Bagaimanakah Kontur Temporal dalam Suatu Ujaran?

image
Tuturan tertentu dalam suatu bahasa dapat mengandung kontur temporal tentang keadaan, tindakan, dan sikap pembicara. Unsur-unsur gramatikal yang menghubungkan kontur temporal dengan sikap pembicara merupakan kategori dari Tense, Aspect, and Modality (Hooper, 1962). Bahasa Indonesia tidak memiliki tense ‘kala’ (kategori gramatikal perubahan verba) sebagai salah satu alat untuk menyatakan temporal deiktis secara gramatikal, bahasa Indonesia menyatakan temporal deiksis secara leksikal, yaitu dengan nomina temporal (Djajasudarma, 1993: 22).

Bagaimanakah kontur temporal dalam suatu ujaran?

Aspek

Aspek adalah cara memandang struktur temporal intern suatu situasi (Comrie, 1976: 3). Situasi dapat berupa state ‘keadaan’, event ‘peristiwa’, dan process ‘proses’. Keadaan sifatnya statis, sedangkan peristiwa dan proses bersifat dinamis.

Aspek dalam bahasa Latin aspectus ‘pandangan’ atau ‘cara memperlakukan sesuatu’. Gagasan aspek diterima para ahli bahasa secara konvensional untuk menyebutkan unsur yang ada di dalam bahasa Rusia (Lyons, 1977 dalam Djajasudarma, 1993:24). Selanjutnya, pengertian atau istilah aspek kurang dikenal bila dibandingkan dengan tense ‘kala’. Penelitian terhadap aspek atau kala telah menarik perhatian para ahli bahasa, terutama bagi bahasa-bahasa yang memiliki aspek, kala (perubahan kategori gramatikal verba). Penelitian aspek dapat dilakukan dari makna secara semantis menuju bentuk sintaksis atau sebaliknya.

Aspek dapat dibedakan dari keaspekan, unsur semantik yang dinyatakan melalui aspek pada struktur permukaan mulai menjadi perhatian para ahli bahasa pada awal tahun 1970-an, sejak tulisan Anderson (1973), kemudian muncul tulisan dari Frieddrich (1974), lalu Comrie (1976). Aspek diduga lebih banyak terdapat pada bahasa-bahasa di dunia bila dibandingkan dengan kala. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa aspek merupakan gejala bahasa yang universal (dalam Djajasudarma, 1986). Studi aspektologi yang paling menarik di dalam penelitian yang dilakukan Djajasudarma (1986) ialah dengan adanya dua tradisi, yaitu (1) tradisi Slavia dan (2) tradisi Aristoteles.

Dari sini dapat disimpulkan aspek adalah suatu peristiwa, terlebih perbuatan yang dapat ditandai dengan hal-hal yang menyatakan sudah selesai, sedang berjalan, atau akan terjadi. Unsur-unsur yang digunakan untuk menyatakan keadaan peristiwa atau perbuatan yang beraneka ragam tersebut dikenal dengan sebutan aspek.

Dalam bahasa Inggris, misalnya, kata kerjanya mengalami perubahan morfologis untuk menyatakan aspek. Peristiwa yang terjadi pada waktu lampau dibedakan dari peristiwa yang terjadi pada waktu sekarang, dan keduanya dibedakan dari peristiwa pada waktu yang akan datang. Di samping itu, dibedakan pula peristiwa yang selesai atau lengkap yang terjadi sebagai kebiasaan.

Dalam bahasa Inggris perubahan kata kerja dari go menjadi went merupakan perubahan secara morfologis untuk menyatakan aspek, sedangkan bahasa Indonesia tidak menggunakan perubahan morfologis untuk menyatakan aspek, melainkan menggunakan partikel-partikel seperti telah (sudah), sedang (lagi), dan akan.

Kala dan Nomina Temporal

Sehubungan dengan kala dan nomina temporal, kita dapat mengatakan bahwa bahasa-bahasa Indo-Eropa tidak hanya memiliki kala, akan tetapi memiliki pula nomina temporal sebagai alat untuk menyatakan temporal deiktis. Kala (tense) merupakan salah satu cara untuk menyatakan temporal deiktis melalui perubahan kategori gramatikal verba berdasarkan waktu. Kategori temporal sendiri dapat dinyatakan pula dengan nomina temporal seperti di dalam bahasa Indonesia: sekarang, baru-baru ini, segera, hari ini, kemarin, dan sebagainya (Lyons, 1977: 679).

Istilah kala atau tense diturunkan dari terjemahan Latin katin kata Yunani untuk time. Kala tidak terdapat di semua bahasa. Kala berfungsi menghubungkan waktu perbuatan, kejadian, atau peristiwa bahasa yang diacu dalam kalimat dengan waktu ujaran.

Berbagai cara dimiliki oleh bahasa-bahasa untuk menyatakan waktu secara deiktis. Kala (tense) adalah satu cara untuk menyatakan temporal deiktis di samping nomina temporal. Bila dikatakan bahwa “Tense is therefore a deiktic category, which (like all syntactic features partly or wholly dependent upon deixis) is simultaneously a property of the sentence and the utterance” (Lyons, 1986: 305), maka kalimat dan tuturan dapat memiliki kategori deiktis. Kategori deiktis ini tidak hanya mengacu kepada sesuatu yang temporal, akan tetapi dapat pula mengacu pada sesuatu yang lokasional.

kita dapat mengatakan bahwa bahasabahasa di dunia ada yang memiliki kala, nomina temporal, dan aspek, bahkan ada yang hanya memiliki nomina temporal dan keaspekan. Nomina temporal dan keaspekan dimiliki oleh bahasa Indonesia (bahkan bahasa Sunda) untuk menyatakan situasi deiktis temporal.

Makna situasi (keaspekan) yang didukung oleh nomina temporal, antara lain:

  • Kemarin, menyatakan situasi lengkap (perfektif);
  • Hari ini, dapat menyatakan situasi lengkap (perfektif) dalam batas waktu tertentu, dan dapat menyatakan situasi terjadi/ tidak (prospektif) dalam batas waktu tertentu pula;
  • Besok, dapat menyatakan situasi terjadi/ tidak (prospektif) lebih-lebih bila partikel yang menyatakan pengadaiannya hadir.

Modus

Modus adalah istilah linguistik yang menyatakan makna verba mengungkapkan suasana kejiwaan sehubungan dengan perbuatan menurut tafsiran pembicara atau sikap pembicara tentang apa yang diucapkannya. Modus dibedakan dari modalitas (istilah linguistik untuk klasifikasi pernyataan menurut logika, yang menyungguhkan, mengingkari, kemungkinan, keharusan, dan sebagainya). Modus adalah bentuk-bentuk (secara lahiriah) yang menyatakan modalitas secara maknawi (semantis). Istilah verba bantu modal digunakan juga (Alwi, 1982 dalam Djajasudarma, 1993: 34).

Kita kenal modus bahasa Indonesia dengan memperhatikan tiga hal berikut:

  • Tempatnya dalam kalimat tertentu, biasanya di muka verba;
  • Boleh didahului tidak, tak, tiada;
  • Pada umumnya tidak memiliki afiks (bentuknya tertutup).

Hal yang pertama dan kedua dikaji dari segi sintaksis, sedangkan yang ketiga dari segi morfologis. Ciri yang ketiga, bahwa modus pada umumnya tidak memiliki afiks (tidak mengalami afiksasi), maka modus merupakan unsure linguistik yang monomorfemis. Karena jumlahnya yang terbatas dan tidak mengalami afiksasi, makna modus dikatakan sebagai kelas tertutup, sama halnya dengan partikel jenis lain (partikel dibedakan dari kata, karena yang pertama bersifat tertutup, sedangkan yang kedua terbuka, mengalami proses morfemis, antara lain afiksasi).

Makna yang terkandung di dalam modus menggambarkan sikap pembicara, sikap kawan bicara (pada kalimat tanya), sikap subjek kalimat, atau sikap peserta lainnya yang disebutkan di dalam wacana yang bersangkutan. Bahasa Indonesia memiliki modus sebagi berikut: ingin, mau, hendak, harus, mesti, dapat, bisa, boleh. Makna yang dinyatakan modus tersebut adalah sebagai berikut.

  • Makna yang menyatakan keinginan yang diungkapkan modus (modalitas keinginan) dengan: mau, hendak, dan akan;
  • Makna yang menyatakan kemauan yang diungkapkan modus dengan: ingin dan hendak;
  • Makna yang menyatakan keharusan yang diungkapkan dengan: harus dan mesti;
  • Makna yang menyatakan kepastian (logis) yang diungkapkan dengan modus: mesti dan dapat;
  • Makna yang menyatakan kesanggupan atau kemampuan yang diungkapkan dengan modus: bisa dan dapat;
  • Makna yang menyatakan kemungkinan diungkapkan dengan modus: dapat, bisa, dan boleh jadi;
  • Makna yang menyatakan izin diungkapkan dengan modus: cepat, bisa, dan boleh. Modus merupakan unsur-unsur yang menyatakan sikap pemakai bahasa, baik terhadap apa yang dinyatakannya itu maupun terhadap pendengarnya.

Modus berhubungan dengan pembicara dan pendengar (target). Di dalam bahasa Indonesia, sering kita mendengar ujaran, saya kira, saya rasa, pada hemat kami, jika saya tidak keliru. Jika di lihat pada kalimat, Saya kiraanaknya memang pandai membawa diri.

Deiksis (Penunjukan)

Penunjukan atau deiksis adalah lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara. Upaya penunjukkan dapat berupa:

  • Pronominal orang,
  • Nama diri,
  • Pronominal demonstrative (penunjuk),
  • Kala,
  • Keaspekan ciri gramatikal atau leksikal waktu (Lyons, 1977: 636-637).

Peran penunjukkan dijabarkan dari kenyataan bahwa di dalam pembahasan pembicaraan menyampaikan tuturannya kepada kawan bicara (yang diajak bicara), atau kepada diri sendiri, atau menyampaikan tuturannya itu perihal yang dibicarakan dengan bantuan, antara lain pronomina orang, nama diri, dan pronomina demonstratif. Jadi, fungsi penunjukkan di dalam bahasa terutama dijalankan oleh nomina (Djajasudarma, 1993: 43).

Kata deiksis berasal dari kata Yunani deiktikos yang berarti ‘hal penunjukan secara langsung’. Dalam logika istilah Inggris deictic dipergunakan sebagai istilah untuk pembuktian secara langsung (masa setelah Aristoteles) sebagai lawan dari istilah electic yang merupakan istilah pembuktian tidak langsung (The Compact Edition of the Oxford English Dictionery, 1971). Leksemleksem yang menjadi bahan pembicaraan dalam deiksis persona adalah bentukbentuk nominal dan pronominal. Dalam deiksis ruang yang menjadi bahan pembahasan adalah leksem verbal dan ajektival, sedangkan dalam deiksis waktu adalah leksem adverbial.

Para ahli linguistik membedakan pronomina personal menurut persona (pertama, kedua, dan ketiga), jenis (maskulin dan feminine), dan jumlah (tanggal, jamak). Persona pertama dan kedua bersifat deiksis, sedangkan persona ketiga hamper meniadakan sifat deiksis dalam pronomina, kecuali bila bersifat demonstratif. Pronomina demonstratif adalah pronomina seperti ini dan itu, dan dapat dibedakan pula menurut personanya. Pronomina ini mengacu pada sesuatu yang di tempat penutur, jadi dapat disebut pronomina persona pertama, sebaliknya, itu mengacu pada sesuatu tempat yang bukan tempat penutur, jadi dapat disebut pronomina persona ketiga. Di antaranya ada persona kedua yang dirujuk tempatnya kadang-kadang oleh ini bila si tersapa terasa dekat pada penutur, kadang-kadang juga oleh itu bila tersapa terasa agak jauh dari pesapa.