Bagaimanakah Konsep Sastrawan Dilihat dari Sejarah?

Pada masa modern kita bisa dengan mudahnya menggolongkan siapa itu penulis ataupun siapa itu sastrawan.

Sebenarnya, bagaimanakah konsep sastrawan jika dilihat dari sejarahnya?

Konsep Sastrawan

Untuk menjelaskan pengertian sastrawan maka dapat diperhatikan beberapa
pendapat para tokoh berikut ini, Menurut pendapat Zainuddin kesusastraan atau
sastra ialah ciptaan manusia dalam bentuk lisan maupun tulisan yang dapat
menimbulkan rasa bagus (Zainuddin,1992:99). Begitupun menurut Ahmad
Badran dalam kesusastraan terdapat orang yang dapat menciptakan karya besar
yang disebut juga sastrawan atau penyair baik dalam bidang puisi maupun novel
(Badran, 1983:13).

Namun ada pula pemimpin Nasional yang mempunyai keahlian dalam bidang
kesusastraan yang disebut juga sastrawan, mereka menulis beberapa karya yang
ditujukan untuk menggugah semangat masyarakat Indonesia. Sastrawan tidak
hanya mampu berkreasi melalui karya sastra saja tetapi mereka juga
mengekspresikan keinginan hatinya atas penjajahan di negeri ini dengan
menghasilkan karya-karya yang dapat menggugah semangat kebangsaan
dikalangan masyarakat Indonesia (Jassin,1993:49).

Dengan demikian sastrawan adalah istilah bagi orang-orang yang menghasilkan
karya besar dalam dunia sastra, tetapi sastrawan juga mampu menghasilkan karya
besar dalam perjuangan bangsa Indonesia dimana mampu mendorong semangat
juang rakyat Indonesia melalui karyanya. Ada beberapa indikator yang dapat
memberikan pengaruh tersendiri pada terciptanya rasa kesadaran kebangsaan
Indonesia, diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Menghasilkan karya sastra

Sastawan turut memainkan perannya dalam perjuangan mencapai kemerdekaan
salah satunya adalah dengan menghasilkan karya sastra, dan karya sastra yang
dihasilkan tidak hanya berupa puisi tetapi juga berupa prosa (roman, novel, cerita
pendek, dan drama). Hasil karya para sastrawan ini berbeda-beda diantaranya
bertemakan percintaan, kawin paksa, nasionalisme yang masih kedaerahan dan
yang lebih penting lagi mereka pun menghasilkan karya sastra yang bertemakan
tentang perjuangan dan nasionalisme, keadaan tanah air semasa penjajahan
digambarkan dalam hasil karya.

  1. Menggunakan bahasa Indonesia

Sejak pernyataan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tanggal 28 Oktober
1928, kegiatan dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia terus meningkat.
Diantaranya gerakan sastra yang tergabung dalam wadah Angkatan Pujangga
Baru yang dibentuk pada tahun 1933 (Iskandar Syah 2005 : 44). Para sastrawan
angkatan Pujangga Baru ini sangat besar jasanya dalam usaha membina dan
mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, yang mereka
lakukan dengan berbagai usaha komunikasi yang kesemuanya tetap
mempergunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Selain itu mereka
menggunakan Bahasa Melayu yang pada awalnya digunakan sebagai sebutan
Bahasa Indonesia dalam setiap karya yang mereka hasilkan.

  1. Menerbitkan majalah sastra

Bangsa Belanda mendirikan badan penerbit yang diberi nama Balai Pustaka,
namun dalam kerjanya Balai Pustaka menerapkan berbagai aturan salah satunya
tidak memberikan kebebasan pada penyair atau sastrawan.

Kebebasan menyatakan pendapat dan perasaan adalah salah satu ciri
Pujangga Baru, namun kebebasan seperti ini tidak ada pada Balai Pustaka
sebab mereka terikat pada aturan-aturan yang sudah ditetapkan.
Demikianlah keadaan sampai lahirnya majalah Pujangga Baru. Mereka
menginginkan kebebasan, yakni kebebasan dari ikatan-ikatan yang
melekat pada Balai Pustaka (Situmorang 1981: 60-61).

Kebebasanlah yang menjadi penyebab utama majalah Pujangga Baru terbit.
Majalah Pujangga Baru mulai diterbitkan pada tahun 1933 para pendirinya ialah
Armijn Pane, Amir Hamzah, dan St. takdir alisjahbana. Terbitnya majalah ini menjadi perlambang betapa besar keinginan para pengarang dan budayawan muda
Indonesia untuk memiliki media sendiri. Sebelumnya memang telah terbit
beberapa majalah yang juga memuat karangan cerita, sajak, serta bahasan tentang
sastra, yaitu majalah Sri Pustaka (1919-1942), Panji Pustaka (1919-1942), Jong
Java (1920-1926) dan Timbul (1930-1933) (Iskandarwassid 1997 : 64).

  1. Bekerja di Penerbitan Balai Pustaka

Salah satu usaha yang dilakukan para satrawan adalah bekerja di penerbitan Balai
Pustaka seperti yang dilakukan oleh sastrawan angkatan Balai Pustaka.
Sastrawan angkatan Balai Pustaka yang juga bekerja dibadan penerbit
buatan Belanda (penjajah) ini yang mempunyai tugas seperti: menerbitkan
buku-buku yang baik untuk mencerdaskan masyarakat. Selain itu juga
badan ini mengusahakan taman pustaka atau perpustakaan yang
ditempatkan di sekolah-sekolah rakyat (Situmorang 1981 : 31).

Berdasarkan sejarah kesusastraan, secara urutan waktu maka sastra Indonesia
terbagi atas beberapa angkatan, begitu pula komponen didalamnya yaitu
sastrawan. Sastrawan pun seperti halnya buah karyanya yang dibagi dalam
beberapa kelompok atau angkatan. Setiap angkatan mempunyai sejarah masingmasing. Sejak karya sastra itu ada maka sejak itu pula ada sebutan sastrawan
dalam beberapa kelompok atau angkatan diantaranya:

  • Sastrwan Angkatan Balai Pustaka
    Sastrawan angkatan Balai Pustaka pada mulanya ialah tokoh tokoh yang bekerja
    lama di Balai Pustaka. Sastrawan angkatan Balai Pustaka ini mulai bekerja sekitar
    tahun 1920–an. Kehadiran sastrawan ini menggeser kedudukan syair, pantun, gurindam, dan hikayat yang telah lebih dulu diciptakan oleh Pujangga Lama,
    melalui penerbit Balai Pustaka sastrawan angkatan Balai Pustaka ini menerbitkan
    hasil karya mereka berupa prosa (roman, novel, cerita pendek, dan drama) dan
    puisi.
    Berbeda dengan sastrawan sebelumnya, hasil karya sastrawan Balai Pustaka ini
    umumnya bertemakan kawin paksa, kebangsaan yang masih kedaerahan,
    kebangsawanan dan masalah-masalah kehidupan (Situmorang, 1981:18).
    Sastrawan Balai Pustaka sudah menggunakan bahasa melayu dalam karyanya dan
    huruf latin.

  • Sastrawan Angkatan Pujangga Baru
    Sastrawan angkatan Pujangga Baru ini pada awalnya terbentuk sebaga reaksi atas
    banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka. Sastra hasil karya sastrawan
    Pujangga Baru banyak menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
    Banyak sastrawan yang merasa tidak puas karena hasil karyanya dilarang terbit
    oleh Balai Pustaka.
    Maka dari itu sastrawan pada masa itu mendirikan majalah sastra sendiri yang
    diberinama Pujangga Baru dari itu sastrawan-sastrawan yang berkecimpung pada
    masa itu dikelompokkan kedalam sastrawan angkatan Pujangga baru. Tidak berbeda jauh dengan sastrawan angkatan Balai Pustaka sastrawan angkatan
    Pujangga Baru pun menghasilkan karya yang sama hanya tema yang diangkat
    lebih kepada kemanusiaan, kesadaran kebangsaan, nasionalisme dan penderitaan.

  • Sastrawan Angkatan 45
    Sastrawan angkatan 45 adalah sastrawan sesudah angkatan Pujangga Baru.
    Sastrawan angkatan ini dipelopori oleh Chairil Anwar. Pengalaman hidup dan
    gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45.
    Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru
    yang romantik-idealistik.
    Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan
    merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan
    angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul “Surat Kepercayaan
    Gelanggang”. Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin
    bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Sastrawan yang
    tergolong dalam angkatan 45 diantaranaya adalah sebagai berikut: Chairil Anwar,
    Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Pramudya Ananta Toer, Usmar Ismail (Jassin,
    1985:8).

Referensi

http://digilib.unila.ac.id/19970/2/bab%20I-V.pdf