu.

Pertanyaan yang sering terlontar dari benak orang-orang adalah:

  1. Apa pengertian ilmu pengetahuan dan teknologi?
  2. Bagaimana pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi?
    Maka setitik jawaban telah kami dapatkan terhadap pertanyaan di atas. Yakni;

Pengertian ilmu pengetahuan
Dalam kehidupan manusia banyak mnedapat pengalaman, dari pengalaman itu didapatkan sejumlah pengetahuan atau knowledge yang memiliki sifat keajegan tertentu tanpa kemampuan untuk menjelaskan sebab-sebabnya secara terinci dan rasional. Pengetahuan demikian banyak macamnya dalam kehidupan ini. Tiap manusia berbeda jumlah dan macamnya pengalaman yang dimiliki tersebut, tanpa ada kemampuan untuk menjelaskannya.

Kalau ingin mampu memberikan penjelasan maka masih diperlukan kegiatan yang lebih intens untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih utuh daripada umumnya pengetahuan yang ada. Untuk itu perlu didukung oleh sejumlah kegiatan berikutnya yang lebih serius guna mendapatkan intisari pengetahuan tersebut hingga dapat dipedomani untuk perencanaan, prediksi-prediksi maupun kontrol atas kebenarannya.

Kombinasi usaha mencari pendekatan rasional dan mengumpulkan fakta-fakta empiris inilah yang bias disebut dengan pendekatan mendapatkan pengetahuan dengan metode keilmuan. Melalui metode keilmuan akan didapatka “ilmu” dari sejumlah “pengetahuan”, yang memiliki cirri-ciri tertentu, sebagai pembeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang belum teruji.

(pengetahuan = knowledge, sedang ilmu = science atau sains). Jadi ilmu adalah pengetahuan yang memenuhi cirri-ciri tertentu dan disinilah dibakukan menjadi “ilmu pengetahuan”, yang kedua terminology tersebut digabung menjadi satu kata. Dapat juga dirumuskan bahwa ilmu ialah sebagai “pengetahuan yang ilmiah”.

Sedangkan teknologi adalah penerapan ilmu-ilmu dasar untuk memecahkan masalah guna mencapai suatu tujuan tertentu. Adapun tujuan manusia dalam kehidupan ini dapat menjadi banyak sekali, yang kesemuanya itu ditentukan oleh niatnya, sebagaimana yang disebut dengan “semua amal itu tergantung pada niatnya”.

Kedudukan ilmu pengetahuan sendiri sebagai ilmu dasar jelas netral. Setelah digunakan manusia untuk diterapkan guna mencapai suatau tujuan, barulah dapat dinilai apakah penerapan itu dapat dibenarkan oleh agama atau tidak.

Pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi
Dengan uraian secara deskriptif di atas, maka judul makalah ini dapat didekati agak menjadi lebih jelas yang menghubungkan antara ajaran agama Islam dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agama Islam banyak memberikan penegasan mengenai ilmu pengetahuan baik secara nyata maupun secara tersamar, seperti yang disebut dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 yang artinya sebagai berikut :

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Maksudnya sebagai berikut : sama-sama dari kelompok yang beriman, maka Allah SWT akan masih meninggikan derat bagi mereka, ialah mereka yang berilmu pengetahuan.

Orang berilmu pengetahuan berarti menguasai ilmu dan memilki kemampuan untuk mendapatkan dan menjelaskannya. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan antara lain adanya sarana tertentu, yakni yang disebut “berpikir”. Jelasnya berpikir pada dasarnya merupakan suatu proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, apabila di dalam Al-Qur’an sering-sering disebut dengan kata-kata “berpikir” atau “berpikirlah” dan sebagainya. Dalam arti langsung maupun dalam arti sindiran dapat kita artikan juga sebagai perintah untuk mencari atau menguasai ilmu pengetahuan.

Dalam Al-qur’an dan Hadist sangat banyak ayat-ayat yang menerangkan hubungan tentang ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan serta pemanfaatannya yang kita sebut Iptek. Hubungan tersebut dapat berbentuk semacam perintah yang mewajibkan, menyurum mempelajari, pernyataan-pernyataan, bahkan ada yang berbentuk sindiran.

Kesemuanya itu tidak lain adalah menggambarkan betapa eratnya hubungan antara Islam dan Iptek sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Tegasnya hubungan antara Islam dan Iptek adalah sangat erat dan menyatu.

Dalam pandangan Islam, Iptek juga di gambarkan sebagai cara mengubah suatu sumber daya menjadi sumberdaya lain yang lebih tinggi nilainya, hal ini ter-cover dalam surat Ar-Ra’d syat 11, yaitu :

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya Al-Qur’an telah mendorong manusia untuk berteknologi supaya kehidupan mereka meningkat. Upaya ini harus merupakan rasa syukur atas keberhasilannya dalam merubah nasibnya. Dengan perkataan lain, rasa syukur atas keberhasilannya dimanifestasikan dengan mengembangkan terus keberhasilan itu, sehingga dari waktu kewaktu keberhasilan itu akan selalu maningkat terus.

Pada masa Nabi sudah ada penemuan-penemuan yang bisa dinamakan dengan Iptek, sepertihalnya Iptek dalam dunia pertanian. Para sahabat Nabi pernah melalukan pembuahan buatan (penyilangan atau perkawinan) pada pohon kurma. Lalu Nabi menyarankan agar tidak usah melakukannya. Kemudian ternyata buahnya banyak yang rusak dan setelah itu dilaporkan kepada Nabi, maka Nabi berpesan “ Abirruu antum a’lamu biumuuri dunyaakum” (lakukanlah pembuahan buatan! Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian).

Di dalam Al-Qur’an disebutkan juga secara garis besar, tentang teknologi. Yaitu tentang kejadian alam semesta dan berbagai proses kealaman lainnya, tentang penciptaan mahluk hidup, termasuk manusia yang didorong hasrat ingin tahunya, dipacu akalnya untuk menyelidiki segala apa yang ada di sekelilingnya, meskipun Al-Qur’an bukan buku kosmologi, atau biologi, atau sains pada umumnya, namun Al-Qur’an jauh sekali dalam membicarakan teknologi.

Dari beragam uraian di atas bahwasanya kita dapat melihat sendiri bagaimana pandangan Islam terhadap Iptek. Dalam pedoman utamanya (Al-Qur’an), banyak disebutkan sesuatu hal yang berkaitan dengan Iptek, hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat erat sekali dengan Iptek. Jadi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini merupakan wujud dari implikasi Al-Qur’an yang sebenarnya.

Banyak seruan-seruan di dalamnya yang menganjurkan manusia untuk berfikir dan mengembangkan potensinya dalam pengetahuan. Namun satu hal yang sangat disayangkan, umat muslim sangat rendah dalam bidang Iptek, sehingga ketinggalan perkembangan dengan orang-orang non muslim. Semoga dengan ini umat Islam sadar dan mau mengembangkan pengetahuannya dalam berbagia hal, sehingga menjadi umat yang berkualitas dengan adanya ketakwaan dan pengetahuan yang ditinggi.

Nah, dengan demikian dapatlah kita tarik kesimpulan sebagai berikut:

  • Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) adalah keilmuan yang tinggi yang dimiliki oleh seseorang dan mampu menjadi alat untuk menyelesaikan masalah.

  • Pandangan Islam terhadap Iptek adalah Iptek merupakan suatu hal yang tidak bisa ditinggalkan oleh seseorang, karena sangat pentingnya Iptek, maka hal tersebut sering disebut dalam Al-Qur’an. dalam arti Islam sangat menganjurkan pengembangan Iptek.

Sumber: ldk.stmik-dci.ac.id/

Ilmu atau dalam bahasa Arab disebut dengan ‘ilm yang bermakna pengetahuan merupakan derivasi dari kata kerja ‘alima yang bermakna mengetahui.

Secara etimologi, ilmu berasal dari akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alamah, yaitu ma’rifah (pengenalan), syu’ur (kesadaran), tadzakkur (pengingat), fahm dan fiqh (pengertian dan pemahaman), ‘aql (intelektual), dirayah dan riwayah (perkenalan, pengetahuan, narasi), hikmah (kearifan), ‘alamah (lambang), tanda atau indikasi yang dengan sesuatu atau seseorang dikenal.

Dalam menjelaskan ilmu secara terminologi, al-Attas menggunakan dua definisi; pertama, ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu adalah datangnya (husul) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; dan kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wusul) pada makna sesuatu atau objek ilmu. Hal ini berimplikasi bahwa ilmu mencakup semua hal.

Selanjutnya al-Attas menjelaskan bahwa kedatangan yang dimaksud adalah proses yang di satu pihak memerlukan mental yang aktif dan persiapan spiritual di pihak pencari ilmu, dan di pihak lain keridaan serta kasih sayang Allah SWT sebagai Zat yang memberikan ilmu. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pencapaian ilmu dan pemikiran, yang juga disebut proses perjalanan jiwa pada makna, adalah sebuah proses spiritual.

Ibnu Khaldun memilah ilmu atas dua macam, yaitu ilmu naqliyah (ilmu yang berdasarkan pada otoritas atau ada yang menyebutnya ilmu-ilmu tradisional) dan ilmu ‘aqliyah (ilmu yang berdasarkan akal atau dalil rasional).

Termasuk yang pertama adalah ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, tafsir, ilmu kalam, tasawuf, dan ta’bir al-ru’yah. Sedangkan yang kedua adalah filsafat (metafisika), matematika, dan fisika, dengan macam-macam pembagiannya.

Al-Attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hakikat yang inheren dalam keragamaan ilmu manusia dan cara-cara yang mereka tempuh untuk memperoleh dan menganggap kategorisasi ini sebagai bentuk keadilan dalam menempatkan ilmu pengetahuan sebagai objek dan manusia sebagai subjek. Dalam klasifikasinya, al-Attas membagi ilmu dalam dua bagian, yaitu ilmu iluminasi (ma’rifah) dan ilmu sains. Dalam bahasa Melayu yang pertama disebut dengan ilmu pengenalan dan yang kedua disebut dengan ilmu pengetahuan.

Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan jenis pertama dikategorikan sebagai ilmu fardu ‘ain yang bisa dan harus dipelajari oleh setiap umat Islam. Sedangkan kategori kedua berkaitan dengan fisik dan objek-objek yang berhubungan dengannya, yang bisa dicapai melalui penggunaan daya intelektual dan jasmaniah. Ia bersifat fardu kifayah dalam perolehannya.

ilmu

Dari pembagian di atas, disimpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak hanya meliputi ilmu-ilmu akidah dan syariah saja. Selain kedua ilmu tersebut, kita masih berkewajiban untuk menuntut ilmu lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan ilmu syar’iyyah kita akan mempelajari tanda Allah dari ayat qauliyyah yang bisa disebut dengan zikir, sedangkan dengan ilmu ghair syar’iyyah, kita akan mempelajari ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada jagat raya ini, yang disebut dengan tafakur.

Dalam hal ini, kita bisa menelaah bahwa dua aktivitas ini merupakan implementasi dari ayat al-Qur’an Surah Ali ‘Imran [3] ayat 190-191, dengan natijah (buah) penerimaan amal oleh Allah bagi para pelakunya.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. al-Qur’an Surah Ali ‘Imran [3] ayat 190-191

Muhammad Iqbal pernah menyatakan bahwa alam tak lain adalah medan kreativitas Allah. Karena bagi siapapun yang teliti mengadakan kajian terhadap cara Allah bekerja, maka akan menambah iman para pelakunya. Bukan malah sebaliknya, seperti yang sering terjadi di Barat, di mana Tuhan malah disingkirkan dari arena penelitian mereka.

Karena ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia, di samping itu hadis-hadis nabi juga banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu. Pengulangan kata ilmu dengan berbagai derivasinya juga menempati posisi kedua setelah kata tauhid.

Maka di sinilah letak integrasi antara ilmu fisik empiris dengan metafisika.

ilmu

Objek Ilmu

Dalam Islam terdapat dua alam yang disebutkan dalam alQur’an, yaitu alam non-fisik (‘alam al-ghayb) dan alam fisik atau yang tampak (‘alam al-syahadah). Dalam menjelaskan objek ilmu pengetahuan, para filsuf Muslim memberikan penjelasan mengenai objek-objek ilmu pengetahuan sesuai dengan status ontologisnya. Selama ini para filsuf Barat hanya mengakui keberadaan objek yang memiliki status ontologis yang jelas dan materil, yakni objek-objek fisik.

Berbeda dengan para filsuf Muslim yang mempunyai pandangan bahwa entitas yang ada tidak hanya terbatas pada dunia fisik saja, tetapi juga pada entitas non-fisik, seperti konsep-konsep mental dan metafisika. Meskipun al-Qur’an menyebutkan perbedaaan antara alam fisik dan metafisik, namun keduanya tidak dapat dipisahkan yang satu dengan lainnya. Karena tujuan mempelajari alam fisik adalah menunjukkan ilmu tentang alam metafisik.

Manusia diberkahi qalb atau hati yang dapat menerima pengalaman tentang alam metafisik. Mengetahui alam metafisik ini tidak dapat dilakukan secara langsung namun harus melalui perantara wahyu. Ilmu tanpa bimbingan wahyu hanya akan menyebabkan kerusakan. Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak bisa terlepas dari wahyu sebagaimana dinyatakan dalam Surah al‘Alaq [96]: 5 bahwa

“Dia (Allah SWT) mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa objek ilmu dalam Islam tidak semata berkaitan dengan objek fisik atau yang tampak pada indra dan akal manusia. Namun ia mencakup objek fisik dan metafisik. Oleh karena itu, kebenaran ilmu atau hal-hal yang mengandung nilai ilmiah dalam Islam, tidak hanya yang bisa diverifikasi atau difalsifikasi oleh fakta empiris dan dirasionalkan melalui eksperimen atau logika semata. Islam menegaskan bahwa semua ilmu datang dari Allah SWT.

Sumber Ilmu dan Cara Memperolehnya

Sudah disinggung di awal, bahwa objek ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada kajian fisik empiris saja, yang hal ini tentunya berbeda dengan epistemologi Barat Modern. Hal ini berimplikasi pada sumber atau saluran dari ilmu dalam Islam yang mempunyai perbedaan signifikan dengan epistemologi Barat. Jikalau Barat hanya mengakui indra dan rasio, spekulasi filosofis dalam epistemologinya, maka dalam pandangan filsuf Muslim, ilmu yang datang dari Tuhan dapat diperoleh melalui 3 cara: indra yang sehat, laporan yang benar, dan intelek.

  1. Indra yang sehat (hawas salimah)
    Indra yang sehat (hawas salimah) terdiri dari dua bagian, yaitu panca indra eksternal dan internal. Panca indra eksternal terdiri dari peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran (hearing), dan penglihatan (sight). Sedangkan panca indra internal adalah akal sehat (common sense/ al-hiss al-musytarak), indra representatif (al-khayaliyyah), indra estimatif (al-wahmiyyah), indra retentif rekolektif (al-hafizah al-sadiq), dan indra imajinatif (al-mutakhayyilah).

  2. Laporan yang benar (al-khabar al-sadiq)
    Laporan yang benar (al-khabar al-sadiq) berdasarkan otoritas terbagi menjadi dua, yaitu otoritas mutlak, yaitu yang dibawa oleh Nabi SAW berdasarkan wahyu dari al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. Contoh dari otoritas mutlak adalah seperti otoritas ketuhanan, al-Qur’an, otoritas kenabian, serta otoritas nisbi, yaitu kesepakatan alim ulama dan kabar dari orang-orang yang terpercaya secara umum.

  3. Intelek,
    Intelek terdiri dari dua bagian, yaitu akal sehat (sound reason/ ratio), dan ilham (intuition).

Sebagai penjelasan bahwa Islam tidak pernah mengecilkan peranan indra, yang dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris. Dalam hal ini metode yang bersangkutan dengan indra disebut dengan tajribi (eksperimen atau observasi) bagi objek-objek fisik (mahsusat). Metode observasi ini biasanya menggunakan sumber pengetahuan panca indra.

Namun, terkadang indra tidak akurat dalam memperoleh pengetahuan. Demikian pula pikiran, sebagai aspek intelek manusia, ia merupakan saluran penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan mengenai sesuatu yang jelas, yaitu perkara-perkara yang bisa dipahami dan dikuasai oleh akal, dan mengenai sesuatu yang bisa dicerap dengan indra. Akal bukan hanya rasio, ia adalah mental logika.

Sedangkan metode ketiga adalah intuisi atau yang disebut dengan ‘irfani atau dzauqi. Metode ini adalah langsung dari Tuhan tidak melalui perantara, sehingga disebut dengan mukasyafah langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasia-rahasia dari realitas yang ada. Dalam hal ini, para filsuf dan sufi menyebut metode ini dengan ‘ilm huduri. Di sini objek yang diteliti dikatakan hadir dalam diri atau jiwa seseorang sehingga telah terjadi kesatuan antara subjek dan objek.

Metode ini dipengaruhi oleh pemikiran cendekiawan sufi. Iqbal menganggap bahwa intuisi sebagai pengalaman yang unik, lebih tinggi daripada persepsi dan pikiran, yang menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi. Menurut al-Attas, meskipun pengalaman intuitif ini tidak bisa dikomunikasikan, tetapi pemahaman mengenai kandungannya atau ilmu pengetahuan yang dihasilkannya bisa ditransformasikan. Intuisi ini terdiri dari berbagai tingkat, yang terendah adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka dan yang tertinggi dialami oleh para nabi.

Menurut Iqbal, dari intuisi mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya, akhirnya bisa mengalami intuisi mengenai Allah. Sebuah pandangan yang disepakati oleh al-Attas karena kesesuaiannya dengan hadis Nabi SAW,

“Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya”.

Sumber :
Achmad Reza Hutama al-Faruqi, Konsep Ilmu dalam Islam, Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Ponorogo

Kita tak perlu malu mengakui kebenaran dan mengambilnya dari sumber manapun datangnya, bahkan kalaupun kebenaran itu dibawa kepada kita oleh generasi-generasi terdahulu dan bangsa-bangsa asing. Sebab bagi pencari kebenaran tak ada nilai yang lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri. Kebenaran tak pernah menghindar dari orang-orang yang mau menerimanya. Kebenaran tak pernah menghinakan orang yang menerimanya, melainkan selalu membuatnya mulia [al-Kindi]

Islam merupakan agama yang sangat mendorong dan mendukung tegaknya kebenaran, rasionalitas, dan ilmu pengetahuan (al-‘ilm), karena Nabi Saw. sendiri menyatakan bahwa

Agama (Islam) adalah akal (rasionalitas), maka tidak dikatakan beragama orang yang tidak mendayagunakan akalnya. (HR. Ibn Hibbân).

Beberapa ayat al-Qur‘an juga menunjukkan pentingnya ilmu pengetahuan dan kedudukan ulama. Di antaranya adalah firman Allah:

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu di antara kamu beberapa derajat…” (QS. al-Mujâdilah [58]:11)

Perkembangan ilmu bermula dari sikap kuriositas (rasa ingin tahu) manusia dan berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya. Karena memiliki potensi akal, rasa, karsa, dan mata hati (bashîrah), termasuk spiritualitas (God Spot, noktah Ilahiyyah) yang ada dalam dirinya, manusia selalu terdorong untuk mengetahui sesuatu, memahami berbagai obyek yang ada di sekitarnya, mencari jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang mengusiknya, baik mengenai alam sekitarnya (makro kosmos) maupun mengenai alam dirinya sendiri (mikro kosmos).

Dua pilar utama pengembangan ilmu pengetahuan adalah penalaran (rasionalitas) dan pengamatan (empirisme). Keduanya terjalin sangat erat, dan menjadi dasar metode ilmiah. Keingintahuan manusia dapat muncul dari renungan, refleksi, pemikiran dan kontemplasi yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengamatan, pencatatan, analisis dan konseptualisasi. Bisa jadi, rasa ingin tahu juga muncul berdasarkan pengamatan, kemudian dilanjutkan dengan renungan, seperti pengalaman Nabi Ibrâhîm As. dalam menemukan kebenaran akan keesaan Allah yang Maha Kuasa.

Akan tetapi, sumber ilmu pengetahuan tidaklah terbatas pada pengamatan, pengalaman empiris, penalaran logis dan hasil bacaan, sebab semua itu cenderung bersifat relatif dan temporer, bahkan subyektif. Oleh karena hakekat kebenaran itu bersumber al-Haqq al-Ahad (Sang Maha Benar yang Maha Esa), maka sumber ilmu pengetahuan lainnya yang tidak dapat diabaikan adalah wahyu (kitab suci), karena sumber yang terakhir ini bersifat mutlak dan trasendental, sedangkan sumber-sumber yang lain (akal, indera, pengalaman, dan sebagainya) bersifat nisbi, relatif dan subyektif.

Dalam perspektif mistik, intuisi dan suara hati nurani (dhamîr) juga merupakan sumber kebenaran, karena memang hati nurani itu, menurut al-Qur‘an tidak berdusta (selalu menyuarakan kebenaran)

Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. (QS. al-Najm [53]:11).

Dengan kata lain, Kitab suci dan tradisi Nabi Saw. (Sunnah) tidak hanya sebagai sumber hukum, melainkan juga sebagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban. Manusia dalam hal ini dituntut mampu mengaktualisasikan dirinya dengan memberikan kontribusi besar dalam menerjemahkan, menafsirkan dan membumikan pesan-pesan ilahi tersebut, berikut merumuskannya dengan bahasa ilmu: konseptualisasi dan teoritisasi.

Posisi Ilmu dalam Islam

Al-Qur‘an dan al-Sunnah sangat mendorong umat Islam untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan perintah pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya, yaitu perintah membaca, melakukan pembacaan dengan mengatasnamakan Allah (iqra’ bismi rabbik)

Dalam al-Qur‘an sendiri dijumpai penggunaan kata “’ilm” sebanyak 854 kali. Kata ’ilm , antara lain, digunakan sebagai “proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!”

Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
(QS. al-Baqarah [2]:31-32).

Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada sumber-sumber ilmu, di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya . Ayat-ayat al-Qur‘an (teks) dan ayat-ayat Allah yang ada di alam raya, keduanya secara terpadu, tidak hanya menarik ―dibaca‖ dan dikaji, melainkan juga dapat menjadi sumber dan obyek penelitian dan pengembangan yang tidak pernah lapuk ditelan zaman.

Beberapa Sunnah Nabi Saw juga memerintahkan kita untuk menuntut ilmu semenjak buaian ibu hingga masuk liang lahad (mati). Tinta ulama itu lebih utama daripada darah syuhada‘ (HR. al-Bukhârî).

Bertafakkur sekali itu lebih baik daripada beribadah seribu kali. Menuntut ilmu juga merupakan salah satu jalan yang mengantarkan seseorang masuk surga.

“Berperang” dalam rangka mencari ilmu itu lebih disukai Allah daripada mengikuti seratus kali perang (HR. al-Bukhârî).

Dalam konteks tersebut, semua manusia mencipta dan diciptakan oleh sistem kebudayaannya melalui proses pendidikan. Sejarah kebudayaan manusia berkembang dari tahap mitis (penuh mitos), ontologis, dan fungsional. Secara keseluruhan, al-Qur‘an menekankan pada kebudayaan yang fungsional di mana ilmu dan teknologi mengambil peran sentral. Al-Qur‘an mengajarkan agar manusia berpengetahuan, tidak sekedar mencari tahu, melainkan juga dengan tujuan tertentu yang bersifat fungsional.

Oleh karena itu, sifat dasar ilmu pengetahuan dalam Islam adalah adanya wawasan terhadap Yang Kudus. Sesungguhnya yang membedakan cara berpikir Islami dari cara berpikir Barat adalah keyakinan yang tidak tergoyahkan dari cara berpikir yang pertama bahwa Allah berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya, termasuk ilmu pengetahuan, berasal dari satu-satunya sumber, yang tidak lain adalah Allah (al-Haqq).

Oleh karena sumber pengetahuan adalah Yang Kudus, maka tujuan ilmu tidak adalah proses menuju kesadaran mengenai Yang Kudus. Dengan demikian, Allah adalah Sumber dan Muara ilmu (al-Alîm, al-Allâm).

Ilmu dalam perspektif pendidikan Islam, dengan demikian, bukan tujuan itu sendiri, melainkan sarana, media atau alat untuk mencapai tujuan yang lebih luhur dan mulia, yakni mencapai kesadasaran tentang Yang Kudus, Yang Mahasuci, Yang Maha Mengetahui, sehingga pemiliknya sadar bahwa dengan ilmunya ia harus mengelola alam, menjalin hubungan baik dengan sesama, dan lebih-lebih beribadah dengan-Nya secara konsisten (istiqâmah) dan bertanggung jawab.

Dengan ilmu, manusia diharapkan tidak saja lebih dekat dengan Tuhannya, melainkan juga lebih merakyat dengan sesama, dan lebih bermanfaat bagi kehidupan, serta berperan dalam mendayagukan fasilitas dan sumber daya alama yang tersedia di alam raya (ayat-ayat kawniyyah). Jadi, ilmu dalam Islam merupakan jalan yang dapat mengantarkan seseorang kepada ma`rifat Allah (mengenal dan memahami Allah), sehingga ia menjadi ‘abd (hamba) sekaligus khalifah-Nya yang bertanggung jawab dalam membangun peradaban dunia yang berkeadilan dan menyejahterakan.

Metode Pemerolehan Ilmu

Pada umumnya ilmu itu diperoleh melalui pencarian, pembacaan, penelitian, permenungan, kontemplasi, ilham, dan pengalaman. Dari segi pemerolehannya, ilmu dapat dikategorikan menjadi: al-ilm al-hushûlî atau ‘ilm al-kasb dan al-‘ilm alhudhûrî, `ilm al-wahb atau ilm ladunnî.

  • Yang pertama diperoleh melalui usaha dan kerja akal-rasioanal, seperti: belajar, membaca, meneliti, mengamati, melakukan ujicoba (eksperimen), permenungan, dan kontemplasi.

  • Yang kedua diperoleh melalui intuisi, ma’rifah (gnostik) dan pendekatan diri kepada Allah.

Para Nabi, aulia’ (wali), dan sufi pada umumnya, diyakini dapat (dan pernah) mendapat ilmu jenis ini; sedangkan masyarakat pada umumnya cenderung memperoleh ilmu melalui jalur pendidikan, baik informal, formal maupun nonformal atau otodidak.

Khusus para Nabi, oleh Allah, diberi hikmah dan wahyu. Hal tersebut, antara lain, ditegaskan oleh Allah swt. dalam al-Qur‘an:

Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad Saw.) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang yang disampaikan kepadanya.” (QS. al-Najm [53]:3-4).

Pada ayat lain Allah menyatakan:

Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang al-Qur‘an dan alSunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa yang dianugerahi Allah hikmah itu, berarti ia benar-benar dianugerahi kanuria yang banyak…(QS. al-Baqarah [2]: 269).

Jadi, ilmu Allah itu ada yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk wahyu dan hikmah, seperti yang dianugerahkan kepada para Nabi, dan ada pula yang diberikan kepada manusia pada umumnya melalui belajar, mencari ilmu, berguru, membaca, meneliti dan seterusnya.

Kedua jenis ilmu tersebut pada dasarnya bermuara sama, yaitu bahwa kebenaran ilmu itu bersumber dari Allah Swt. Bedanya adalah bahwa ilmu para Nabi yang berupa wahyu mempunyai nilai kebenaran yang lebih tinggi, dibandingkan dengan ilmu yang diperoleh manusia pada umumnya. Dalam pemerolehannya, keduanya memang melibatkan fungsi akal, namun pencapaian melalui akal mustafâd (melalui Jibril) jelas lebih unggul dan steril dari hawa al-nafs (kepentingan dan kecenderungan pribadi manusia).

Wahyu itu diberikan, dalam arti, Allah berkehendak menurunkan langsung ilmu-Nya kepada para Nabi; sedangkan dalam ilm hushûlî, manusia yang berkeingingan untuk memperolehnya. Dalam perspektif pendidikan Islam, pemerolehan ilmu tidak hanya terkait dengan metode pemerolehannya, melainkan juga tidak dapat dipisahkan dengan etika yang dipedomani si pembelajar.

Metode pemerolehan ilmu melalui belajar (ta’allum, dirâsah, iktisâb, talaqqi, musyâfahah), menurut para pakar pendidikan Islam, antara lain seperti al-Khathîb al-Baghdâdi (392-463 H), dapat ditempuh dengan imlâ (dikte dari guru kepada murid), samâ (mendengar, mengaji), qira’ah (membaca), ardh (presentasi), mudzâkarah wa tikrâr (pengulangan), su’âl (penanyaan), munâzharah (diskusi), rihlah fi thalab al-ilm (studi tour), ijâzah (pemberian pengakuan, ijazah), mukâtabah (penyalinan), i`lâm (transfer informasi), washiyyah (pemberian wasiat), munâwalah (penyampaian riwayat, berita, informasi), dan wijâdah (penyampaian riwayat berdasarkan temuan tulisan dari seseorang).

Etika belajar yang mengantarkan seorang pembelajar memperoleh ilmu juga penting diperhatikan, seperti:

  1. niat yang tulus dalam menuntut ilmu,
  2. mengkonsentrasikan diri dalam studi,
  3. sabar,
  4. rendah hati,
  5. tekun,
  6. menghormati guru, ulama,
  7. berusaha secara halal, dan
  8. bersegera dan disiplin dalam belajar.

Hal senada juga pernah dinyatakan Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H) dalam syairnya:

Ingatlah, engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali memenuhi enam faktor. Keenam faktor itu semuanya akan kujelaskan dengan rinci, sebagai berikut: Kecerdasan, kesabaran, kemauan kuat, kecukupan dana, bimbingan tenaga pendidik, dan kecukupan alokasi waktu.