Bagaimanakah Konsep Teori Analisis Data: Berguru pada Bahan Lapangan?


Bahan analisis data dari lapangan amat luas. Terdapat salah satu teori dalam penelitian antropologi sastra, yaitu teori analisis data: berguru pada bahan lapangan.

Bagaimaakah konsep teori tersebut?

Lapangan dapat diartikan sebagai teks dan konteks. Lapangan itu ada ruang khusus. Peneliti antropologi sastra dapat berpegang teguh pada teori Barthes (Kurniawan, 2001:92) bahwa untuk mengapresiasi teks, yang dilakukan bukan memberi makna, melainkan mengapresiasi kejamakan. Data di lapangan yang berupa teks dan konteks bersifat jamak. Oleh karena itu, makna pun selalu jamak.

Data dari lapangan adalah satu-satunya sumber karya sastra yang valid dan meyakinkan. Oleh sebab itu, sastrawan yang kaya sumber data lapangan inspirasinya tidak akan kering. Untuk itu, peneliti perlu melakukan kerja keras ketika berhadapan data lapangan. Data lapangan menjadi data primer. Data ini merupakan bahan analisis sastra. Tugas peneliti, boleh melakukan dekonstruksi tekstual (Barker, 2004:382). Langkah ini ditempuh agar pemaknaan data semakin demokratis, tidak berat sebelah. Dalam pemaknaan yang demokratis, sepantasnya ada tawar-menawar (bargaining) makna antara peneliti dan pemilik teks.

Mau tidak mau, antropolog dan ahli sastra pun harus terjun ke lapangan. Peneliti antropologi sastra yang duduk manis di balik meja akan kehilangan makna sastra. Ketika berurusan dengan bahan dari lapangan, peneliti kadang-kadang gembira. Tumpukan data yang cukup melimpah cukup membahagiakan peneliti. Namun, ketika harus mengidentifikasi, memaknai, dan menyimpulkan, peneliti seringkali kerepotan.

Esten (1984:37–40) sudah mengisyaratkan adanya tata nilai yang terdapat pada segudang data teks sastra. Tata nilai adalah persoalan budaya yang terkandung dalam sastra. Tata nilai kehidupan yang tersebar di masyarakat seringkali cocok dengan teks sastra. Pada saat itu peneliti dihadapkan pada problem mengidentifikasi mana tata nilai yang pantas menjadi data.

Novel-novel perjuangan lokal seperti Keluarga Gerilya karya Pramoedya Ananta Toer, Gerilya Solo karya Sri Hadijaya, dan Lara Lapane Kaum Republik karya Suparta Brata adalah potret tata nilai budaya lokal. Novel-novel perjuangan itu mengembuskan napas pejuang yang memiliki ciri tata nilai tersendiri. Oleh karena itu, peneliti antropologi sastra dapat meneliti karya tersebut dengan mengaitkannya dengan budaya berjuang.

Novel adalah gambaran fiktif kehidupan manusia. Novel-novel perjuangan juga merupakan pantulan tata nilai perjuangan bangsa melawan penjajah. Oleh karena itu, penelitian hidup manusia dari sumber teks novel perjuangan tidak salah, tetapi jauh lebih autentik apabila peneliti mau menyelami kehidupan di lapangan. Maksudnya, di dalam novel tersebut ada setting penelitian lalu dikaitkan dengan kehidupan nyata di lapangan.

Untuk berurusan dengan hasil penelitian lapangan antropologis, paling tidak diperlukan waktu satu tahun. Di sini saya punya buku harian mengenai perjuangan melawan penjajah itu yang menjadi catatan tersendiri. Kehidupan era poskolonial tentu berbeda dari ketika bangsa ini dijajah.

Menurut Turner (1993:32–33), selama penelitiannya di kalangan orang Eskimo Alaska (1987–1988), mulai ada sistematisasi catatan lapangan. Dia juga membaca sebuah buku terbaru karya Stephen Tyler, The Unspeakable: Discourse, Dialogue, and Rethoric in the Postmodern World, yang menyatakan bahwa:

“Gagasan tentang sistem hanya sebuah nostalgia yang secara keseluruhan merupakan perangkat analisis yang telah terbunuh. Sistem adalah nama lain untuk jaring laba-laba yang besar.”

Pendapat ini mengisyaratkan bahwa sistem budaya dan sastra tidaklah kekal. Yang kekal itu hanya sebuah nostalgia kosong. Oleh sebab itu, ketika peneliti antropologi sastra mendewakan sistem budaya, akan runtuh hasil penelitiannya.

Jika demikian, apakah peneliti harus membiarkan buku harian seperti itu? Tentu jawabannya tidak. Buku harian seorang peneliti amat penting karena memuat perjalanan makna. Buku harian seorang peneliti antropologi sastra perlu lengkap. Buku harian itu akan membantu peneliti untuk mencermati mana saja yang belum tersentuh. Pembaca akan bingung dan sulit mengerti ketika peneliti tidak cerdas memahami data lapangan.

Metode fakta telanjang perlu sebagai modal analisis. Oleh sebab itu, jika antropolog perlu memahami data lapangan berupa musik, tarian, cerita rakyat, dan sejumlah ritual yang terjadi akhir-akhir ini (Bernard, 1994:180), peneliti antropologi sastra juga perlu menelusuri teks sastra. Teks tidak harus berupa buku. Teks sastra mungkin menyertai tarian, ritual, dan seluruh cerita rakyat, maka yang dilakukan oleh peneliti antropologi sastra ialah seperti dinyatan Tyler (Turner, 1993:32) sebagai berikut.

Membaca catatan informan, masuk ke semacam trance, mengulas sastra-sastra lisan, dan keluar dengan metafisika murni. Sebagian besar data itu disebut bahasa, dunia maya, dunia kata kias yang sulit terkatakan. Hal demikian dapat beralih ke wacana dan metafora yang berpotensi melukiskan tindakan. Wacana antropologi sastra adalah waktu tanpa akhir tanpa madu sarang lebah, atau lebah sehingga harus dilacak terus-menerus.

Hal ini mungkin pandangan kaum posmodernisme yang telah meramalkan kedatangan wacana baru yang masih selalu ditunggu. Di bawah cahaya berkilauan, kutub cermin, api yang berkedip lemah pada perapian, di jantung, menjadi orang suci, dan bernapas dalam kegelapan malam.

Semua ini membuat saya harus kembali ke titik harapan dan membantu teman saya. Oleh karena ada sepercik kebenaran dalam gagasan Tyler, Clifford (1988), dan Clifford dan Marcus (1986) yang berkata tentang jarak yang tak terelakkan harus terjadi, perasaan ketidaknyataan saat etnografer hendak mencoba melakukan sistematisasi pekerjaannya. Bagaimana gaya sastra ini sering membingungkan antropolog yang sangat interpretatif. Pernyataan ini meneguhkan pendapat Bernard (1994:180) bahwa data lapangan itu butuh penataan cermat dan “manajemen” khusus.

Hasilnya akan tertulis dalam bentuk pohon atau bentuk rimpang seperti posmodernis menyebutnya, diartikulasikan dalam bentuk kisah itu sendiri sebagai selingan yang relevan yang pada akhirnya akan memungkinkan untuk memutar ulang poin-poin penting, menunjukkan seolah-olah “detak jantung” masyarakat dan bahkan denyut jantung itu semakin cepat. Apa yang ada di balik metode ini? Komunikasi merupakan serangkaian kegiatan seperti musik resonansi, hidup sendiri, terhubung ke pembaca, mengatakan yang tak bisa disebutkan.

Metode ini tidak dapat menggolongkan semua antropologi, tentu saja, tetapi antropologi akhirnya akan mati tanpa itu. Dengan cara itu, antropologi dapat berpartisipasi dalam tingkat pengalaman dengan cara manusia mengartikulasikannya yang kadang-kadang bukan merupakan suatu konstruksi logis, tetapi juga bukan fiksi atau novel atau jurnalisme meskipun mungkin terlihat seperti ini. Budaya dan seluruh masyarakat merupakan protagonis, bukan individu. Tujuannya adalah pemahaman, bukan hiburan. Jadi, di sini ada upaya untuk mewujudkan tujuan saya menggunakan buku harian itu.

Atas dasar penjelasan tentang buku harian dan pentingnya pengalaman dalam penelitian antropologi sastra, kiranya dapat dipertegas bahwa peneliti sudah saatnya memanfaatkan kerja lapangan. Ketika peneliti hanya mengandalkan teks dari sebuah buku, sebenarnya kurang lengkap maknanya. Jika hanya berkiblat pada buku, biasanya akan kembali pada analisis struktural yang kering. Perlu diketahui, lapangan adalah “guru abadi” bagi seorang peneliti antropologi sastra. Dengan terjun ke lapangan, mungkin menanyai pengarang, mewawancarai pembaca, dan uji coba resepsi teks sastra, kemungkinan besar makna total akan diraih.

Yang paling dibutuhkan dalam menelusuri teks sastra adalah memahami fenomena faktual yang imajinatif. Data sastra bersifat kualitatif, maka penelitiannya pun secara kualitatif dengan memanfaatkan kaca pandang antropologi sastra. Dalam kaitan ini, sebelum menggolong-golongkan pola data, peneliti dapat membaca acuan pustaka yang relevan. Namun, buku, jurnal, dan surat kabar yang relevan bukan untuk diuji kebenarannya, melainkan sekadar sebagai pembanding saja. Acuan itu hanya dijadikan rujukan untuk membantu pemahaman data.

Tegasnya, apa saja yang terjadi di lapangan adalah guru bagi peneliti antropologi sastra. Jika yang diteliti adalah teks sastra, konteks dapat disebut sebagai “lapangan” yang penting. Konteks adalah guru yang dapat mengisahkan apa saja. Manakala dilempar ke lapangan, teks itu akan membangun konteks yang berlapis-lapis. Tugas peneliti antropologi sastra adalah membangun konteks dan memaknai sendiri. Lapangan penuh dengan konteks kehidupan yang tidak terduga.

Oleh sebab itu, peneliti antropologi sastra bertindak mengalir seperti air saja agar semakin banyak menggali makna. Metode yang memuat langkah penelitian lapangan perlu dipegang teguh agar tidak kehilangan konteks.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf