Bagaimanakah Konsep Tafsir dalam Antropologi Sastra?


Tafsir selalu lekat dalam penelitian antropologi sastra.

Bagaimanakah konsep tafsir dalam penelitian antropologi sastra?

Tafsir dilakukan secara proporsional. Melalui tafsir, antropologi sastra diharapkan mampu mengungkap fenomena simbolik dalam sastra. Sastra itu sebuah fenomena simbolis tentang hidup manusia. Tafsir tersebut merupakan strategi untuk mencermati kedekatan sastra dan antropologi.

Antropologi dan sastra sama-sama memperhatikan tindakan manusia. Antropologi memandang tindakan manusia yang cenderung berubah-ubah secara simbolis. Sastra pun demikian, senantiasa memandang tindakan manusia yang ditampilkan secara imajinatif dan simbolis. Hidup manusia yang penuh simbol banyak menarik perhatian ilmu sastra dan antropologi. Kata Michel de Montaigne (Brady, 1993:249), mereka yang membandingkan tindakan manusia tidak pernah bingung ketika mencoba menempatkan mereka dalam cahaya yang sama karena mereka sering bertentangan satu sama lain sehingga yang aneh, yang tampaknya tidak mungkin, ternyata dapat menjadi realitas. Realitas budaya senantiasa muncul secara simbolis dalam sastra. Realitas pun perlu ditafsirkan. Penafsiran juga dapat dilaksanakan dengan cara perbandingan antarteks sastra.

Pendapat itu memberikan isyarat bahwa perbandingan merupakan bagian dari sebuah penelitian cermat di bidang antropologi dan sastra. Membandingkan tindakan manusia, ada yang aneh dan sekaligus ada hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Antropolog dan ahli sastra mewujudkan tindakan manusia dalam bentuk wacana atau teks. Teks merupakan bagian penting yang memuat aneka makna. Teks tersebut ditafsirkan lewat perbandingan agar hasilnya semakin bagus. Dilakukan perbandingan antardata dalam teks, pengelompokan, dan akhirnya dapat dilakukan penyimpulan. Hasil tafsir antropologi sastra sering mengungkapkan berbagai oposisi.

Dalam kaitan itu, gagasan kritis James A. Boon (Brady, 1993:249) layak dipertimbangkan. Menurutnya, sastra sering terjebak ketika melakukan kerja lapangan dalam bentuk berbicara, berprokreasi, dan menjelaskan dengan persoalan etnologi dalam bentuk menulis, memesan sebagai kritik perbandingan. Pada kerja lapangan dan penulisan etnografi seringkali terjadi pertentangan. Keadaan itu oposisinya ibarat api dan es. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda, yang satu panas dan yang lain dingin. Maksudnya, fakta di lapangan sering berbeda dalam karya sastra dan tulisan etnografis. Apa yang dibicarakan dalam fakta, ketika disentuh sastrawan dan etnogafer akan berbeda wujudnya.

Sejarah intelektual antropologi yang membicarakan fakta di lapangan menunjukkan bahwa antropolog tidak dapat memberikan pemikiran dengan cara simultan, sadar diri, dan kritis. Lebih jarang lagi, antropologi yang melibatkan diri pada filsafat hermeneutika, strukturalisme, dan kritik, sering repot melakukan tafsir. Dengan pengecualian karya terbaru oleh Clifford Geertz, Paul Rabinow, James Clifford, dan beberapa orang lainnya, antropologi semacam ini secara filosofis sedikit demi sedikit, dan bahkan kemudian lebih sering berada di Departemen Sastra, Agama, dan Filsafat daripada di Departemen Antropologi. Itulah sebabnya, tafsir antropologi sastra semakin kompleks, perlu melibatkan berbagai hal yang mengitarinya. Lewat tafsir, antropologi sastra juga membantu pengembangan teori sastra.

Tafsir tanpa memanfaatkan teori sastra tentu hasilnya kurang bagus. Teori sastra yang berkiblat pada hal-hal ekstrinsik pantas dikembangkan lewat penelitian mendalam. Dengan demikian, antropologi sastra akan mendekatkan hubungan antara sastra dan budaya.

Menurut Budiman (2003:114–115), nama-nama antropolog seperti Geertz, Turner, Douglas, Levi-Strauss, dan Leach sudah banyak menaruh perhatian pada teori-teori sastra. Bahkan, dengan cara masing-masing, mereka telah mengaburkan batas-batas antara karya ilmiah dan sastra melalui praktik penulisan etnografi yang diwarnai kesadaran literer tinggi. Pendapat ini sebenarnya hendak meneguhkan pandangan terbaru bahwa antropologi sastra sudah saatnya berkembang. Antropologi sastra sudah mulai ada dan menunjukkan eksistensinya. Antropologi sastra adalah penelitian interdisipliner antara sastra dan antropologi. Kekuatan antropologi sastra terletak pada upaya mengungkap aspek budaya melalui karya sastra.

Kekuatan interdisipliner antropologi dengan ilmu lain seperti sastra tampaknya menarik perhatian pembaca. Interdisiplin itu muncul melalui perbandingan luas untuk menemukan perbedaan dan persamaan budaya dalam antropologi dan sastra. Prinsip-prinsip yang jauh lebih besar menyangkut interdisiplin ini adalah mengenai keterkaitan antara alam dan sejarah pemikiran etnografis sejak Zaman Pencerahan. Gaya antara etnografi dan sastra hampir sama. Keduanya senantiasa berkaitan dengan sebuah teks. Terlebih jika sudah merambah dunia eksperimental, masuk ke lapangan pembaca, sastra hampir sulit dipisahkan dengan penelitian etnografi.

Di era posmodern, antropologi sering hadir sebagai seni, sastra, dan ilmu. Ketiga hal ini sering mewarnai peta antropologi. Begitu pula dalam sastra, seringkali terdapat karya-karya sastra etnografis. Itulah sebabnya, batas-batas antropologi dan sastra memang amat tipis dan semestinya tidak perlu diperdebatkan.

Setelah membuat beberapa catatan awal tentang proyek di tempat lain, antropolog memiliki tujuan utama, yaitu:

  1. Untuk mengevaluasi argumen Boon mengenai pemikiran uniformitarian dalam antropologi;
  2. Untuk menemukan beberapa ironi, kontradiksi, dan paradoks bahwa ia telah ditemukan dan dikembangkan dalam kerangka kerja lapangan; dan
  3. Untuk mengidentifikasi apa yang terjadi secara struktural dan hermeneutik. Untuk memahami pra-posmodern, teori etnologis, terutama “interpretatif”, dalam antropologi kontemporer amat diperlukan.

Konsep interpretive turn (Budiman, 2003:113) banyak digugah oleh Geertz. Geertz lebih menawarkan penelitian refigurasi pemikiran sosio kultural. Lewat karya sastra, interpretasi semakin mendapat tempat strategis. Oleh karena dunia sastra penuh multitafsir, pandangan itulah yang mengubah mindset para peneliti antropologi sastra menjadi ke arah literary turn atau textual turn. Teks sastra menjadi acuan tafsir antropologi sastra. Begitu pula ketika antropologi sastra mencoba memahami etnografi yang berbentuk seperti roman atau novel, selalu membutuhkan tafsir. Tafsir antropologi sastra berusaha menjembatani keterkaitan interdisiliner antara sastra, antropologi, dan budaya.

Lewat tafsir, peneliti antropologi sastra akan tertantang untuk menggali makna yang semakin beragam. Tafsir dilaksanakan secara terbuka dan kreatif. Tafsir lebih menitikberatkan prinsip relativitas. Dengan kreativitas, peneliti dapat melakukan tafsir yang tidak harus ini dan harus itu. Hal ini dilandasi asumsi bahwa karya sastra senantiasa hadir secara simbolis. Simbol budaya dalam sastra bukan harga mati, melainkan tergantung kemampuan seorang penafsir.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf