Bagaimanakah konsep negara kesejahteraan (wellfare state) di Indonesia?

Negara Kesejahteraan atau Welfare state merupakan institusi negara dimana kekuasaan yang dimilikinya (dalam hal kebijakan ekonomi dan politik) ditujukan untuk:

  • memastikan setiap warga negara beserta keluarganya memperoleh pendapatan minimum sesuai dengan standar kelayakan.
  • memberikan layanan sosial bagi setiap permasalahan yang dialami warga negara (baik dikarenakan sakit, tua, atau menganggur), serta kondisi lain semisal krisis ekonomi.
  • memastikan setiap warga negara mendapatkan hak-haknya tanpa memandang perbedaan status, kelas ekonomi, dan perbedaan lain.

Referensi :
Andersen, J,G, Welfare States and Welfare State Theory, Centre for Comparative Welfare Studies, Working Paper, 2012.


Bagaimanakah konsep negara kesejahteraan (wellfare state) di Indonesia ?

image

Para pendiri negara Indonesia telah menyepakati bahwa salah satu tujuan didirikannya negara Indonesia adalah agar keadilan dan kemakmuran bangsa Indonesia bisa diwujudkan. Unsur-unsur welfare state ini telah dimasukkan ke dalam dasar negara Indonesia (Pancasila dan UUD 1945) pada saat persiapan rapat pembahasan persiapan dan paska kemerdekaan negara Indonesia.

Pembukaan UUD 1945 yang memuat rumusan tujuan negara Indonesia dan juga Pancasila menyatakan bahwa negara Indonesia dibentuk “… untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia … dengan berdasar kepada [disini kemudian teks Pancasila muncul] … keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Rumusan dasar ideologi welfare state tadi (“memajukan kesejahteraan umum” dan sila kelima Pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”) kemudian dimanifestasikan ke dalam batang tubuh konstitusi negara Indonesia untuk dijadikan pedoman hidup berbangsa dan penyelenggaraan kenegaraan.

Dalam Pasal 34 UUD 1945 pra amandemen, negara menyatakan bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Pasca amandemen keempat, tugas negara di bidang kesejahteraan sosial ini diperluas dengan tambahan tanggung jawab untuk mengembangkan sistem jaminan sosial dan memberdayakan kelompok masyarakat miskin, serta memberikan pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum bagi rakyatnya.

Menurut ahli Pancasila, sila kelima Pancasila tidak dimaksudkan untuk membuat Indonesia menjadi negara sosialis ataupun liberal dimana eksploitasi individu oleh individu lain atau oleh negara boleh terjadi.

Ini sejalan dengan maksud para pendiri Indonesia ketika mengusulkan keadilan sosial menjadi salah satu dari lima sila Pancasila yakni negara yang akan berfungsi diantara ideologi sosialisme dan liberalisme/kapitalisme dalam mencapai tujuannya.

Konsekuensi dari ideologi “jalan tengah” ini adalah sektor-sektor produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikendalikan olehnegara. Namun, hak-hak kepemilikan secara teknis dilindungi oleh hukum dan pengambilan hak tersebut oleh negara harus dilakukan sesuai dengan proses hukum dengan pemberian kompensasi kepada pemilik.

Mahkamah Konstitusi dalam hal ini telah mengeluarkan beberapa putusan terkait konstitusional atau tidak privatisasi BUMN sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas, Undang-Undang No. 20/2002 tentang Ketenaga Listrikan, dan Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air.

Keberadaan elemen welfare state dalam dasar negara dan jaminan pemanfaatan sektor produksi vital untuk kemakmuran rakyat belum bisa dijadikan landasan untuk menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negara dengan model institutional welfare state.

Sejak berdirinya negara Indonesia, belum ada pendekatan yang jelas terhadap model kesejahteraan/keadilan sosial apa yang akan dianut. Dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dua hari paska proklamasi kemerdekaan, para pendiri bangsa memaknai konsep kesejahteraan/keadilan sosial antara lain melalui pendirian Departemen Kemakmuran yang salah satunya bertugas untuk mengurusi makanan dan keperluan rakyat, dan Departemen Sosial untuk mengurusi fakir miskin.

Dalam risalah sidang pada tanggal 19 Agustus 1945 tersebut tersirat bahwa Departemen Kemakmuran diperlukan untuk mengurusi makanan dan kebutuhan rakyat (voedsel-voorziening) di masa peperangan dan paska peperangan saat itu. Karena sebagian anggota sidang beranggapan bahwa ruang lingkup Departemen Kemakmuran sangat besar serta urusan makanan dan kebutuhan rakyat bersifat sementara, ini kemudian menimbulkan perdebatan tentang perlu tidaknya satu departemen khusus untuk mengurusi kebutuhan rakyat di bawah Departemen Sosial dan juga kemana urusan kesejahteraan rakyat lainnya seperti kesehatan akan ditangani.

Dalam perjalanannya kemudian, negara ternyata tidak memainkan peran lebih besar dari masyarakat atau organisasi masyarakat sipil dalam memelihara orang-orang miskin dan anak terlantar serta memberdayakan kelompok kurang mampu. Berbagai organisasi sosial kemasyarakatan terutama yang berbasis keagamaan justru lebih mempunyai program layanan sosial berkelanjutan seperti panti asuhan, rumah sakit, kredit mikro dan bantuan tunai bagi orang- orang miskin.

Di era pemerintahan Abdul Rahman Wahid, Departemen Sosial bahkan sempat dibekukan dengan alasan urusan kesejahteraan sosial seharusnya bukan diurusi oleh negara karena masyarakat (civil society) yang lebih tahu cara mengatasinya,dan juga tugas ini bisa dilimpahkan kepada departemen-departemen terkait lainnya.

Paska krisis ekonomi hebat pada tahun 1997,berbagai program kesejahteraan sosial yang diberikan oleh pemerintah, seperti perawatan kesehatan gratis, beras dan subsidi minyak atau bantuan tunai langsung, dianggap lebih sebagai tindakan reaktif semata terhadap dampak krisis ekonomi yang menyebabkan jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia meningkat.

Adapun sistem jaminan sosial yang mencakup seluruh warga Indonesia belum ada; hanya empat sistem yang didasarkan pada pekerjaan dan sumbangan wajib (premium) peserta kepada penyelenggara sistem jaminan sosial. Sistem ini dijalankan oleh empat perusahaan milik negara (yaitu PT Jamsostek, PT Taspen, PT Asabri, dan PT Askes), dan hanya mencakup pekerja di sektor formal dan anggota keluarga langsung mereka.

Ini berarti hanya dua puluh empat juta penduduk Indonesia yang tercakup dalam sistem jaminan sosial, dan sekitar tujuh puluh juta baru saja terdaftar sebagai penerima manfaat dari program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas),31 sedangkan 164 juta penduduk Indonesia lain belum mendapatkan perlindungan jaminan sosial apapun dari negara.

Perkembangan terakhir tentang kebijakan pemerintah menyangkut kesejahteraan/keadilan sosial menunjukkan bahwa Indonesia semakin dekat ke arah bentuk welfare state. Pada tahun 2009, UU No 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial disahkan untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar orang-orang miskin, yatim piatu dan manula yang terlantar, orang dengan penyakit kronis atau cacat yang mengalami ketidakmampuan sosial-ekonomi, dipenuhi dengan menyediakan jaminan sosial dalam bentuk asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung tunai (pasal 9 (1a) (2)). Premi untuk asuransi kesejahteraan sosial akan dibayarkan oleh pemerintah (pasal 10 (1) (2)).

Sebelumnya, DPR telah mengundangkan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dimana pemerintah akan mengadakan lima program jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima program tersebut adalah asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, pesangon kerja, pensiun, dan asuransi jiwa (pasal 18).

Semua program jaminan sosial tadi didasarkan pada pekerjaan dan sumbangan wajib yang diberikan peserta ke penyelenggara program (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Meskipun demikian, selama ini sisi program, pemerintah akan membayar premi asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin dan mereka yang tidak mampu membayar premi, misalnya karena diberhentikan dari pekerjaan atau cacat permanen dari kecelakaan kerja (Pasal 17(4), 20(1), dan 21 (1) (2) (3)).

Kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial yang berlaku universal bagi seluruh warga negara Indonesia adalah konsekuensi dari amendemen kedua UUD 1945 yang disetujui pada tanggal 18 Agustus, 2000 terutama tentang Hak Asasi Manusia (“Setiap orang berhak atas jaminan sosial …,” videPasal 28H (3)).

Juga, amendemen keempat yang disetujui pada 10 Agustus 2002, khususnya revisi klausul kesejahteraan sosial, dimana pemerintahbertanggung jawab untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (pasal 34 (2)).

Dalam pandangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai lembaga yang berwenang membuat dan mengubah undang-undang dasar, fungsi negara untuk mengembangkan jaminan sosial dimaksud bukan hanya dipandang masih tetap relevan melainkan justru dipertegas guna mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud oleh Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.

Yang menjadi persoalan, apakah tujuan negara “kesejahteraan/keadilan sosial” bagi seluruh warga negara Indonesia dan juga mandat konstitusi untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial itu harus diwujudkan dalam bentuk negara memposisikan diri bertanggung jawab untuk menjamin standar hidup yang layak bagisemua warga dan memberikan hak-hak universal?

Referensi :

  • Ed Iain McLean and Alistair McMillan. MC “welfare state” The Concise Oxford Dictionary of Politics.
  • Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Alinea ke-IV.
  • Undang-Undang Dasar 1945, pasal 34(1-3).
  • Musthafa Kamal Pasha, et.al., Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis dan Filosofis, 2nd ed. (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002).
  • Pidato Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, pidato Soepomo tanggal 31 Mei 1945, dan pidato Sekarno tanggal 1Juni 1945 dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945(Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995).
  • Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28H(4), pasal 33(2)(3).
  • Putusan Mahkamah Konstitusi, No. 002/PUU-I/2003.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi No. 022/PUU-I/2003.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi No 58-59-60/PUU-II/2004.
  • Sekretariat Negara Republik Indonesia, “Risalah,”.
  • BPJS .
  • Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-VIII/2010.

Sumber :

Alfitri, Ideologi Welfare State dalam Dasar Negara Indonesia: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional