Bagaimanakah Konsep Teori Merebut Makna dalam Antropologi Sastra?

image
Dalam penelitian atropologi sastra terdapat teori Merebut Makna.

Bagaimanakah konsep dari teori tersebut?

Ada tiga pendapat dalam pemaknaan antropologi sastra, yaitu:

  1. Merebut makna
  2. Mengejar makna,
  3. Mencari makna.

Para peneliti sastra yang berpaham positivistik selalu mengandalkan asumsi bahwa makna sastra itu telah ada. Ketiga teori pemaknaan itu menghendaki agar peneliti tidak diam, menunggu bola. Makna tidak mungkin ada kalau peneliti semacam kiper sepak bola, hanya menunggu bola. Dalam konteks ini, saya cenderung menggunakan kata merebut, bukan mengejar dan mencari. Oleh karena, makna sastra itu sesungguhnya ada, tetapi masih dalam bayang-bayang.

Barthes (Kurniawan, 2001:93) menyugestikan bahwa teks sastra itu sebuah konstruksi. Untuk meraih makna, peneliti perlu merekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia. Rekonstruksi adalah upaya merebut makna. Untuk merebut makna, dapat dilakukan pemotongan karya sastra menjadi bagian-bagian yang disebut leksia.

Leksia dapat berupa kata, kalimat, bait, baris, dan sebagainya. Dengan memenggal-menggal karya sesuai kebutuhan, pengarang tidak lagi penting. Pengarang telah mati. Beginilah asumsi peneliti yang “textual minded” dalam merebut makna.

Asumsi ini tidak selalu tepat bagi peneliti antropologi sastra sebab makna sesungguhnya hanya ada setelah direbut atau diadakan. Makna tidak selamanya lepas landas dari pengarang. Kita masih boleh mengingat kesejarahan pengarang biarpun dia kita “bunuh”. Sejak peneliti mulai “membunuh” pengarang dengan memotong-motong karya menjadi berpuluh-puluh dan bahkan beratus-ratus leksia, bisa jadi dia hidup kembali. Pengarang suatu saat (dalam detik atau menit) dapat dihidupkan lagi, maka kekuasaan peneliti antropologi sastra sungguh luar biasa.

Jika orang positivistik selalu mengandalkan generalisasi pemaknaan, antropologi sastra tidak demikian. Antropologi sastra cenderung menyetujui gagasan Guba (Soeratno, 2011:65) bahwa penelitian sastra semestinya bukan mencari generalisasi, melainkan transferabilitas.

Maksud dari gagasan ini adalah keunikan hasil penelitian antropologi sastra dapat ditransfer pada kasus lain yang memiliki kesamaan dimensi. Maka dari itu, kalau ada penelitian sejenis yang mengungkap etnisitas Jawa dalam sastra, ini dapat pula disejajarkan pada sastra etnis lain.

Begitu juga ketika Turner (1993:30–31) melakukan penelitian terhadap penari yang dianalisis dalam kaitannya dengan ritual Ndembu Afrik dengan tarian ronggeng dalam karya Ahmad Tohari, perlu dirunut secara mendalam dalam konteks ritual.

Perlu diingat, karya sastra itu terbangun dalam suatu unsur organik yang tertata. Karya sastra juga tidak mungkin menyampaikan sesuatu apa adanya. Maka dari itu, Ingarden (Soeratno, 2011:65) berpendapat bahwa sastra banyak mengandung unsur yang kabur. Dalam mengungkap “kekaburan” itu, segala wahana diperlukan, salah satunya penelitian antropologi sastra.

Melalui antropologi sastra, peneliti dapat memahami sikap informan dan juga tokoh-tokoh dalam sastra. Hal ini untuk mengurangi ketidakpercayaan berbagai pihak, misalkan pada paparan Turner (1993:31) ketika informan bernama Ernie tertawa kecut ketika mencermati kesalahan para ahli. Apa Ernie mengatakan setuju dengan yang disampaikan Dorcus Rock, seorang penyembuh, yang berkata tentang pembelajaran bahasa.

Menurut Erni, seorang informan di Ndembu, orang harus belajar bukan dari buku, tapi dari ekspresi wajah orang. Dia akan melihat lekat-lekat wajah, mencoba untuk mengirimkan makna dari apa yang dia katakan. Memang harus diakui ketika menangkap petunjuk dan tanda dalam waktu yang singkat, pengamatan budaya sering gagal.

Kalau direnungkan, mewawancarai informan, melakukan atraksi bersama, dan minta pendapat informan tentang teks sama dengan pelatihan berburu makna. Memburu makna hanya akan sukses apabila peneliti antropologi sastra paham simbol dan berbagai tanda lain. Bayangkan pada saat orang Eskimo tidak memberi tahu mengapa seorang anak muda tidak mahir mengenakan jam tangan, kemudian setelah beberapa waktu peneliti tahu anak itu mencoba sendiri.

Kemudian jika ia membuat kesalahan harus meminta maaf, jika ada kebohongan ingin mendapatkan komentar dan saran dan komentar biasanya terdiri dari ungkapan tertawa, tidak marah, dan ia kemudian akan mencoba lagi. Kisah itu menandai bahwa teks sastra dan etnografi selalu melukiskan budaya melalui proses belajar. Budaya dilakukan dengan mencoba salah, baru tepat penggunaannya.

Secara tidak langsung, Turner (1993:32) menunjukkan bahwa segala sesuatu yang mengelilingi orang Eskimo selalu dipelajari sebagai budaya. Belajar budaya mereka lakukan tanpa analisis, tanpa materi pelajaran, melainkan secara simultan. Mereka belajar ritual untuk mengekspresikan diri dalam kaitannya dengan kekuatan sakral.

Oleh sebab itu, para peneliti antropologi sastra perlu hati-hati ketika merebut makna. Mereka memiliki bentuk misteri, dalam arti secara teologis, sedang memasuki dunia sakral. Seorang anak belajar berbicara ritual dengan cara mengikuti ritual langsung. Hasilnya adalah kesadaran yang tidak terputus dari seluruh filsafat kesadaran Eskimo dan Indian, keterkaitan semua makhluk hidup selalu melewati lingkaran kehidupan.

Dalam kaitan itu, menarik untuk menyimak gagasan Barthes (Strinati, 2003:128) bahwa ketika merebut makna budaya dalam teks seni dan sastra, peneliti perlu mengonstruksi makna. Makna teks sastra perlu direkonstruksi atas dasar simbol budaya. Merebut makna berarti mengonstruksi makna sesuai dengan ekspresi budaya.

Perlu dipahami pula ketika dalam teks sastra orang Eskimo ada ungkapan seorang penyembuh, “Saya tidak diajari, tetapi saya tahu.” Di sini kita kembali ke sekitar masalah penulisan antropologi. Konteks ini menandai betapa pentingnya tradisi dan tindakan kultural dalam hidup manusia. Dalam hidup, memang ada hal-hal yang super, yang berada di atas kekuatan manusia biasa sehingga nampaknya para pelaku tidak belajar. Realitas ini mungkin benar biarpun kita dapat mengatakannya lain. Hal ini tentu saja mungkin untuk membuat gambar komposit budaya Eskimo.

Dalam kaitan demikian, D.H. Lawrence (Turner, 1993:30) mengatakan bahwa analisis budaya dalam sastra diandai-andaikan sebagai sebuah mayat. Maksudnya, mayat itu tidak akan bermakna apa-apa ketika peneliti tidak sukses merekonstruksi makna. Makna menjadi milik peneliti untuk mengubah dan mengembangkannya sesuai kebutuhan. Jika rekonstruksi tidak mampu merebut makna, hasil dari tulisan antropologi sastra akan membosankan.

Padahal, yang diharapkan, penelitian antropologi sastra sudah selayaknya dibuat seperti orang sedang menulis etnografi estetis. Istilah metodologis boleh, tetapi dibuat lebih cair. Hal ini karena bahan lapangan datang ke tahap demi tahap yang terhubung dalam waktu dengan caranya sendiri yang unik. Jadi, rasa dari suatu peristiwa dalam konteks sastra dan budaya tergantung pada segala macam petunjuk ditimbang dari teks sastra itu.

Dengan demikian, beberapa pengertian yang melekat dalam teks sastra perlu direbut. Perebutan makna tergantung pada kesadaran dan kelincahan menulis serta membaca simbol. Seni menulis adalah alat estetis bagi peneliti antropologi sastra. Hal ini dapat digunakan untuk lebih mendekati kebenaran realitas hidup. Dengan merebut makna yang sesuai konteks, pembaca akan terbantu sehingga seolah-olah mereka seperti membutuhkan kulit jeruk di samping isi jeruk itu yang terpenting. Kulit jeruk pun penting sebagai tanda dan simbol kemanisan jeruk itu. Beginilah jiwa antropolog sastra, seharusnya memperhatikan hal-hal remeh dan kecil dalam teks.

Penulis antropologi sastra kemudian harus membenamkan diri dalam teks sastra. Pembenaman diri akan memperkaya pemahaman merebut makna. Makna selalu berada di sekitar peneliti, tetapi tanpa direbut, makna akan kosong. Perlu diingat, kata Barker (Strinati, 2003:238), kita boleh memodifikasi pesan dalam merekonstruksi makna. Teks-teks kultural dan teks sastra jelas merupakan karya polisemi sehingga menggoda untuk merebut maknanya.

Banyak lubang-lubang makna yang sengaja diberikan oleh seorang sastrawan. Oleh karena itu, peneliti antropologi sastra layak memegang teguh pengalaman antropologi dan sastra yang perlu dibawa dalam analisis. Pengalaman estetis semakin penting dalam memasuki teks-teks sastra. Seperti banyak diketahui, kejadian sebelum kata-kata muncul jelas membutuhkan pengalaman tafsir.

Kata Dilthey (Turner, 1993:31), pengalaman antropologis dan sastra dapat terjadi sebelum muncul dalam kata. Pengalaman hadir sebelum pemaknaan dan pikiran itu ada. Maksudnya, peneliti antropologi sastra boleh menduga-duga makna sebelum mencermati teks. Yang penting merebut makna atas dasar pikiran objektivikasi.

Bagian budaya yang masih hidup di masyarakat, bahkan kejadian yang melukiskan karakter manusia dapat dijadikan untuk acuan merebut makna. Sifat faktual mereka dengan jelas akan ditunjukkan oleh perilaku seseorang. Peristiwa yang sama kadang-kadang gelap sehingga perlu ditafsirkan.

Dengan demikian, perebutan makna tidak akan pernah berhenti sampai ada kepuasan peneliti. Makna selalu mengalir dalam teks sastra. Hanya peneliti yang kaya pengalaman berolah sastra dan budaya yang mampu merebut makna secara signifikan. Oleh karena itu, sugesti para ahli antropologi sastra, merebut makna sama halnya sedang membangun konteks. Konteks adalah ruang-ruang berharga yang penuh timbunan makna. Jika peneliti mampu memasuki konteks, membenamkan diri, akan semakin banyak yang terungkap.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf